Share

BAB 6

Aku dan Alea sedang dalam angkutan umum perjalanan pulang ke panti.

Alea dari tadi diam saja. Mungkin masih ngantuk, lagi pula aku tidak ingin mengajak Alea berbicara juga karena masih shock akan pembicaraan aku dan mas Azmi di kafetaria tadi.

Aku akan menjadi istrinya dan dia juga akan menjadi suamiku. Setelah menikah nanti, bagaimana mungkin aku tidak mengurus mas Azmi sedangkan dia akan jadi ladang pahala untukku?

Bahkan mas Azmi bilang, “Kembali lagi nanti saat akan akad. Tidak perlu menjenguk kakek!

Apa-apaan pria itu.

***

Anak-anak panti sepertinya sudah selesai sarapan. Mereka sedang belajar bersama di halaman panti. Tia dan Lastri sedang mengajar mereka.

Aku dan Alea menghampiri bu Sri yang masih duduk di meja makan. Ibu Sri ini merupakan ibu panti di sini. Kami giliran mencium tangan beliau.

"Bagaimana keadaan kakek yang kalian tolong itu?"

"Dia ada riwayat jantung bu. Tadi pagi dokter bilang keadaan kakek sudah membaik tapi masih harus dirawat, soalnya keadaannya masih perlu perawatan dan belum sembuh total," jelas Alea. Dia menjelaskan apa yang dokter ucapkan tadi karena saat dokter itu datang hanya ada Alea di ruangan kakek Amar.

"Syukurlah kalau memang sudah membaik. Kalian sudah sarapan?"

"Sudah, tapi Fitri lapar lagi," ucapku terkekeh.

Perutku memang perut kampung, sudah diberi makan sandwich tapi kalau belum bertemu nasi terasa seperti belum makan.

"Ya sudah. Makan dahulu sana," ucap bu Sri menunjuk meja makan yang masih tersedia nasi goreng di dalam satu mangkuk besar.

"Alea mau tidur saja bu," ucap Alea tiba-tiba saja berdiri dan pergi masuk ke dalam kamar. Mungkin tubuhnya pegal karena tidur di atas sofa.

Aku dan ibu bingung dengan sikap Alea. Dia jadi pendiam karena yang kami tahu Alea itu orangnya ceria.

Tadi saat aku dan mas Azmi masuk ke ruangan kakek Amar, Alea sedang duduk di samping kakek Amar dan sedang menggenggam tangan kakek Amar. Aku lihat kakek Amar sudah bangun juga dari tidurnya.

Tadi pagi wajah kakek Amar sudah tidak ada pandangan layu dan ekspresi menahan sakit lagi.

"Bu, ada yang mau Fitri bicarakan."

"Ada apa Fit?" tanya Bu Sri mengerutkan keningnya.

"Kita bicara di kamar ibu boleh?" tanyaku. Sepertinya ia paham kalau apa yang akan kami bicarakan cukup penting. Bu Sri mengangguk dan tersenyum menenangkan ke arahku.

*

Aku menceritakan semua yang aku alami saat menolong kakek Amar. Bu Sri mendengarkan aku bercerita tanpa memotong sedikit pun ucapanku. Aku bercerita sambil memeluk Bu Sri.

“Menurut ibu bagaimana?”

“Dari lubuk hati ibu yang paling dalam jujur saja ibu tidak mau kamu menikah secepat ini.“

“Fitri juga sudah menolak. Tapi pria itu kekeh mengajak Fitri untuk menikah.”

Bu Sri menerawang.

“Apa maksud kakek Amar dan pria itu untuk menikahkan kamu dengan cucunya itu?”

“Itu Fitri juga tidak tahu.”

Aku makin mengeratkan pelukanku pada Bu Sri.

Tok tok

Bu. Ini Alea,” teriak suara itu dari luar kamar ibu Sri.

“Masuk saja Lea,” balas bu Sri.

Alea masuk ke dalam kamar bu Sri dan ikut memeluk bu Sri dari samping. Jadi kami berdua memeluk bu Sri dengan erat di kedua sisi.

“Lea tadi katanya mau tidur,” ucap Bu Sri.

“Lea tidak bisa tidur bu. Ini gara-gara kakek Amar,” rajuk Alea.

Aku mengerutkan kening.

Bu Sri mengusap pipi Lea, “Kenapa, hm?”

“Kakek Amar meminta Lea menikah juga.”

Apa?

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status