"Mas Aldo mau dibuatin minum?"
Aldo yang tengah berusaha mengumpulkan kepingan memorinya yang hilang kontan terkejut. Ia menoleh dan mendapati Mbak Tik sudah berdiri tidak jauh darinya."Boleh, Mbak. Makasih banyak."Wanita empat puluh tahunan itu mengangguk, segera undur diri dan menghilang dari pandangan Aldo. Aldo masih menatap arah di mana wanita itu menghilang. Ia menghela napas panjang, menghembuskan perlahan-lahan ke udara lalu kembali menyandarkan tubuh ke sofa."Sama Mbak Tik aja aku inget loh! Masa sama yang katanya istri aku bisa sama sekali nggak inget sih?"Itu yang terus Aldo herankan sejak kepulangannya ke sini. Jangan lupa tentang bagaimana Aldo sama sekali tidak memiliki perasaan apa-apa, ikatan batin apapun dengan Amanda. Bagaimana bisa dulu mereka menikah kalau begini?"Apa aku mungkin dibodohin, ya? Papa kasihan gitu sama aku terus dicariin jodoh?" Aldo merubah posisi duduknya, masih sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi sebelum ia pergi dan kehilangan sebagian memorinya."Tapi masa pa--""Ya ampun Aldo?"Suara pekikkan itu mengejutkan Aldo. Kontan ia menoleh, ekspresi terkejutnya berubah jadi ekspresi bahagia ketika melihat wajah itu muncul dari depan pintu."Mama?"Aldo segera bangkit, berlari lalu meraih dan mencium tangan wanita dengan wajah terbingkai kacamata. Sosok yang selama sembilan bulan mengandung dan melahirkan Aldo ke dunia."Nyawa Mama rasanya kayak mau kecabut dari badan pas denger kamu kena musibah di sana, Al!" kedua tangan itu langsung merengkuh tubuh Aldo, mendekap tubuh Aldo erat-erat sampai rasanya Aldo sedikit kesusahan bernafas."Aldo baik-baik aja, Ma. Jangan terlalu khawatir." bisik Aldo dengan seulas senyum di wajah. Ia merindukan sosok ini!"Baik-baik aja gimana?" dekapan itu terlepas, nampak mata yang bercucuran air mata itu menatapnya dengan tatapan tajam tak suka. "Kamu luka-luka kayak gini, sampai harus dipulangkan sebelum waktunya, itu kamu sebut dengan baik-baik saja?"Nada suara itu terdengar tidak terima, ditambah sorot mata tajam bercampur khawatir tersirat dari mata. Aldo tersenyum, ia meraih dan meremas lembut tangan ibunya."Aldo bisa pulang, ketemu Mama, dipeluk sama Mama begini, itu artinya Aldo baik-baik saja. Don't much worry, Mam!" Aldo tersenyum, membuat sorot tajam itu sedikit melunak."Gimana kejadiannya sih, Al? Mana yang sakit? Kata dokter gimana?" berondongan pertanyaan itu membuat Aldo tersenyum kecut."Sini, duduk dulu deh!" Aldo meraih tangan mamanya, membawa sosok itu mendekat ke sofa dan duduk di sana. "Mama mau minum apa?"Belum sempat Yuri menjawab, suara langkah kaki itu mengejutkan mereka. Kontan mereka menoleh, menatap wanita dengan nampan di tangan yang nampak terkejut dengan kehadiran Yuri."Loh Ibu? Kapan datang? Saya buatkan minum dulu, Bu.""Baru aja, Mbak. Makasih banyak, ya? Maaf kalau merepotkan."Mbak Tik meletakkan secangkir teh hangat di meja, ia segera mengangkat pandangan dan membalas senyum manis tamu dari bosnya itu."Sama sekali nggak repot, Bu. Ibu tunggu sebentar, biar saya buatkan minum."Mbak Tik segera berlalu, membuat Yuri kembali menatap anak nomor duanya hasil pernikahan pertamanya. Ia meraih tangan Aldo, meremas tangan itu dengan begitu lembut. Membuat Aldo kontan menoleh dan menatap sang ibu dengan saksama."Sekarang coba cerita, Al ... kenapa anak Mama bisa sampai kayak gini?""Sebenarnya ...."***"Jangan nangis lagi, Nda! Kasihan anak kamu!"Amanda menyeka air matanya. Ia sudah lelah menangis, tapi entah mengapa, air mata seperti tidak henti-hentinya turun dari pelupuk mata. Amanda menghela napas panjang-panjang, ia bangkit setelah untuk kesekian kalinya menyeka sisa bulir air yang membasahi wajah.Dengan sedikit susah payah, Amanda bangkit. Ia melangkah menuju pintu. Meskipun tahu, kehadiran Amanda sama sekali tidak ada artinya untuk Aldo, namun Amanda tetap harus memastikan suaminya itu baik-baik saja dan bisa beristirahat dengan tenang."Jadi kamu sama sekali tidak ingat, Al?"Langkah Amanda kontan terhenti. Bulu kuduk Amanda meremang seketika. Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat ketika telinganya menangkap suara itu. Suara yang tidak lain dan tidak bukan adalah milik mama mertuanya!Bukan!Bukan Redita yang Amanda maksud. Tetapi sosok yang merupakan ibu kandung dari suaminya, Aldo."Mama ke sini?" Amanda bergumam sendiri, ia masih berdiri di tempatnya, belum melanjutkan langkahnya kembali.Tentu tidak ada yang melarang Yuri kemari, terlebih anak lelakinya pulang lebih awal dari pasukan perdamaian dengan kondisi tidak yang begitu baik. Hanya saja bagi Amanda ... Amanda tersenyum getir, ia membalikkan badan dan kembali melangkah masuk ke dalam kamarnya.'Saya benar-benar tidak mengerti, kenapa bisa anak saya jatuh cinta sama kamu? Apa kelebihan kamu?'Kalimat itu tidak akan pernah Amanda lupakan dalam seumur hidup! Sama sekali tidak! Begitu pula dengan kalimat-kalimat lain yang rasanya terus terngiang-ngiang dalam ingatannya.'Entah kamu apakan anak saya, dia sampai berani membantah saya hanya demi menikahi kamu? Ini benar-benar tidak bisa diterima!'Air mata yang tadi berhasil Amanda hentikan, kini kembali menitik. Ia terisak sambil menutup wajah dengan kedua tangan. Sakit yang ia rasakan makin menjadi setelah sadar sosok itu kini berada di sini.'Ingat ... money can buy style, but they can't buy class. Jangan kamu pikir dengan jadi istri anak saya, kelas kamu bakal naik, ya! Kamu tetap kelas bawah dan sampai kapanpun, kamu tidak akan bisa selevel dengan keluarga saya. Mengerti?'"Ya Tuhan ... kenapa malah jadi serumit ini?"Ketakutan itu mencengkeram kuat hati Amanda. Segala macam risau kini menghantui Amanda dengan luar biasa. Kenapa harus Aldo kehilangan memorinya tentang hubungan dan pernikahan mereka? Kalau dalam kondisi normal saja sosok itu terang-terangan berusaha menyingkirkan Amanda dari hidup Aldo, bagaimana dengan kondisi Aldo yang sekarang?"Kalau saja bapak sama ibu masih ada, apakah hidup aku juga bakalan kayak gini?"Rasanya Amanda ingin berteriak, namun ia urungkan karena ia tahu dan sadar betul, teriakannya tidak akan memberi perubahan ke arah yang lebih baik. Namun jika Amanda hanya diam begini, rasa sakit itu rasanya makin kuat dan menyiksa."Sayang ... maafin Mama ya sedih terus hari ini. Mama bener-bener minta maaf, Nak. Kuat terus, ya? Mama sayang banget sama kamu!"Amanda mengelus perutnya, membayangkan jika Aldo pulang tanpa kondisi yang demikian. Pasti sekarang mereka tengah bercengkrama melepaskan rindu sambil menyapa buah hati mereka di dalam perut Amanda.Tertawa bersama sambil saling menggenggam tangan seperti yang biasa mereka lakukan. Menautkan bibir satu sama lain atau bahkan menautkan tubuh polos mereka seperti biasanya?"Semoga cukup ini saja ujian kita ya, Bang? Dan aku harap ... bayangan buruk itu tidak akan pernah terjadi." Amanda hampir kehilangan suaranya, matanya buram oleh air mata."Tapi apakah mungkin? Bukankah selama ini Mama ....""Astaga, Al! Tapi kamu masih inget sama Mama. Jadi yang dimaksud amnesia itu yang kayak gimana, Al?"Aldo menghela napas panjang, ia meraih cangkir teh miliknya. Meneguk cairan itu perlahan-lahan lalu meletakkan cangkir itu kembali ke atas meja. "Malah ingatan-ingatan baru Aldo yang hilang entah kemana, Ma. Begitu Aldo sadar kemarin ... Aldo bener-bener syok dan kaget. Bagaimana bisa Aldo ada di sana? Siapa orang-orang yang ada sama Aldo, Aldo sama sekali nggak kenal dan nggak tahu siapa mereka."Yuri mengangguk pelan, wajahnya nampak tegang. Dia nampak tengah memikirkan sesuatu. Sementara Aldo, ia sibuk kembali mencoba memunguti sisa-sisa kenangan yang bisa kembali dia satukan dalam otaknya. Kenangan tentang wanita yang disebut-sebut sebagai istri Aldo. "Kamu inget sama Arra?"Aldo terkejut, ia menoleh dan menatap mamanya yang nampak tengah mengawasinya dengan tatapan menyelidik. "Ya kenal dong, Ma! Masa lupa sana Arra sih? Orang dulu PAUD-nya sama-sama. Temenan juga dari kecil. M
"Astaga!"Amanda mendesis ketika kenangan itu kembali berkelebat dalam benaknya. Sebuah momen pahit yang akan selalu Amanda ingat sampai kapanpun. Itu baru permulaan, selanjutnya? Rasanya Amanda ingin amnesia saja agar tidak kembali mengingat bagaimana perlakuan Yuri, ibu kandung suaminya terhadap Amanda. "Nggak salah kalo aku lantas takut, bukan?" Amanda merasakan kepalanya pusing. "Mama benci banget sama aku dari dulu. Bisa saja dia nanti ...."Amanda menggelengkan kepalanya kuat-kuat, ia lantas bangkit melangkah ke kamar mandi. Mencuci muka, atau mandi sekalian guna mendinginkan hati dan kepalanya yang memanas. Sementara Amanda tengah berusaha menenangkan diri, Aldo masih bercengkrama dengan ibunya di lantai bawah. "Sejak kapan Mama jadi akrab sama mamanya Joselyn, Ma?"Aldo menangkap binar cerah terpancar di mata itu. Kembali raut wajah seseorang yang pernah menjadi sosok paling spesial dalam hati Aldo muncul dan bertahan diingatannya sampai beberapa saat. Membuat sebuah pertan
"Ngomong apa kamu sama Aldo?"Yuri yang baru saja melangkah keluar dari rumah itu kontan melonjak kaget. Di hadapannya sudah berdiri sosok yang dulu pernah menjadi sandaran Yuri, sosok yang paling Yuri kagumi. Adnan terlihat tidak menua. Ia masih nampak segar dan gagah meskipun usianya sudah lanjut usia. Bahkan Yuri bisa lihat, mata itu tidak perlu kacamata seperti dirinya. Ah ... bahkan pesona Adnan masih begitu kuat terpancar kalau Yuri mau jujur. "Apa urusanmu tahu apa-apa saja yang aku bicarakan sama Aldo, Ma? Kau lupa? Aku ibu kandungnya! Dan aku berhak bicara apapun pada anakku sendiri."Adnan nampak mendengus kasar, senyum sinis tergambar di wajah itu. Dua tangan dokter bedah yang sudah pensiun itu dilipat di depan dada, dengan mata yang menatap Yuri dengan tatapan tajam. "Dan kau lupa? Aku bapak kandungnya! Jadi aku perlu tahu apa-apa saja yang kamu bicarakan pada anakku dengan kondisinya yang demikian."Mata Yuri membulat, ia lantas tertawa setengah mengejek. Hanya sesaat,
"Al, kamu di dalam?"Aldo yang baru saja keluar dari kamar mandi kontan segera melangkah menuju pintu kamar. Dibukanya pintu dan sosok itu sudah berdiri di depan pintu. "Papa baru pulang?" tanya Aldo lalu membuka pintu lebar-lebar, kode bahwa dia mengizinkan dan mempersilahkan papanya itu masuk de dalam. "Iya, baru aja sampai. Papa boleh masuk?"Aldo tersenyum, kepalanya terangguk pelan. Sosok itu melangkah masuk ke dalam, disusul Aldo setelah ia menutup pintu kamar rapat-rapat. "Kenapa malah tidur di sini? Bukan di kamar kamu, Al?"Pertanyaan itu menampar Aldo seketika, membuat Aldo mendadak kikuk dan tidak tahu harus menjawab apa. Sementara Adnan, ia hanya tersenyum di tempatnya duduk. "Nggak kangen sama istri? Biasanya orang-orang balik dinas langsung ngelonin istri." senyum itu merekah di wajah, terlihat setengah mengejek Aldo yang hanya tersenyum simpul seraya melangkah ke ranjang. "Entah, Pa. Aldo sendiri nggak tahu. Semua masih sama hanya saja rasanya begitu asing jika har
"Abang udah mikir sampai sana?"Sebuah pertanyaan terlontar secara spontan dari mulut Amanda sebagai tanggapan pernyataan cinta Aldo yang begitu tiba-tiba. Amanda bahkan belum menjawab pernyataan Aldo mengenai perasaan lelaki itu dan Aldo susah begitu jauh membahas tentang pernikahan? Mendapat pertanyaan macam itu, Aldo malah tertawa dengan begitu renyah. Hanya sebentar, karena didetik selanjutnya Aldo kembali menatap Amanda dengan tatapan serius dan seulas senyum manis. "Memang kenapa? Kamu pikir Abang macarin kamu cuma buat main-main aja? Abang serius!" tegas Aldo kemudian. "Ya mungkin memang kita perlu masa pendekatan dan pengenalan satu sama lain, Dek. Tapi tujuan Abang ya ke sana, nggak cuma mau ngajakin anak orang jalan rontang-runtung berdua aja."Entah bagaimana raut wajah Amanda sekarang, dia sendiri tidak tahu. Yang jelas rasanya tubuh Amanda begitu ringan. Ia seperti melayang mendengar kalimat-kalimat yang terucap dari mulut itu. Sebuah kalimat paling manis yang sama seka
Tok ... Tok ... TokTerdengar suara ketukan di pintu, Aldo mengerjapkan mata. Berusaha membuka matanya lebar-lebar guna melirik jam dinding yang tergantung di tembok. "Ah sudah pagi rupanya!" Angka 6 yang ditunjuk jarum jam, pantas saja pintu kamarnya sudah ada yang mengetuk. Aldo dengan malas berusaha bangkit, menguap sejenak ketika ia berhasil duduk di tepi ranjang. Tok ... Tok ... TokKembali suara ketukan itu terdengar membuat Aldo kontan bangkit dan melangkah menuju pintu. Dengan cepat Aldo meraih gagang pintu, memutar kunci dan membuka pintu itu dengan segera. "Siapa si--"Aldo tercekat, nampak Amanda sudah berdiri di depan pintu dengan nampan berisi secangkir kopi dan setangkup roti isi. "Sarapan dulu yuk, Bang?" desisnya sambil menyunggingkan senyum. Aldo menghirup udara dalam-dalam, nampak mata Amanda sedikit bengkak. Tapi apa peduli Aldo? Dan menu di nampan itu ... kenapa dia bisa tahu kalau Aldo tidak terbiasa makan nasi untuk makan pagi? "Ok. Terimakasih!"Dengan se
"Kamu ngapain di sini?"Amanda tersentak, sosok itu sudah berdiri di belakangnya, membuat Amanda rasanya seperti hampir pingsan. Tidak ada hal paling menyeramkan baginya kecuali bertemu dengan wanita ini. "A-anu, Ma ... Amanda anter sarapan buat Bang Al." jawab Amanda yang langsung menundukkan wajah. "Nggak usah panggil Mama, kan saya udah bilang dari dulu!" tegas suara itu dengan nada tak suka. "Nggak kamu kasih macem-macem kan di makanannya? Atau kamu mau bikin Aldo mbangkang lagi sama mamanya?"Jleb! Spontan Amanda mengangkat wajah, menatap sosok itu dengan tatapan terkejut dan tidak percaya. Sebenarnya ini bukan kali pertama Amanda dituduh 'memberi sesuatu' pada Aldo, tapi Amanda benar-benar tidak menyangka kalau bahkan dalam kondisi Aldo yang menolak dan sama sekali tidak mengingat dirinya, sang mama mertua masih menuduhnya demikian. "Ya ampun, Ma ... demi Tuhan, Amanda ngga--""Sudah di bilang jangan panggil saya mama! Sejak ka--""Kamu datang pagi-pagi ke rumah orang cuma m
"Kenapa sih ribut-ribut, Ma?"Aldo menatap Yuri dengan tatapan tidak mengerti. Mereka sudah berada di dalam sekarang, menjauh seperti apa yang tadi Adnan perintahkan. "Mana sarapan yang dianter sama perempuan tadi?" bukannya menjawab, Yuri malah fokus pada makanan itu."Astaga! Ini loh, Ma." Aldo menunjuk nakas, membuat Yuri segera meraih nampan itu dan membawanya menuju kamar mandi. Ia menuang kopi ke dalam kloset lalu membilasnya, mengambil setangkup roti isi dan membuang makanan itu ke dalam tempat sampah yang ada di dalam sana. "Kamu makan saja bubur yang Mama bawa, jangan pernah makan makanan yang dikasih wanita itu tadi, mengerti?"Aldo melongo, sungguh dia tidak mengerti dengan apa maksud dari mamanya ini. Ia menatap wanita itu yang nampak tengah mengeluarkan styrofoam dari plastik yang dia bawa dia taruh ke atas nampan dan tak lupasegelas teh hangat yang dibungkus cup plastik di sana."Nih ... makan dulu, Al!"Asap nampak masih mengepul dari styrofoam itu, Aldo menatap nan