"Astaga, Al! Tapi kamu masih inget sama Mama. Jadi yang dimaksud amnesia itu yang kayak gimana, Al?"
Aldo menghela napas panjang, ia meraih cangkir teh miliknya. Meneguk cairan itu perlahan-lahan lalu meletakkan cangkir itu kembali ke atas meja."Malah ingatan-ingatan baru Aldo yang hilang entah kemana, Ma. Begitu Aldo sadar kemarin ... Aldo bener-bener syok dan kaget. Bagaimana bisa Aldo ada di sana? Siapa orang-orang yang ada sama Aldo, Aldo sama sekali nggak kenal dan nggak tahu siapa mereka."Yuri mengangguk pelan, wajahnya nampak tegang. Dia nampak tengah memikirkan sesuatu. Sementara Aldo, ia sibuk kembali mencoba memunguti sisa-sisa kenangan yang bisa kembali dia satukan dalam otaknya. Kenangan tentang wanita yang disebut-sebut sebagai istri Aldo."Kamu inget sama Arra?"Aldo terkejut, ia menoleh dan menatap mamanya yang nampak tengah mengawasinya dengan tatapan menyelidik."Ya kenal dong, Ma! Masa lupa sana Arra sih? Orang dulu PAUD-nya sama-sama. Temenan juga dari kecil. Ma--""Inget juga kalo kamu dulu pernah naksir bahkan pacaran sama Arra?"Aldo membulatkan mata, ia menghela napas panjang sambil geleng-geleng kepala."Belum sampai pacaran kali, Ma. Orang dulu baru PDKT doang. Arra minta Aldo lulus dulu. Belum juga lulus, Aldo ma--""Jadian sama mantan kamu yang anak penulis itu ya? Siapa namanya?"Mata Aldo membulat, ia nampak mengerutkan kening. Menyibak ingatan-ingatan Aldo tentang masa dulu. Cukup beberapa detik, kerutan di kening Aldo pudar. Visual sosok cantik yang dulu pernah mengisi hatinya pun muncul dan memenuhi ingatan Aldo seketika."Joselyn?" ujar Aldo balik bertanya."Nah iya! Bener si Joselyn." Yuri nampak berbinar cerah. "Mamanya masih sering ketemu Mama loh, baru aja kemarin nongki bareng."Aldo menoleh, ia menatap sang mama dengan saksama. Mendadak bayangan wajah itu kembali muncul. Bebarengan dengan sebuah pertanyaan dan sebuah perasaan aneh. Sebuah perasaan yang tiba-tiba muncul dan mengusik Aldo dengan begitu luar biasa."Dia belum nikah loh, Al. Baru aja kemarin lulus S2. Ngikut mamanya jadi penulis, jadi ambil magister sastra Indonesia."Yuri nampak sangat bersemangat menceritakan mengenai sosok itu, sementara Aldo, kini ia tengah berperang dengan sebuah pertanyaan yang menganggu dan memenuhi kepalanya.'Kenapa mendadak aku kangen sama dia? Kenapa dengan wanita yang katanya istriku, aku sama sekali tidak merasakan hal itu? Sebuah ikatan batin mungkin. Kenapa tidak ada?'"Ah ... Mama lupa! Kata mamanya, dia bakalan pulang dalam waktu dekat ini. Kalau kamu mau, ikut jemput di bandara sama Mama. Gimana?"***"Mama udah pulang belum, ya?"Amanda sama sekali tidak bisa memejamkan mata meskipun sejak tadi dia sudah berbaring di atas peraduan. Matanya menatap langit-langit kamar dengan hati risau."Mau turun, tapi takut Mama masih ada. Kalo nggak turun, aku penasaran mereka ngomong apa."Bukan salah Amanda kalau mendadak risau. Sejarah hubungan dia dan sang mama mertua bisa dikatakan tidak baik! Dan itu sudah Amanda sadari sejak Aldo membawanya ke rumah Yuri untuk yang pertama kali."Oh, ini pacar kamu, Al? Nggak salah?"Senyum Amanda yang sejak tadi dia sunggingkan kontan lenyap. Bersamaan dengan sebuah palu yang menghantam hatinya dengan begitu luar biasa."Mama kok tanya gitu?" nada suara Aldo terdengar tidak suka, satu tangannya meremas lembut tangan Amanda seolah memberi kode pada Amanda agar tetap tenang."Ya jelas Mama tanya dong! Ma--""Mama nggak nyuruh masuk nih?" potong Aldo cepat, entah mengapa Aldo seperti tahu, kalimat apa yang akan meluncur dari mulut wanita itu.Nampak wanita yang berprofesi sebagai pengacara itu menghela napas panjang. Ia membuka pintu rumah lebar-lebar, dengan sorot mata tidak suka yang terpancar dari sana. Ya ... Amanda merasakan arti sorot mata itu."Kok sepi, Ma?" tanya Aldo yang bahkan sama sekali tidak melepaskan genggaman tangan mereka."Papamu ke London, Nadine sidang tesis, minta papamu kesana.""Papa siapa? Papaku cuma satu!" ucap Aldo sambil menjatuhkan diri di atas sofa."AL!" wajah itu menatap Aldo dengan tatapan tidak suka, sementara Aldo, ia hanya tersenyum sinis sambil mengusap wajah perlahan."Faktanya begitu, Ma. Papa Aldo itu Papa Adnan, bukan Ronald."Percakapan terdengar sengit, membuat Amanda makin tidak berkutik. Ia harus bagaimana memangnya? Terlebih tatapan pemilik rumah sama sekali tidak ramah. Membuat Amanda makin menundukkan wajahnya dalam-dalam."Kamu kesini cuma mau ngajak Mama berantem, Al?" suara itu masih begitu dingin, namun nadanya tidak setinggi tadi."Nggak lah. Siapa juga yang mau ngajak Mama berantem? Nggak ada, Ma." Aldo memperbaiki posisi duduknya. "Aldo cuma mau memperjelas kalo Papa Aldo itu cuma Papa Adnan, itu yang kedua. Sedangkan tujuan pertamanya adalah ...."Perlahan Amanda mengangkat wajah, melirik kearah Aldo yang nampak begitu tenang duduk di sampingnya."Tujuan pertamanya Aldo tentu mau minta izin nikah, Ma. Semua berkas sudah masuk. Baru proses di kesatuan Aldo. Ya tiga-empat bulan lagi lah.""Hah?" suara itu meninggi, "Kamu baru sekali bawa pacar kamu lalu ujug-ujug mau minta izin nikah, Al?"Wajah Amanda yang tadi sudah terangkat sedikit, kembali dia tundukkan dalam-dalam. Napasnya mendadak terasa sesak, kenapa rasanya ia begitu takut?"Mama sibuk sih, Aldo mau kesini juga kebetulan pas banget kadang dinas luar. Kami pacaran udah lama, Ma. Jadi daripada la--""Stop! Tunggu dulu!" suara itu memotong suara Aldo dengan tegas. "Mama nggak bisa main setuju aja, ya! Mama ha--""Kenapa nggak bisa? Memang dulu Mama nikah sama Om Ronald, Aldo setuju?"Amanda tersentak, ia merasakan remasan tangan Aldo makin kuat. Sebuah tanda bahwa lelaki tegap itu sedang berusaha menahan emosinya."AL!" suara itu setengah melengking."Mama nggak pernah minta izin sama Aldo. Nggak tanya dulu sama Aldo, Aldo setuju enggak Mama kawin sama Om Ronald. Kenapa sekarang Aldo harus menunggu keputusan dari Mama buat nikahin pilihan Aldo?"Hening.Remasan tangan itu makin kuat. Rasanya Amanda ingin balas meremas tangan itu dan menjatuhkan kepala lelaki yang setahun ini menjalin kasih dengannya kalah saja Amanda tidak takut pada wanita yang duduk di hadapan mereka."Oh ... perlu Aldo revisi sepertinya. Aldo bukan mau minta izin nikah sama Mama, tapi mau kasih kabar sama Mama kalo Aldo mau nikah sama pilihan Aldo, Ma." suara Aldo begitu tegas, membuat Amanda tersentuh dengan keyakinan lelaki itu tentang cinta mereka."Papa udah taken setuju, Papa support Aldo sama Amanda. Jadi Aldo rasa nggak ada alasan buat Mama larang Aldo nikah sama Amanda, kan, Ma?""Al ... sejak kapan kamu jadi begini, Al?" suara itu kini bergetar, membuat Amanda makin merasa tidak nyaman."Sejak Mama memutuskan untuk berkhianat, Ma. Sejak Mama lebih memilih Om Ronald daripada Papa dan anak-anak Mama.""Al, tapi--""Ma ... tolong! Aldo nggak pernah usik hidup Mama, Aldo hormati keputusan Mama nikah sama Om Ronald tidak peduli betapa sakit hati Aldo saat itu. Jadi sekali ini saja Aldo mohon, untuk masalah masa depan Aldo, biarkan Aldo sendiri yang menentukan semuanya. Bisa kan, Ma?"---Judulnya ganti ya. Yang awalnya Di Ujung Penantian jadi Mengembalikan Cinta Suami Tentaraku.Diusahakan up tiap hari, terimakasih sudah berkenan membaca."Astaga!"Amanda mendesis ketika kenangan itu kembali berkelebat dalam benaknya. Sebuah momen pahit yang akan selalu Amanda ingat sampai kapanpun. Itu baru permulaan, selanjutnya? Rasanya Amanda ingin amnesia saja agar tidak kembali mengingat bagaimana perlakuan Yuri, ibu kandung suaminya terhadap Amanda. "Nggak salah kalo aku lantas takut, bukan?" Amanda merasakan kepalanya pusing. "Mama benci banget sama aku dari dulu. Bisa saja dia nanti ...."Amanda menggelengkan kepalanya kuat-kuat, ia lantas bangkit melangkah ke kamar mandi. Mencuci muka, atau mandi sekalian guna mendinginkan hati dan kepalanya yang memanas. Sementara Amanda tengah berusaha menenangkan diri, Aldo masih bercengkrama dengan ibunya di lantai bawah. "Sejak kapan Mama jadi akrab sama mamanya Joselyn, Ma?"Aldo menangkap binar cerah terpancar di mata itu. Kembali raut wajah seseorang yang pernah menjadi sosok paling spesial dalam hati Aldo muncul dan bertahan diingatannya sampai beberapa saat. Membuat sebuah pertan
"Ngomong apa kamu sama Aldo?"Yuri yang baru saja melangkah keluar dari rumah itu kontan melonjak kaget. Di hadapannya sudah berdiri sosok yang dulu pernah menjadi sandaran Yuri, sosok yang paling Yuri kagumi. Adnan terlihat tidak menua. Ia masih nampak segar dan gagah meskipun usianya sudah lanjut usia. Bahkan Yuri bisa lihat, mata itu tidak perlu kacamata seperti dirinya. Ah ... bahkan pesona Adnan masih begitu kuat terpancar kalau Yuri mau jujur. "Apa urusanmu tahu apa-apa saja yang aku bicarakan sama Aldo, Ma? Kau lupa? Aku ibu kandungnya! Dan aku berhak bicara apapun pada anakku sendiri."Adnan nampak mendengus kasar, senyum sinis tergambar di wajah itu. Dua tangan dokter bedah yang sudah pensiun itu dilipat di depan dada, dengan mata yang menatap Yuri dengan tatapan tajam. "Dan kau lupa? Aku bapak kandungnya! Jadi aku perlu tahu apa-apa saja yang kamu bicarakan pada anakku dengan kondisinya yang demikian."Mata Yuri membulat, ia lantas tertawa setengah mengejek. Hanya sesaat,
"Al, kamu di dalam?"Aldo yang baru saja keluar dari kamar mandi kontan segera melangkah menuju pintu kamar. Dibukanya pintu dan sosok itu sudah berdiri di depan pintu. "Papa baru pulang?" tanya Aldo lalu membuka pintu lebar-lebar, kode bahwa dia mengizinkan dan mempersilahkan papanya itu masuk de dalam. "Iya, baru aja sampai. Papa boleh masuk?"Aldo tersenyum, kepalanya terangguk pelan. Sosok itu melangkah masuk ke dalam, disusul Aldo setelah ia menutup pintu kamar rapat-rapat. "Kenapa malah tidur di sini? Bukan di kamar kamu, Al?"Pertanyaan itu menampar Aldo seketika, membuat Aldo mendadak kikuk dan tidak tahu harus menjawab apa. Sementara Adnan, ia hanya tersenyum di tempatnya duduk. "Nggak kangen sama istri? Biasanya orang-orang balik dinas langsung ngelonin istri." senyum itu merekah di wajah, terlihat setengah mengejek Aldo yang hanya tersenyum simpul seraya melangkah ke ranjang. "Entah, Pa. Aldo sendiri nggak tahu. Semua masih sama hanya saja rasanya begitu asing jika har
"Abang udah mikir sampai sana?"Sebuah pertanyaan terlontar secara spontan dari mulut Amanda sebagai tanggapan pernyataan cinta Aldo yang begitu tiba-tiba. Amanda bahkan belum menjawab pernyataan Aldo mengenai perasaan lelaki itu dan Aldo susah begitu jauh membahas tentang pernikahan? Mendapat pertanyaan macam itu, Aldo malah tertawa dengan begitu renyah. Hanya sebentar, karena didetik selanjutnya Aldo kembali menatap Amanda dengan tatapan serius dan seulas senyum manis. "Memang kenapa? Kamu pikir Abang macarin kamu cuma buat main-main aja? Abang serius!" tegas Aldo kemudian. "Ya mungkin memang kita perlu masa pendekatan dan pengenalan satu sama lain, Dek. Tapi tujuan Abang ya ke sana, nggak cuma mau ngajakin anak orang jalan rontang-runtung berdua aja."Entah bagaimana raut wajah Amanda sekarang, dia sendiri tidak tahu. Yang jelas rasanya tubuh Amanda begitu ringan. Ia seperti melayang mendengar kalimat-kalimat yang terucap dari mulut itu. Sebuah kalimat paling manis yang sama seka
Tok ... Tok ... TokTerdengar suara ketukan di pintu, Aldo mengerjapkan mata. Berusaha membuka matanya lebar-lebar guna melirik jam dinding yang tergantung di tembok. "Ah sudah pagi rupanya!" Angka 6 yang ditunjuk jarum jam, pantas saja pintu kamarnya sudah ada yang mengetuk. Aldo dengan malas berusaha bangkit, menguap sejenak ketika ia berhasil duduk di tepi ranjang. Tok ... Tok ... TokKembali suara ketukan itu terdengar membuat Aldo kontan bangkit dan melangkah menuju pintu. Dengan cepat Aldo meraih gagang pintu, memutar kunci dan membuka pintu itu dengan segera. "Siapa si--"Aldo tercekat, nampak Amanda sudah berdiri di depan pintu dengan nampan berisi secangkir kopi dan setangkup roti isi. "Sarapan dulu yuk, Bang?" desisnya sambil menyunggingkan senyum. Aldo menghirup udara dalam-dalam, nampak mata Amanda sedikit bengkak. Tapi apa peduli Aldo? Dan menu di nampan itu ... kenapa dia bisa tahu kalau Aldo tidak terbiasa makan nasi untuk makan pagi? "Ok. Terimakasih!"Dengan se
"Kamu ngapain di sini?"Amanda tersentak, sosok itu sudah berdiri di belakangnya, membuat Amanda rasanya seperti hampir pingsan. Tidak ada hal paling menyeramkan baginya kecuali bertemu dengan wanita ini. "A-anu, Ma ... Amanda anter sarapan buat Bang Al." jawab Amanda yang langsung menundukkan wajah. "Nggak usah panggil Mama, kan saya udah bilang dari dulu!" tegas suara itu dengan nada tak suka. "Nggak kamu kasih macem-macem kan di makanannya? Atau kamu mau bikin Aldo mbangkang lagi sama mamanya?"Jleb! Spontan Amanda mengangkat wajah, menatap sosok itu dengan tatapan terkejut dan tidak percaya. Sebenarnya ini bukan kali pertama Amanda dituduh 'memberi sesuatu' pada Aldo, tapi Amanda benar-benar tidak menyangka kalau bahkan dalam kondisi Aldo yang menolak dan sama sekali tidak mengingat dirinya, sang mama mertua masih menuduhnya demikian. "Ya ampun, Ma ... demi Tuhan, Amanda ngga--""Sudah di bilang jangan panggil saya mama! Sejak ka--""Kamu datang pagi-pagi ke rumah orang cuma m
"Kenapa sih ribut-ribut, Ma?"Aldo menatap Yuri dengan tatapan tidak mengerti. Mereka sudah berada di dalam sekarang, menjauh seperti apa yang tadi Adnan perintahkan. "Mana sarapan yang dianter sama perempuan tadi?" bukannya menjawab, Yuri malah fokus pada makanan itu."Astaga! Ini loh, Ma." Aldo menunjuk nakas, membuat Yuri segera meraih nampan itu dan membawanya menuju kamar mandi. Ia menuang kopi ke dalam kloset lalu membilasnya, mengambil setangkup roti isi dan membuang makanan itu ke dalam tempat sampah yang ada di dalam sana. "Kamu makan saja bubur yang Mama bawa, jangan pernah makan makanan yang dikasih wanita itu tadi, mengerti?"Aldo melongo, sungguh dia tidak mengerti dengan apa maksud dari mamanya ini. Ia menatap wanita itu yang nampak tengah mengeluarkan styrofoam dari plastik yang dia bawa dia taruh ke atas nampan dan tak lupasegelas teh hangat yang dibungkus cup plastik di sana."Nih ... makan dulu, Al!"Asap nampak masih mengepul dari styrofoam itu, Aldo menatap nan
"Mama nggak ribut-ribut lagi, kan?" Mendengar pertanyaan itu Yuri kontan mengerucutkan bibir. Ia segera menutup pintu dan melangkah menghampiri Aldo yang sedang menikmati bubur yang tadi dia bawakan. "Memang sejak kapan Mama kamu ini jadi tukang bikin onar, Al?" tanya Yuri seraya menarik kursi dan duduk di atasnya. "Buktinya, Mama ribut-ribut tadi pagi." jawab Aldo dengan begitu enteng.Yuri mendecih, ia melangkah membuka lemari pakaian. Di dalam lemari itu kosong, membuat Yuri menoleh dan menatap Aldo dengan tatapan tidak mengerti. "Bajumu kemana, Al?"Aldo menghentikan suapan bubur, dibalasnya tatapan itu dengan malas. Ia meraih gelas yang tergeletak di atas nakas, lalu meneguk isinya perlahan. "Di kamar atas, Ma. Aldo belum sempet bawa pindah baju ke bawah sini."Yuri mendesah panjang, ia menggeleng perlahan lalu melangkah keluar kamar tanpa berkata-kata lagi. Yang dia tuju adalah dapur, tentu dia berharap sosok Mbak Tik masih berada di sana. Dan benar saja! Mata Yuri berbina