Share

BAB 5

“Teteh yakin mau nikah sama pria itu?” tanya Alea yang saat ini sedang merebahkan tubuhnya di atas sofa sedangkan aku di atas ranjang.

“Teteh kan masih pelajar. Kalau ada yang tahu teteh menikah pasti nanti beasiswa teteh dicabut.”

“Tapi teh, Azmi-azmi itu sepertinya akan menuruti permintaan kakeknya.”

“Tidak. Intinya teteh mau sekolah dahulu. Yang ada di pikiran teteh sekarang itu lulus sekolah supaya teteh bisa dapat pekerjaan yang bagus.”

“Paling kalau lulusan SMA ujung-ujungnya nanti kerja di pabrik.”

“Tidak masalah. Setidaknya teteh tidak harus kepanasan mengirim susu ke warung-warung padahal gaji tidak seberapa.”

Itu lah pembicaraan kami sebelum tidur.

Sebenarnya kebiasaan ini selalu kami lakukan sebelum tidur. Aku, Alea, Tia dan Lastri akan bergiliran membicarakan hal-hal yang kita alami sehari penuh, terkadang mereka juga tidak hanya jadi pendengar tapi sebagai pemberi solusi juga di saat salah satu dari kita sedang tertimpa masalah.

***

Jam 5 subuh aku terbangun. Waktunya solat subuh. Seperti sudah menjadi alarm alami kalau jam 5 subuh itu sudah bangun.

Aku bangun dan membuka lemari kecil yang ada di samping pintu toilet. Tidak ada mukena, sajadah juga tidak ada.

Aku keluar dari ruang VVIP tersebut. Aku akan meminjam mukena dan sajadah pada perawat. Aku menuju perawat station yang berada di luar pintu kaca.

Di sana hanya ada satu perawat yang sedang fokus pada komputer.

“Mbak,” panggilku pada perawat itu.

Perawat itu menatapku lalu tersenyum sopan, “Ya bu, ada yang bisa saya bantu?”

Bu? Aku belum setua itu.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, “Kalau mushola di mana?”

“Mushola ada di lantai 1,” jawab perawat itu.

“Terima kasih.”

Aku bergegas menuju mushola. Aku tidak mengajak Alea, karena dia masih halangan.

Sampai di mushola aku langsung menunaikkan kewajibanku sebagai muslim.

Tidak lama, aku kembali lagi menuju ruangan kakek Amar.

Saat mau masuk lift, ada mas Azmi di dalam lift dengan membawa tas besar.

Mas Azmi menatapku lekat, “Mumpung kau ada di sini kita ke kafetaria dahulu.”

“Iya, mas.”

Mas Azmi mengerutkan kening mendengar panggilanku padanya. Selanjutnya dia menekan tombol 3 pada lift.

Ya, kafetaria ada di lantai 3.

Aku duduk di salah satu kursi di sana dan mas Azmi sedang membeli makanan.

Mas Azmi menyerahkan sepotong sandwich dan susu coklat padaku.

“Jadi Fitri …”

“Ya mas …”

“Terkait permintaan kakek semalam, bisa kah kamu menyetujuinya?”

Aku yang sedang mengunyah sandwich itu otomatis terhenti mendengar pertanyaan dari mas Azmi. Meski mas Azmi hanya menatapku dengan datar, tapi pandangan mata itu penuh dengan aura intimidasi.

“Maaf mas, tapi saya masih sekolah.”

“Kelas berapa?”

“Kelas 3 SMA.”

“Punya KTP?”

“Punya.”

“Good. Kamu sudah bukan anak di bawah umur lagi dan umur kamu sudah cukup mampu untuk menikah.”

Aku menggelengkan kepalaku tak percaya, “Mas bahkan aku besok masih harus ujian.”

“Jadi permasalahannya itu? Ujian?”

“Bukan itu saja, tapi-”

Mas Azmi mengangkat tangannya, menyuruh aku berhenti bicara.

“Kita akan menikah setelah kamu menyelesaikan ujian. Setelah menikah kamu sepenuhnya tanggung jawabku. Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu sama sekali. Masalah finansial aku akan memberimu uang setiap bulannya, pergunakan uang itu dengan baik. Cukup menguntungkan bukan?” ucap final mas Azmi dengan pandangan remeh.

Aku hanya diam menunggu kelanjutan ucapan mas Azmi, aku yakin dia belum selesai bicara.

“Tapi sebagai gantinya … Kamu jangan pernah mencampuri urusanku dan urus saja dirimu sendiri.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status