Mata abu-abu lebar milik Leona mengitari rumah minimalis yang terbuat dari kayu. Suasana sekitar terasa begitu hening, karena rumah ini terletak di tempat terpencil. Jika saja West mengajaknya ke sini saat awal mereka bertemu, tentu ia akan menolak mentah-mentah. Tentu khawatir jika diculik dan disekap di sini hidup-hidup.
“Semoga kau menyukainya, Leona,” ujar West memandang wajah takjub wanita itu.
Leona menoleh dengan semringah. “Sure, West. I love it. Suasana di sini begitu tenang dan nyaman.”
West mengangguk cepat. “Aku bisa melihatnya. Ayo masuk!”
Dia menarik tangan Leona ketika melangkah memasuki rumah tersebut.
Begitu berada di dalam, Leona semakin dibuat terkesima dengan interior rumah. Sebuah kepala rusa terpajang di atas tungku perapian. Satu set meja kayu berada di depan tempat perapian. Tak jauh dari sana terdapat satu set sofa berukuran menengah.
“Ke mana Shaun dan Cassie?” Leona menoleh ke belakang karena tidak melihat suami istri itu sejak tadi. Padahal mereka ke sini beriringan dengan mobil masing-masing.
“Mereka ke supermarket dulu. Kita harus punya stok makanan banyak, karena lokasi supermarket dan rumah penduduk jauh dari sini.”
Sekarang giliran Leona yang mengangguk-anggukkan kepala dengan mata masih menatap kagum interior rumah.
West meneruskan langkah menuju satu-satunya kamar yang ada di rumah tersebut. “Ini kamarmu, Leona,” katanya membuka pintu.
Wanita bertubuh gempal itu melirik sekilas, sebelum bergerak ke dekat West. Dia masih melihat rumah yang hanya memiliki satu lantai tersebut. Sesaat kemudian keningnya berkerut.
“Kamarnya hanya satu?” tanya Leona bingung.
“Ya, hanya ada satu kamar di sini. Rumah ini hanya aku gunakan ketika ingin berburu,” jawab West sambil garuk-garuk kepala.
“Ini rumahmu?” Mata wanita itu membesar seketika.
“Ya. Aku membelinya dulu sekali.”
Leona melipat kedua tangan di depan dada sambil memandang West dengan penuh selidik. “Sepertinya kau orang kaya. Kenapa jadi penipu?”
West menarik napas berat sebelum menanggapi. “Aku akan ceritakan jika sudah waktunya. Sekarang kau masuk dan beristirahatlah.”
Pria itu meletakkan koper besar yang dibawa Leona.
“Bagaimana denganmu?”
Tangan West terangkat ke atas, kemudian menggaruk tengkuk dengan ujung ibu jari. “Aku bisa tidur di sofa atau di depan tempat perapian.”
Leona menunjukkan wajah sungkan. Dia menggeleng singkat. “Sebaiknya kau yang tidur di kamar dan aku di luar.”
“Tidak, Leona. Kau perempuan, tidak baik tidur di luar. Apalagi rumah ini jauh dari rumah lainnya.”
West sengaja mengajak Leona ke tempat yang jauh, agar bisa konsentrasi menurunkan berat badan. Terus tinggal di kota akan memberi peluang baginya untuk bertemu dengan Mark lagi.
“Don’t worry, tidak masalah bagiku tidur di mana saja,” sambung West tak ingin Leona merasa sungkan lagi.
Akhirnya wanita itu menuruti kemauan West. Dia bergerak masuk ke dalam, lantas membuka lemari pakaian yang terbuat dari kayu dengan desain klasik. Setelah meletakkan seluruh pakaian yang ada di dalam koper, Leona kembali menemui pria itu di luar.
“Apa tidak ada binatang buas di sini?” Leona mengajukan pertanyaan.
West menggelengkan kepala. “Hutan masih jauh dari sini.”
Sesaat kemudian ia menyeringai. “Kenapa? Kau takut jika ada beruang yang ingin memakan dagingmu?” ledek pria itu sambil menirukan gaya cengkeraman beruang.
“Siapa yang takut? Aku hanya ingin tahu saja,” tanggapnya seraya memutar bola mata.
Leona mengedarkan lagi pandangan ke setiap sudut rumah minimalis tersebut. “Shaun dan Cassie akan tidur dimana?”
West melangkah menuju koper yang dibawa, lantas meletakkannya di pinggir dekat sofa. Dia kembali melihat kepada Leona yang masih menunggu jawabannya.
“Mereka tidak di sini bersama kita, Leona.”
“What?” Mata abu-abu Leona terbelalak mendengar perkataan West. Artinya mereka hanya tinggal berdua di rumah yang jauh dari keramaian ini?
“Aku sudah katakan sebelumnya, bukan?” Kaki West kembali bergerak ke dekat Leona. “Aku akan membawamu ke tempat yang hanya ada kau dan aku.”
Penjelasan West barusan membuatnya menelan ludah seketika.
***
Menjelang makan malam, Leona mempersiapkan makanan untuk West, Cassie dan Shaun. Sebelum suami istri tersebut kembali lagi ke kota, mereka harus membahas rencana tiga bulan ke depan.
“Wah sepertinya enak,” cetus West mengusap kedua belah tangan sebelum mengambil garpu dan pisau.
Malam ini Leona memasak steak daging rusa dan salad. Dia masih diperbolehkan makan daging rusa, karena tidak mengandung karbohidrat. Daging rusa cocok untuk diet karena protein yang tinggi.
“Selamat makan. Semoga kalian menikmatinya,” ujar Leona melihat ketiga orang yang bersama dengannya.
Mereka semua makan malam dengan tenang, tanpa bersuara. Wanita bertubuh gempal tersebut memperhatikan ekspresi mereka yang makan dengan lahap. Senyum mengembang di wajah saat tahu mereka suka dengan masakannya.
“Wah, ini steak rusa paling enak yang pernah kucoba,” puji Cassie mengacungkan ibu jari setelah makan malamnya tandas.
“Benarkah?” tanya Leona tak percaya.
Shaun ikut mengangguk membenarkan perkataan istrinya. “Sangat empuk. Bumbunya juga meresap sempurna ke dalam daging.”
Senyum semakin lebar di pipi chubby Leona.
“Tiga bulan berada di sini, bisa-bisa aku yang gemuk,” komentar West sembari menyeka sudut bibir dengan serbet.
Leona berdecak, lantas menyikut lengan pria itu. “Baguslah. Aku kurus dan kau yang gemuk. Biar tahu bagaimana rasanya menjadi gendut.”
Wanita bertubuh besar itu mengambil piring bekas makan malam.
“Nanti saja dirapikan lagi. Kita harus diskusikan rencana ke depan.” West menghentikan Leona yang sedang merapikan meja makan.
Dengan patuh wanita itu melepaskan pegangan di piring yang akan disusun.
“Kita ke sana dulu,” ajak West mengerling ke sofa.
Mereka berjalan beriringan menuju sisi lain ruangan. Cassie dan Shaun duduk berdampingan di sofa yang cukup untuk dua orang, sementara West duduk di sofa single. Leona mengambil tempat di sofa panjang. Wanita itu tahu persis tubuh besarnya membutuhkan tempat yang luas untuk duduk.
“Oke. Langsung saja, karena Shaun dan Cassie harus kembali lagi ke Earth Ville.” West duduk sambil bersandar di punggung sofa.
“Shaun dan Cassie, tolong terus awasi pergerakan Mark. Laporkan berita apa saja tentang pria itu kepadaku. Jangan sampai ada yang terlewatkan,” titah pria itu kepada dua orang rekan kerjanya.
Suami istri itu mengangguk paham.
“Aku yakin sekarang dia menyusun rencana untuk menyudutkan Leona. Oleh karena itu aku membawanya ke sini,” sambung West kemudian.
Dia sudah bisa memprediksi apa yang akan dilakukan oleh suami Leona. West diam sebentar sebelum kembali berujar, “Mengenai pekerjaan kita yang lain, sebaiknya ditunda dulu.”
“Tidak, West. Jangan sampai masalahku mengganggu pekerjaanmu,” sela Leona keberatan.
Pria itu menggeleng dengan cepat. “Rehat bekerja selama tiga bulan, tidak akan membuat kami miskin Leona,” tanggap West disambut anggukan dari Shaun dan Cassie.
Mata abu-abu Leona menyipit seketika. “Sepertinya pendapatan kalian di luar dugaanku.”
“Kau benar, Leona. Lebih dari yang kau pikirkan,” komentar Cassie manggut-manggut.
“Tenang. Setelah kau kurus nanti, kita bisa mencari uang yang lebih banyak lagi,” imbuh Shaun tidak menunjukkan wajah keberatan sama sekali.
Leona menatap haru ketiga orang itu satu per satu. Dia boleh saja kehilangan satu orang, tapi lihatlah sekarang, ia bertemu dengan tiga orang yang tulus membantunya.
“Thank you so much. Aku bersyukur bisa bertemu dengan kalian semua,” ucap Leona melihat mereka bergantian, “aku berjanji akan bekerja maksimal setelah kurus nanti. Percayalah!”
“Karena itu, kau harus fokus dengan programmu, Leona. Persiapkan tenaga juga untuk melakukan hiking ke bukit belakang sana setiap pagi,” tutur West tersenyum di salah satu sudut bibir. Dia tidak tahan membayangkan, bagaimana ekspresi wanita itu ketika menjalani program penurunan berat badan nanti.
“Oke. Siapa takut? Akan kutunjukkan padamu, kurang dari dua bulan berat badanku sudah mencapai size zero sesuai dengan target yang kau berikan.”
Shaun bertepuk tangan sambil berdecak kagum. Dia suka dengan semangat Leona. “Semoga hari-harimu menyenangkan di sini, Leona.”
“Oya, jangan lupa kumpulkan bukti perselingkuhan Mark dan skandal yang pernah dilakukannya.” West melihat kepada Cassie sebelum berkata lagi. “Kau akan jadi pengacara Leona, Cassie.”
Kedua alis Leona terangkat ke atas mendengar perkataan West lagi. Bagaimana bisa seorang penipu menjadi pengacara?
“Apa bisa seperti itu, West?” tanya Leona ragu.
“Kenapa tidak bisa?” West menegakkan tubuh, kemudian mengerling kepada Cassie. “Perlihatkan kepadanya, Cassie.”
Wanita yang memiliki rambut asli berwarna pirang itu mengeluarkan kartu berukuran kecil dari dalam tas. Dia menyerahkannya kepada Leona.
“Lisensiku sebagai pengacara,” ungkapnya membuat wanita berwajah chubby itu tercengang.
Keningnya berkerut bingung melihat West, Shaun dan Cassie bergantian.
“Itu asli, Leona.” West kembali bicara.
“Bagaimana bisa?” Leona masih kebingungan.
“Sorry, kami belum bisa menceritakannya kepadamu. Intinya selama ini Cassie yang selalu membantu kami lolos dari jeratan hukum,” cicit West melihat bangga kepada rekan kerja wanitanya itu.
Leona membuang napas lesu. “Ternyata aku belum tahu apa-apa tentang kalian.”
Wanita itu melempar telunjuk kepada Shaun. “Jangan bilang kalau kau seorang detektif,” gumamnya menyipitkan mata.
Shaun tertawa lepas. “Aku bukan detektif atau sejenisnya, Leona. Aku hanya seorang ahli IT yang bekerja dengan Bos,” elaknya.
Mereka kemudian berbicang hingga satu jam ke depan, sebelum Shaun dan Cassie kembali ke Earth Ville.
Suasana menjadi canggung ketika suami istri tersebut sudah pergi meninggalkan rumah. Tidak ada percakapan di antara West dan Leona sekarang. Hening. Hanya suara burung hantu dan jangkrik yang berbunyi sesekali di luar. Andai ini adalah cerita horor, tentu akan terdengar lolongan anjing dan tawa melengking dari kejauhan.
“Sebaiknya aku tidur,” desis Leona memecah kesunyian.
West mengangguk singkat. “Kau harus istirahat. Setelah sarapan besok, kita akan melakukan perjalanan.”
“Ke mana?”
“Bukit yang ada lima kilometer dari sini.”
“Baiklah. Aku akan ambilkan bantal dan selimut untukmu,” kata Leona berdiri kemudian melangkah ke dalam kamar.
Begitu tiba di dalam kamar, ia mencari keberadaan selimut tebal yang bisa menghangatkan pria itu. Dia yakin malam akan terasa dingin di daerah ini.
“Kenapa tidak ada selimut lagi di sini?” bisiknya pada diri sendiri.
Tangannya masih mencari keberadaan selimut lain di dalam lemari.
“Aku tidak menemukan selimut. Di mana kau letakkan, West?” teriak Leona dari dalam kamar.
Tidak ada jawaban dari pria itu.
“West?” panggilnya lagi.
Leona mendongakkan kepala ke arah pintu dan memanggil West.
“Apa dia tidur? Secepat itu?”
Akhirnya ia memutuskan untuk melihat West di luar. Ternyata benar, pria itu sudah memejamkan mata dengan kepala berada di lengan sofa.
Leona berdecak sambil menggelengkan kepala. “Dia pasti kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh.”
Dia kembali lagi ke kamar membawa bantal dan selimut untuk West. Setelahnya kembali keluar.
Wanita itu meletakkan selimut dan bantal di sofa single tidak jauh dari West tidur. Dia menutupi tubuh tinggi tersebut dengan satu-satunya selimut yang ada di sana. Tak lama kemudian, Leona menyelipkan tangan di sela kepala dan lengan sofa, agar bisa mengangkat kepala pria itu.
Saat akan meletakkan bantal, West membuka mata sehingga pandangan keduanya bertemu. Leona terkesiap saat melihat netra biru kecil itu menatapnya lekat. Suasana yang tadinya canggung menjadi bertambah canggung ketika mereka berada di saat seperti ini. Sunyi, berdua saja dan penerangan seadanya.
Pandangan West beralih ke bibir kemerahan milik Leona. Sementara wanita itu masih bergeming entah sedang memikirkan apa.
Deg!
Deg!
Deg!
Bersambung....
“Maaf, aku hanya ingin memberikan bantal dan selimut ini kepadamu,” ucap Leona ketika suasana semakin terasa tegang. Lebih menegangkan dibanding film horor yang pernah ditontonnya bersama dengan Mark dulu.Dia menarik napas panjang sebelum mundur sedikit ke belakang. Entah kenapa jantungnya menjadi terusik ketika melihat wajah West dari jarak dekat. Apalagi mereka sempat berbagi pandang beberapa saat. Untuk pertama kali dalam sepuluh tahun, Leona merasa debaran tak biasa di dalam diri.Ini hanya karena terbawa suasana saja. Jangan berpikir aneh-aneh, Leona, gumamnya dalam hati.“Selimutnya hanya satu, Leona.” West mengubah posisi menjadi duduk, lantas menyerahkan lagi selimut kepada Leona.Wanita itu menggeleng. “Buatmu saja. Lemakku masih cukup untuk menghangatkan tubuh,” sahutnya setengah bercanda.West tergelak mendengar perkataan Leona barusan. “Di sini dingin ketika malam hari. Kau yakin lemak
Satu bulan kemudianLeona berusaha membuka mata yang masih terasa berat. Setelah memaksa agar kelopak terangkat, akhirnya ia bisa melihat pria yang terlelap di sisi lain tempat tidur dengan jelas. Siapa lagi jika bukan West Taylor.Ya, sampai saat ini mereka masih berbagi tempat tidur dan selimut. Pada awalnya Leona dan West merasa canggung, tapi sekarang sudah terbiasa. Terlebih hubungan keduanya juga menjadi akrab, layaknya teman dan rekan kerja.Hari ini adalah hari penimbangan berat badan. Sesuai dengan saran West, Leona boleh menimbang berat badan satu bulan setelah program penurunan berat badan dimulai.Satu bulan dijalani Leona dengan penuh perjuangan. Apalagi West benar-benar menerapkan peraturan ketat kepadanya, terutama perihal makanan. Jangan harap wanita itu bisa mengkonsumsi es, cokelat, kopi dicampur krim dan sejenisnya.Mengenai Mark, pria itu ternyata benar-benar telah melayangkan gugatan cerai kepada istrinya. Tak
Leona menggelengkan kepala sambil memejamkan mata sebentar. Langkah kakinya terus bergerak menuju dapur. Tangan meraba dada kiri yang masih berdebar sejak ia memeluk West tadi.“Sepertinya aku terlalu senang, sehingga jantung ini jadi tidak beraturan,” racaunya pada diri sendiri.Senyum kembali terurai di wajah yang sudah tidak chubby lagi. Kedua tangan Leona berpindah naik ke pipinya. Dia menepuknya pelan masih belum percaya dengan berat badan yang turun mencapai angka lima belas kilogram.“Kau harus tetap semangat, Leona. Sedikit lagi,” katanya menyemangati diri, “aku sudah tidak sabar menanti saatnya tiba.”Leona mengambil adonan roti yang telah disediakannya tadi malam dari lemari yang menggantung di dapur. Ternyata sudah mengembang dan tinggal dipanggang. Dia mengeluarkan satu kepal adonan, kemudian meninjunya keras-keras.“Aku akan menghajarmu, Mark,” gerutunya seolah menghajar wajah sa
Leona tercenung mendengar cerita cinta West yang ternyata di luar dugaan. Dia berpikir pria itu tidak menyukai wanita, tapi pikirannya ternyata salah besar. Lelaki yang ia kenal satu bulan lebih tersebut mencintai seseorang secara sepihak.Di saat dirinya berpikir, lelaki di dunia ini brengsek dan tukang selingkuh, West berhasil membuktikan kesetiaan. West masih mencintai wanita itu meski tidak bisa memilikinya.“Apakah wanita itu sudah menikah sekarang?” Pertanyaan lain diajukan lagi oleh Leona.Dia menoleh kepada Cassie yang nyaris menumpahkan minuman karena tersedak. Leona segera meraih tisu dan menyerahkannya kepada wanita berambut pirang tersebut.Bahu yang berukuran ideal milik Cassie terangkat sebentar ke atas. “Entahlah. Shaun tidak menceritakannya kepadaku. Yang jelas wanita itu sudah melakukan kesalahan besar, karena telah menolak pria sebaik Bos.”Leona mengangguk membenarkan perkataan rekan kerja West ini. Satu b
West berdiri di depan pintu kamar yang kini terbuka lebar. Pria itu memegang bantal dan selimut dengan kedua tangan. Pandangannya tampak sayu mengitari paras Leona. Jantungnya bertalu-talu melihat wanita itu. Suasana mendadak menjadi syahdu, karena penerangan yang minim. Ada apa dengan mereka berdua? Padahal sebelumnya biasa-biasa saja selama satu bulan ini tidur satu kamar. (Beuh ini nggak penting. Abaikan haha) “I can’t sleep without you, Leona,” lirih West masih menatap lekat wanita itu. Leona menarik napas yang terasa berat karena ada perasaan aneh di dalam hati. Dia berusaha tersenyum, tapi tidak bisa. “Boleh aku tidur di sini lagi?” tanya West hati-hati. Wanita itu menelan ludah mendengar pertanyaan yang diajukan West. Kepalanya perlahan mengangguk. “Thank you,” ucap lelaki itu kemudian melangkah memasuki kamar. “Kau mau ke mana?” West kembali bertanya setelah meletakkan bantal dan selimut. “Aku?
Sepasang manik hitam dikelilingi warna biru terlihat saat kelopak mulai terangkat. Senyum terurai di parasnya melihat wajah cantik yang masih terlelap. West tak pernah menyangka akan melewati malam yang menggairahkan dengan Leona.Jari-jari West perlahan bergerak menyingkirkan rambut yang menutupi sebagian kening Leona. Dia membelai lembut pinggir pipi yang mulai mengecil, tidak lagi se-chubby dulu. Ah, wanita itu mulai memperlihatkan seperempat dari kecantikan yang ia miliki.Kilat bayangan pertemuan West dengan perempuan yang berhasil mencuri hatinya tiga belas tahun silam, kembali melintas di pikiran. Perasaannya kembali meluap ketika mengingat pertemuan pertama dengan gadis itu.Perasaan itu muncul lagi, bisik West dalam hati.Kepala pria itu bergerak maju mendekati wajah Leona. Sebuah kecupan diberikan di kening beberapa detik. Ketika ingin melabuhkan ciuman di bibirnya, Leona mulai bergerak pelan. Tubuhnya menggeliat di bawah selim
Leona mendongakkan kepala sehingga tatapannya bertemu dengan mata biru milik West. Dia tersenyum kecut.“Jangan bercanda, West. Tidak lucu,” katanya melonggarkan pelukan.West meraih kedua tangan Leona, kemudian mengusap punggungnya dengan ibu jari. Kepalanya menggeleng pelan ketika dia menatap lurus wanita itu.“Apa aku terlihat sedang bercanda?”Wanita itu menelan ludah mendengar perkataan West. Matanya berkedip cepat, lalu bergerak ke tempat lain.“Aku ini wanita yang masih berstatus sebagai istri orang lain,” desisnya memutar balik tubuh menghadap meja dapur.“Aku bisa menunggu sampai kau resmi bercerai.”Leona mendesah pelan. “Aku tidak ingin dijadikan pelarian dan tidak ingin menjadikanmu sebagai pelarian,” tanggapnya mengulangi lagi perkataan sebelumnya.West maju selangkah, sehingga berada tepat di belakang Leona. Dia menumpu kedua tangan di pinggir meja, kemud
Leona menatap lurus ke depan dengan bibir mengerucut. Pertanyaan yang diajukan dua jam lalu tidak mendapatkan jawaban dari West.“Kau akan mendapatkan jawabannya setelah tiba di tempat tujuan nanti.”Hanya itu yang dikatakan West sebelumnya. Alhasil, Leona harus bersabar menanti mereka tiba di tempat yang dimaksudkan oleh pria itu.“Kau mau ini?” tanya Leona menyerahkan roti gandum yang dibawa dari rumah.West melihat sekilas, lantas menggeleng. “Aku sedang mengemudi, jadi tidak bisa makan. Apalagi setelah ini tanjakan dan tikungan.”Leona menarik napas singkat sebelum membuka plastik pembungkus. Dia menyobek roti tersebut, kemudian mendekatkannya ke mulut West.“Buka mulutmu. Kau pasti lapar.”Senyuman terukir di paras pria itu sebelum membuka mulut, agar bisa menampung sobekan roti. Dia mengunyah dengan cepat. Suapan lain diberikan lagi oleh Leona sampai roti tersebut habis.&ld