Share

BAB 5: Size Zero

Tangan besar Leona meraba ke sisi kiri tempat tidur dengan mata masih terpejam. Kening berkerut menyadari tidak ada orang di sana. Kelopak netra abu-abu itu perlahan terbuka, lantas menatap lesu ruang kosong yang ada di sebelah.

Tidak ada Mark di sana. Biasanya ia memeluk pria itu sebelum membuka mata, kemudian suaminya memberi kecupan selamat pagi. Begitulah setiap pagi yang ia lewati dulu. Kini semua berubah setelah pengkhianatan Mark. Lelaki itu bahkan masih bersandiwara seolah masih mencintainya, sebelum aksi bejatnya diketahui Leona.

Hari kedua tanpa suami di sisi, masih terasa berat bagi Leona. Bayangkan, ia telah menghabiskan waktu sepuluh tahun bersama, berbagi suka dan duka. Sekarang hanya luka yang ia rasakan. Lagi, bulir bening meluncur begitu saja dari sudut matanya.

“Leona.” Tiba-tiba terdengar suara bariton dari luar. Sudah jelas milik West, pria yang baru dikenalnya selama tiga hari.

“Ya?” sahutnya dengan suara serak khas bangun tidur.

Kedua jari telunjuk Leona bergerak ke bagian mata, lantas menguceknya sebentar. Dia beranjak duduk, merentangkan kedua tangan dan meregangkan otot-otot yang bisa jadi sakit akibat posisi tidur yang kurang pas, atau karena tertindih tubuhnya yang gempal.

“Kau masih tidur?” tanya West di balik pintu.

“Kalau masih tidur, bagaimana aku bisa menjawabmu, West?” jawab Leona mengeraskan suara.

Samar terdengar suara West tertawa di luar, membuat wanita itu berdecak. Leona kemudian berdiri seraya mengikat seluruh rambut ke atas, sebelum membuka pintu.

“Ada apa?” desis Leona setelah membuka pintu. Pandangannya melihat ke arah lantai, bukan kepada West.

Pria berambut cokelat itu mengamatinya beberapa saat. “Kau menangis lagi?” tebak West setelah melihat sisa air mata di sudut mata Leona.

“Siapa yang menangis?” kilah Leona menyeka air mata yang siap mengalir sambil mengedipkan mata cepat.

Dua detik kemudian, ia malah menangis tersedu. “Sampai kapan aku terbiasa dengan keadaan ini, West?”

Lelaki bertubuh tinggi tegap itu menarik napas berat, kemudian menarik tubuh besar Leona ke dalam pelukan. Dia menepuk pelan punggung yang dilapisi lemak itu, mencoba menenangkannya.

“Kau bisa pinjam bahuku saat ingin menangis, Leona,” bisik West membuat wanita tersebut semakin sesegukan.

“Kenapa kau baik sekali? Kita baru kenal tiga hari,” isak Leona di dada bidang itu. Aroma citrus menyeruak di rongga hidungnya.

Tangan West naik membelai lembut belakang kepalanya. “Tidak perlu mengenal lama untuk melakukan kebaikan, Leona. Itu semacam panggilan hati.”

Wanita itu melonggarkan pelukan, lalu mundur satu langkah ke belakang. Netra abu-abunya memandang paras West yang dihiasi rambut halus di pinggir wajah hingga dagu.

“Ternyata penipu sepertimu gampang tersentuh,” komentar Leona tersenyum kecut.

Bibir West terbuka sedikit ketika jari telunjuk naik ke atas. “Aku menipu orang yang pantas untuk ditipu, Leona. Jangan lupa itu.”

Leona mengangguk kecil.

“Sekarang mandilah. Setelah sarapan kita akan pergi ke suatu tempat.”

“Ke mana?” Raut bingung menghiasi wajah wanita tersebut.

“Membeli pakaian untukmu.”

Jari telunjuk dilapisi lemak itu bergerak ke wajah chubby-nya. “Pakaian untukku? Buat apa? Aku masih punya pakaian yang bagus.”

West berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Bukan pakaian seperti itu maksudku, tapi gaun berukuran nol alias size zero.”

What?” Leona terbelalak mendengar perkataan West.

“Ukuran yang cocok untuk tubuh dan identitas barumu, Leona.” West menyeringai dengan sebelah alis naik ke atas.

***

“Apa tidak sebaiknya beli nanti saja? Belum tentu aku bisa kurus lagi,” keluh Leona ketika mereka sudah berada di mall.

West menggeleng dengan pandangan mencari outlet yang bagus untuk dikunjungi. “Pakaian itu bisa menjadi motivasi untukmu menurunkan berat badan, Leona.”

“Tapi ….”

Mata biru itu melebar saat kedua alis naik ke atas. “Kau harus menurunkan berat badan empat puluh kilogram. Bayangkan, empat puluh kilogram!!” katanya mempertegas kalimat terakhir.

“Aku tidak yakin berhasil. Sekarang saja tubuhku lemas karena kurang makan,” keluh Leona memperlihatkan wajah yang menyedihkan.

Pria itu menggeleng cepat, lalu melanjutkan lagi langkah menuju outlet pakaian wanita.

Leona terpaksa mengikutinya dari belakang. Sejak tadi ia merasa was-was jika bertemu dengan Mark di sini, karena mall ini sering dijadikan tempat untuk bertemu dengan klien.

Dia tertawa miris menyadari pria itu tidak menghubunginya sejak bertengkar dua hari yang lalu.

“Dasar pria brengsek,” gerutunya pelan.

“Siapa yang brengsek?” Langkah West berhenti tepat di depan pintu outlet pakaian. Dia memutar balik tubuh menghadap Leona dengan sebelah tangan masuk ke saku celana jeans.

“Siapa lagi?”

“Maksudmu Mark?” Pria itu mengedarkan pandangan ke lantai mall tempat mereka berada. “Kau melihatnya?”

Leona menggeleng lesu. “Aku hanya ingin memakinya saja.”

Why?

Wanita itu mengibaskan tangan singkat. “Lupakan. Aku sedang tidak ingin membahas pria itu.”

West bingung melihat sikap plin-plan wanita yang ada di depannya sekarang. Terkadang Leona terlihat seperti membenci Mark, tapi tidak jarang juga menangis karena masih mencintainya. Dia meraih tangan yang membengkak karena lemak tersebut, kemudian menggenggamnya erat.

“Ayo masuk.”

Leona bergeming menatap pegangan tengan West.

“Kita sudah sepakat akan berkencan sebelumnya, Leona. Kau lupa?”

Kepala dengan rambut dikuncir satu itu menggeleng.

“Apa kau tidak malu berjalan dengan wanita gendut sepertiku?”

Pria berahang tegas itu menggeleng singkat, kemudian menarik tangan Leona memasuki outlet pakaian. “Untuk apa malu? Kau cantik,” katanya membuat pipi chubby memancarkan semu merah.

Leona memilih diam ketika melihat West berinteraksi dengan penjaga outlet. Dia sendiri bingung harus membeli apa, karena sudah lama tidak berbelanja di toko yang menjual gaun untuk tubuh langsing.

“Bisa pilihkan pakaian yang cocok untuknya?” pinta West setelah disambut ramah oleh pelayan.

Pelayan dengan rambut disanggul tersebut tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya ketika melihat Leona.

“Jangan lihat tubuhnya yang sekarang, tapi nanti,” ujar West lagi seakan tahu makna tatapan mata hitam pelayan tersebut.

“Maaf, Tuan,” ucap pelayan menundukkan sedikit tubuh ke depan.

West mengalihkan pandangan kepada Leona, memintanya agar ikut dengan pelayan. “Pilih yang kau suka.”

Meski merasa sedikit aneh, akhirnya wanita bertubuh besar tersebut mengikuti pelayan. Dia kebingungan dengan ukuran berapa yang akan dipilih.

“Ingat size zero, Leona,” cicit pria itu menahan tawa.

Leona memandang West dingin. Dia sendiri tidak yakin bisa menurunkan berat badan sebanyak itu dalam waktu singkat.

Dua jam mengitari mall membuat tungkai Leona lelah menopang tubuh gempalnya. Beberapa pakaian yang dibutuhkan sudah berada di tangan West. Pandangannya beredar mencari keberadaan tempat duduk.

“West, aku lelah. Sebaiknya kita istirahat dulu,” ajak Leona dengan keringat mulai muncul di sela pori-pori.

“Oke. Kita cari tempat santai dan minum kopi dulu.” Pria itu mengacungkan telunjuk ke atas. “Tapi ingat, kau hanya boleh mengkonsumsi espresso atau jus buah dengan sedikit gula.”

Leona mengangguk pasrah. Keinginan meminum cappuccino creamy terpaksa diurungkan demi menurunkan berat badan. Target yang diberikan West hanya tiga bulan. Wow!!

Mereka berdua mengambil tempat duduk yang berada di sudut kanan café agar bisa berbicara dengan leluasa. Leona menghempaskan tubuh dengan lesu di kursi yang berada tepat di depan West duduk.

“Apa kau selalu seperti itu?” tanya West sebelum membuka buku menu.

“Seperti itu apa?” Leona malah balik bertanya.

“Cepat lelah.” Pria itu menutup lagi buku menu setelah menemukan pesanan yang diinginkan. Dia mengalihkan pandangan kepada Leona. “Kita baru berjalan dua jam dan kau sudah mengeluh kelelahan.”

Dagu West terangkat menunjuk wanita itu. “Lihatlah wajahmu sekarang. Benar-benar menyedihkan,” sambungnya setengah meledek.

“Berat badanku terlalu berlebih, West. Karena itulah cepat lelah.”

“Kenapa kau tidak menurunkan berat badan sebelumnya?”

Leona mengangkat bahu singkat. Dia meraih buku menu, sebelum menjawab pertanyaan kesekian dari West. “Aku lebih banyak di rumah, stress dan menjadikan makanan sebagai pelampiasan.”

Pantas saja suaminya selingkuh. Aku jamin dia tidak bisa memuaskannya di ranjang, komentar West dalam hati.

“Sekarang kau harus berjuang untuk menurunkan berat badan,” tanggapnya kemudian.

Baru saja ingin merespons perkataan pria tersebut, tilikan netra Leona tak sengaja menangkap kehadiran sosok yang sangat dikenal di pintu café. Udara mendadak hilang di sekitar, sehingga napasnya menjadi sesak. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam hati saat ini.

Marah, benci dan … rindu. Sial! Wanita itu tidak tahu harus mengikuti rasa yang mana.

“Kau kenapa Leona?” gumam West melihat perubahan drastis wajah perempuan yang duduk di depannya.

Leona menundukkan kepala dalam-dalam, sebelum menjawab pertanyaan West. “Mark ada di sini.”

Bersambung....

Hai Kakak-kakak, mohon maaf novel ini aku pending update hingga kontrak dari Good Novel turun ya. Tenang aja, aku akan langsung update ketika sudah sign kontrak. Jangan lupa follow I* @Leena_gie, agar bisa mendapatkan informasi terkini tentang novel ini :*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status