Saat dia memberanikan diri untuk menatap satu orang diantara mereka, orang itu malah cepat-cepat menunduk sambil menyapanya dengan hormat,"Selamat datang, Nyonya Mahendra."Eh, eh. Kok mereka memanggilku Nyonya Mahendra lagi sih? Atau jangan-jangan,aku mirip dengan Nyonya Mahendra? Siapa sih dia?Mia sebenarnya kebingungan. Tetapi dia tidak mungkin bertanya, hanya membalas sapaan mereka dengan senyuman saja.“Wah, Nyonya Mahendra ternyata sangat ramah ya?” Dengar satu orang berkata seperti itu."Iya. Begitu anggun dan lembut!"Bisik-bisik mereka terdengar oleh Mia. Wah, mereka benar-benar sudah salah paham mengira aku Nyonya Mahendra.Mia berjalan sedikit terburu, dia ingin bertanya pada pria yang berjalan mendahuluinya itu, tetapi langkah mereka berhenti di depan sebuah pintu ruangan.Pria itu mengetuk sebentar kemudian membuka pintu."Silahkan Nyonya. Tuan sudah menunggu anda."Mia mengangguk pelan. Dengan sangat ragu dia melangkah.Dia bisa melihat suaminya sedang duduk di hadapan
"Gara," Mia hampir bertanya lagi."Ayo makan, sayang. Lapar." Rengel Gara, membuat dirinya mengurungkan pertanyaannya kembali.Mereka kemudian makan, Gara terlihat begitu menikmati makanan buatan istrinya.Nyonya Mahendra. Nyonya Mahendra. Pikiran Mia dipenuhi dengan nama itu. Siapa sebenarnya dia, atau jangan-jangan? Pikirannya tiba-tiba buruk.Apa wanita itu mantan istri Gara yang kebetulan mirip denganku?Tapi menurut Gara sendiri, dia belum pernah menikah, atau mantan pacarnya?Dia tersentak dari lamunannya saat jari Gara menyentuh bibirnya dengan tisu, membersihkan sisa makanan yang menempel disudut bibirnya."Makannya yang benar, kenapa seperti anak kecil?" Mia terpana ketika pandangannya bertemu dengan kedua mata Gara."Gara,""Hem. Kenapa? Aku tampan ya? Atau baru sadar kalau suamimu ini tampan?"Wajah Mia memerah dan menunduk karena malu. Tiap kali tatapannya beradu dengan suaminya, tiap itu juga jantungnya berdebar tak karuan. Padahal ini kan suaminya? Sudah setiap hari dia
Setelah selesai makan siang, Gara mengajak Mia untuk pulang ke apartemen saja. Mereka menghabiskan waktu hari ini dengan bercanda hangat penuh kebahagiaan.Malam harinya, Gara merebahkan kepalanya di paha Mia. Menikmati wajah cantik Istrinya.Ternyata gadis sederhana ini bisa cantik juga. Artinya benar kata orang , semua wanita akan terlihat semakin cantik jika berada di tangan suami yang tepat.Memikirkan itu Gara mempunyai ide untuk membelikan salon kecantikan Pribadi untuk istrinya. Dia ingin istrinya selalu cantik seperti ini. Selain untuk menebus masa lalu Mia yang penuh kekurangan, juga karena mau tidak mau Mia harus dituntut agar selalu cantik, karena sekarang dia adalah Nyonya Mahendra.Kedepannya, Mia akan sering bertemu dengan orang-orang penting bersamanya. Apalagi Gara juga ingin segera mempublikasikan pernikahannya yang memang belum diketahui oleh publik.Dia berencana untuk mengadakan resepsi pernikahan yang megah tetapi setelah pernikahan Dinda usai dahulu. "Gara, kamu
Mia juga merasakan hal yang sama. Seperti belum pernah saja. Begitu indah melebihi malam pertama mereka.Ah, mungkin karena jika dulu dulu,adegan ini terjadi karena sebuah tuntutan hak sebagai suami istri saja. Tapi malam ini , adegan ini mengalir begitu tulus dan penuh dengan cinta kasih.Sampai keduanya merasa lelah dengan keringat yang bercucuran. Gara memeluk istrinya sambil menciumi kepalanya."Temani aku sampai aku mati ya?""Hust… Bicara apa sih?" Mia menutup mulutnya."Maksudnya, bersamaku sampai ajal yang memisahkan kita.""He.. Kamu juga ya?""Tentu saja.""Jangan ada yang lain?"Gara mendongak. "Jelas ada, kalau hanya kamu itu pasti kurang menyenangkan.” Mia membulatkan matanya dengan kesal, "Jadi kamu sudah berpikir untuk menduakan aku? Mau menikah lagi begitu?"Gara tertawa kecil. "Bukan. Tapi aku pasti ingin membagi cintaku. Bukan untuk orang lain, tetapi untuk yang nanti keluar dari sini." Dia mengelus perut Mia."Ah.. aku sudah mau emosi saja." Mia tersipu malu.Gara
"Eh, Mbak. Nggak kok. Ini empuk." Mia langsung mencegah."Oh. Lalu bagaimana Nyonya. Apa yang membuat Nyonya tidak nyaman? Tolong katakan?" Pengurus salon berbicara dengan cara membungkukkan badannya.Mia tertawa dalam hati. Kenapa mereka lucu sekali sih? Seperti sedang bicara dengan presiden aja.“Aku hanya lapar. Tapi tidak apa-apa. Kalau tidak bisa istirahat, aku akan menahannya.""Astaga! Nyonya lapar?" Pengurus langsung memberi perintah kepada Anak buahnya untuk memesan makanan."Tunggu sebentar ya Nyonya. Anak buahku akan segera memesan makanan."Mia hanya bisa menghela nafas saja sambil mengangguk. Tidak lama kemudian, pesanan makanan datang. Satu pegawai dengan cepat membuka makanan dan mendekatkan pada Mia yang sedang mendapatkan perawatan kuku."Sini makanannya." Mia minta pegawai itu meletakan makanan di atas meja yang ada di depannya."Eh, Nyonya. Jangan bergerak!" Pengurus salon mencegah tangan Mia yang akan bergerak.Mia tercengang, dia mau makan kenapa tidak boleh?"Lho.
Mia sudah selesai menelpon suami. Dia hanya tinggal menunggu suaminya datang untuk menjemputnya saja. Lalu dia kembali menoleh ke arah seseorang yang seperti dikenalnya tadi. Setelah memperhatikan dengan cukup lama Mia terkejut, ternyata yang datang itu adalah Dinda adiknya. Kebetulan Pengurus sedang masuk untuk mengontrol pelanggan yang lain. Mia menghampiri Dinda yang sedang menunggu giliran."Dinda? Kamu disini?” Dinda dan Reni menoleh bersamaan. Mereka terkejut . Langsung menatap Mia dari ujung kaki hingga kepalanya.“Mbak Mia?” tatapan Dinda berhenti di wajah kakaknya itu. Dia tidak berkedip, sama halnya dengan Reni, mereka melotot sampai Mia bergerak menempuh pundaknya.“Wah, calon pengantin baru rupanya ke salon ini juga ya?” “Ini, mbak Mia kan?” Yang bertanya seperti ini bukan Dinda melainkan Reni. Dinda malah terbengong disisi Reni.“Iya, aku Mia. Kakaknya Dinda. Masa lupa. Kamu Reni, kan?”Reni langsung tercengang, menoleh pada Dinda yang membeku di kedua kakinya.“Dinda,
Bukan kenal lagi! Aku ini adik kandungnya Nyonya Mahendra itu!Dinda berteriak demikian tetapi hanya sebatas tenggorokan."Aduh! Tiba-tiba kepalaku pusing, Ren. " Dinda mengeluh pada Reni. Padahal dia sebenarnya ingin segera pergi dari sini, ingin lari dari kenyataan yang baru saja dilihatnya tadi dan membuatnya syok berat."Ayo pulang saja." Dinda mengajak Reni untuk pulang."Lho, kok pulang? Perawatannya bagaimana?" Tanya Pengurus Salon.“Tidak jadi, besok saja." Jawab Dinda sambil segera menarik tangan Reni untuk buru-buru keluar dari salon.Sepanjang perjalanan pulang Dinda termenung. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang dilihatnya tadi."Aku benar-benar masih kurang percaya, kalau tadi adalah Mia dan suaminya yang miskin itu. Masa iya sih Gara seorang pengusaha?” Dinda berkata pelan, sambil mengurut pelipisnya.“Iya, aku juga merasa seperti tidak percaya. Tapi mendengar penjelasan dari pengurus salon tadi dan melihat penampilan mereka, lalu mobil yang dibawa suaminy
"Hehe. Tapi bukan sayang. Jadi aku hanya meneruskan pekerjaan pamanku. Kebetulan paman dulu adalah orang kepercayaan Keluarga Mahendra yang mengurus Perusahaan cabang milik Tuan Gara. Karena Paman sudah sangat tua dan tidak punya keturunan, jadi mempercayakan semua itu padaku."Dinda hanya mengangguk kecil. Di dalam hatinya ada kekecewaan yang begitu besar. Ternyata calon suaminya ini bukan pemilik asli perusahaan itu. Hanya sebatas orang yang dipercaya untuk mengurus saja.Malam ini Dinda tidur dengan sangat gelisah.Besoknya, Rumah Dinda sudah terlihat ramai. Mereka mulai menyiapkan segalanya untuk menyambut acara besok.Tidak banyak tetangga yang diundang Rita ke rumah, hanya tetangga kanan kiri saja. Rita sengaja melakukan itu karena semua persiapan pesta sudah diserahkan kepada oleh tim pekerja saja.Urusan dekorasi juga pada mereka yang menyewakan. Sementara urusan hidangan sudah diserahkan pada penyedia jasa catering. Jadi mereka hanya bersantai saja."Din.. kok kamu nggak ke s