West menoleh ke arah pandangan Leona. Dia melihat seorang pria berambut model Ivy League berjalan memasuki area café bersama dengan seorang pria lainnya. Kening berukuran ideal tersebut berkerut bingung.
“Itu Mark?” gumam West kembali beralih kepada Leona.
Wanita itu mengangguk singkat. Dia masih mengawasi pergerakan Mark dengan sudut mata.
“Dia ke sini,” balas Leona mulai cemas.
Ternyata pria yang masih berstatus sebagai suaminya itu melihat keberadaan dirinya di sana. Tubuh Leona mulai bergetar merespons perasaan yang bercampur aduk saat ini.
Mengetahui hal itu, West langsung pindah ke samping Leona. Dia menggenggam erat jemari wanita tersebut, agar menguatkannya.
“Kau tidak perlu takut, Leona. Kita lihat bagaimana reaksinya setelah ini,” ujar West pelan.
Mark semakin dekat dengan mereka sekarang. Mata elang kecokelatan itu tidak beranjak seperti ingin melahap Leona hidup-hidup.
“Thanks God, akhirnya aku menemukanmu, Honey.” Mark berjalan cepat menuju Leona.
West dan Leona saling berbagi pandang melihat reaksi tak terduga dari Mark.
“Sepertinya dia bersandiwara, karena tidak sendirian. Kau harus bisa mengendalikan diri,” saran West pelan sekali agar tidak terdengar oleh pria itu.
Sebagai penipu ulung, dia tahu persis apa yang akan dilakukan oleh Mark setelah ini.
“Siapa dia?” Mark melirik ke tempat West duduk.
Leona masih menutup mulut rapat, lantas membuang muka. Meski rindu dengan pria itu, bukan berarti harus bersikap manis kepadanya. Apalagi ketika ingat bagaimana rayuan yang dilontarkan Mark kepada selingkuhannya waktu itu.
Tilikan netra kecil Mark berpindah kepada tautan tangan West dan Leona yang berada di bawah meja. Suara tawa keras keluar dari bibir tipisnya.
“Oh, jadi kau meninggalkanku karena pria itu? Kau mengkhianatiku, Perempuan Jalang!!” tuding Mark dengan wajah kesal. Ah, tidak sepenuhnya juga seperti itu karena sudah jelas pria itu hanya berpura-pura.
“Apa katamu? Perempuan jalang?” Leona berdiri seraya mendorong keras kursi ke belakang. Dia mengacungkan jari telunjuk tepat ke wajah Mark saat mata berkaca-kaca. Sirna sudah kerinduan yang terasa, kini hanya tersisa kebencian yang terpupuk di hatinya.
“Kau menuduhku berselingkuh, padahal kau sendiri yang mengkhianatiku. Kau mengusirku dari rumah, Mark. Apa kau lupa? Hah?!” sergah wanita itu memberanikan diri. Dia tak lagi peduli dengan banyak pasang mata yang melihat kepada mereka.
Mark malah tertawa keras. Dia melihat kepada pria yang ikut dengannya tadi, kemudian beralih kepada Leona.
“Aku? Kapan? Bukankah kau yang pergi begitu saja tiga hari yang lalu saat aku tidur?”
Tubuh Leona semakin terbakar karena pria itu memutar balikkan fakta. Dia muak dan jijik dengannya. Lelaki yang berdiri di hadapannya saat ini, bukan lagi Mark yang ia kenal dulu.
“Buktinya sudah jelas, Leona. Kau sedang bersama dengan seorang pria sekarang,” sambung Mark menyeringai.
Ketika ingin membalas perkataan Mark, ia melihat seorang perempuan berambut ginger memasuki area café. Perempuan tersebut mengedipkan sebelah mata kepada Leona sambil mengibaskan rambut kemerahannya.
“Kau di sini, Sayang?” sapa perempuan berambut merah itu tiba-tiba bergelayut manja di lengan Mark. Sontak pria itu menarik tangannya dengan tatapan protes.
“Siapa kau?” tanya Mark mundur satu langkah ke belakang.
Wanita itu tertawa pelan dengan tangan menutup mulutnya. “Jangan pura-pura lupa, Mark,” katanya mengusap lengan kekar pria tersebut, “jangan bilang kau lupa dengan malam panas yang pernah kita lewati waktu itu.”
Lelaki bertubuh atletis itu berusaha melepaskan tangan perempuan yang bergelayut lagi di lengannya.
“Aku tidak kenal denganmu,” sanggah Mark mulai kesal.
“Kau yakin tidak mengenaliku?” Perempuan itu mengerling kepada Leona dengan bibir membulat. “Oh, aku tahu. Kau menyangkalku karena ada istrimu di sini, bukan?”
Mark semakin meradang. Dengan murka ia menyeret perempuan tersebut keluar dari café. Pria yang bersama dengannya barusan juga ikut keluar dari sana.
“Bagaimana ini?” Leona tampak panik, khawatir jika Mark berbuat buruk kepada Cassie.
Ya, perempuan berambut jahe tersebut adalah Cassie yang sedang melakukan perannya sebagai penipu ulung, rekan kerja West.
“Kau tenang saja. Ada Shaun di luar. Suamimu tidak akan bisa menyakiti Cassie,” balas West santai.
Wanita bertubuh gempal itu menarik napas panjang sebelum berkacak pinggang. “Bisa kau jelaskan kenapa mereka ada di sini, West?” pinta Leona dengan gigi beradu.
West mengangkat bahu singkat, lantas duduk lagi di kursi. “Untuk jaga-jaga jika hal itu terjadi.”
“Maksudmu?” Leona memutar kursi menghadap pria tersebut.
“Tindakan suamimu itu terlalu mudah untuk diprediksi, Leona.” West menoleh ke samping sehingga bisa melihat raut penasaran di paras chubby-nya.
“Begini. Ada berapa banyak pengusaha di negeri ini yang membangun image positif di depan publik?”
“Banyak, tapi aku tidak pernah menghitungnya.”
West memantik jari sebelum merespons. “Mereka tidak ingin skandal apapun yang merusak image mereka terungkap. Aku sudah banyak bertemu dengan bajingan seperti itu.”
“Jangan bilang kau memanfaatkan skandal mereka untuk mendapatkan uang.”
Pria itu menaikkan pandangan sedikit ke atas sebelum mengangguk. “Salah satunya. Oleh karena itu aku bisa tahu dengan mudah bagaimana reaksi suamimu jika melihatmu bersamaku.”
“Playing victim,” gumam Leona.
“Tepat sekali. Dia akan melempar semua kesalahannya kepadamu, sehingga bersih dari skandal.” West menyandarkan punggung di kursi, lalu menyilangkan tangan. “Kau benar-benar cerdas.”
Leona menggeleng lesu. “Aku bodoh, West,” akunya dengan kepala tertunduk.
“Kau tahu apa yang kurasakan waktu melihatnya sebelum tuduhan tadi?”
West mengangguk singkat. “Kau ingin berlari dan memeluknya, bukan?”
Wanita itu menundukkan kepala dengan dalam. Perlahan tubuh gempal itu bergetar ketika isak tangis keluar dari sela bibirnya.
“Awalnya begitu, tapi setelah mendengar tuduhannya tadi rasa benciku jauh lebih besar.”
Wajah chubby Leona kemudian terangkat. Netra basahnya memandang pria yang duduk di samping. Tangan besar tersebut meraih jemari West dan menggenggamnya erat.
“Bantu aku menurunkan berat badan secepatnya, West. Aku ingin membalas semua perbuatan Mark, hingga membuatnya habis sampai ke akar-akarnya.” Sorot mata Leona perlahan berubah. Tidak ada lagi gurat kerinduan di sana, yang ada hanyalah kebencian yang sudah mencapai puncak.
“Bagaimana dengan rasa cintamu?” selidik lelaki itu.
“Hanya tinggal 40% setelah kejadian tadi.”
West mengangguk singkat. “Baiklah. Aku akan membuat persentase cintamu kepada pria itu menjadi 0%,” desisnya.
Tiba-tiba bunyi ponsel menyela percakapan serius di antara mereka. Sebuah panggilan masuk dari Shaun.
“Bagaimana?” sahut West setelah menggeser tombol hijau.
“Beres, Bos. Pria itu sudah pergi.” Terdengar tawa perempuan sebelum Shaun meneruskan perkataannya. Itu sudah pasti suara Cassie.
“Dia malu sekali, Bos. Kalau kau tahu bagaimana ekspresi temannya tadi, aku jamin kau tidak akan melupakannya.” Kali ini Cassie yang berbicara. “Andai bisa merekam kejadian tadi, pasti sudah kuperlihatkan padamu.”
West tersenyum lebar mendengar penjelasan kedua orang kepercayaannya. Dia mengalihkan pandangan kepada Leona yang keheranan. “Good job, Cassie. Kau memang selalu bisa diandalkan,” puji lelaki itu.
“Thanks, Boss,” pungkas Cassie ketika panggilan berakhir.
Pria itu kembali mengantongi ponsel, kemudian melihat lagi Leona yang masih menunggu penjelasan darinya.
“Itu dari Shaun dan Cassie?” tanya Leona tanpa bisa menutupi lagi rasa penasaran.
West mengangguk singkat. “Rencana berjalan lancar. Mereka puas melihat raut wajah Mark tadi.”
“Bagaimana?”
“Dia malu sekali dan sepertinya pria yang bersama dengannya tadi mulai paham lelaki seperti apa suamimu,” jelas West bersiap untuk berdiri.
Leona menarik napas berat. Dia belum bisa bernapas lega sekarang. Bisa jadi Mark akan menyebar rumor tentang dirinya dan West kepada seluruh orang yang kenal dengan mereka.
West berdiri seraya mengulurkan tangan kepada Leona. “Ayo ikut denganku!”
Leona menatap bingung. “Ke mana?”
“Pergi ke tempat yang tidak bisa dijangkau oleh Mark.”
Mata abu-abu Leona mengecil seketika. “Maksudmu?”
“Aku akan membawamu ke tempat di mana hanya ada kau dan aku. Kita berdua.” West mengedipkan sebelah mata. “Akan kubuat perasaan cintamu lenyap dalam waktu singkat, Leona.”
Bersambung....
Haaai.... jumpa lagi dengan Leona setelah tiga minggu lebih. Star dari sekarang, novel ini akan update rutin setiap hari. Happy reading ^^ Jangan lupa tinggalkan review bintang 5 yaaa. :*
Mata abu-abu lebar milik Leona mengitari rumah minimalis yang terbuat dari kayu. Suasana sekitar terasa begitu hening, karena rumah ini terletak di tempat terpencil. Jika saja West mengajaknya ke sini saat awal mereka bertemu, tentu ia akan menolak mentah-mentah. Tentu khawatir jika diculik dan disekap di sini hidup-hidup.“Semoga kau menyukainya, Leona,” ujar West memandang wajah takjub wanita itu.Leona menoleh dengan semringah. “Sure, West. I love it. Suasana di sini begitu tenang dan nyaman.”West mengangguk cepat. “Aku bisa melihatnya. Ayo masuk!”Dia menarik tangan Leona ketika melangkah memasuki rumah tersebut.Begitu berada di dalam, Leona semakin dibuat terkesima dengan interior rumah. Sebuah kepala rusa terpajang di atas tungku perapian. Satu set meja kayu berada di depan tempat perapian. Tak jauh dari sana terdapat satu set sofa berukuran menengah.“Ke mana Shaun dan Cass
“Maaf, aku hanya ingin memberikan bantal dan selimut ini kepadamu,” ucap Leona ketika suasana semakin terasa tegang. Lebih menegangkan dibanding film horor yang pernah ditontonnya bersama dengan Mark dulu.Dia menarik napas panjang sebelum mundur sedikit ke belakang. Entah kenapa jantungnya menjadi terusik ketika melihat wajah West dari jarak dekat. Apalagi mereka sempat berbagi pandang beberapa saat. Untuk pertama kali dalam sepuluh tahun, Leona merasa debaran tak biasa di dalam diri.Ini hanya karena terbawa suasana saja. Jangan berpikir aneh-aneh, Leona, gumamnya dalam hati.“Selimutnya hanya satu, Leona.” West mengubah posisi menjadi duduk, lantas menyerahkan lagi selimut kepada Leona.Wanita itu menggeleng. “Buatmu saja. Lemakku masih cukup untuk menghangatkan tubuh,” sahutnya setengah bercanda.West tergelak mendengar perkataan Leona barusan. “Di sini dingin ketika malam hari. Kau yakin lemak
Satu bulan kemudianLeona berusaha membuka mata yang masih terasa berat. Setelah memaksa agar kelopak terangkat, akhirnya ia bisa melihat pria yang terlelap di sisi lain tempat tidur dengan jelas. Siapa lagi jika bukan West Taylor.Ya, sampai saat ini mereka masih berbagi tempat tidur dan selimut. Pada awalnya Leona dan West merasa canggung, tapi sekarang sudah terbiasa. Terlebih hubungan keduanya juga menjadi akrab, layaknya teman dan rekan kerja.Hari ini adalah hari penimbangan berat badan. Sesuai dengan saran West, Leona boleh menimbang berat badan satu bulan setelah program penurunan berat badan dimulai.Satu bulan dijalani Leona dengan penuh perjuangan. Apalagi West benar-benar menerapkan peraturan ketat kepadanya, terutama perihal makanan. Jangan harap wanita itu bisa mengkonsumsi es, cokelat, kopi dicampur krim dan sejenisnya.Mengenai Mark, pria itu ternyata benar-benar telah melayangkan gugatan cerai kepada istrinya. Tak
Leona menggelengkan kepala sambil memejamkan mata sebentar. Langkah kakinya terus bergerak menuju dapur. Tangan meraba dada kiri yang masih berdebar sejak ia memeluk West tadi.“Sepertinya aku terlalu senang, sehingga jantung ini jadi tidak beraturan,” racaunya pada diri sendiri.Senyum kembali terurai di wajah yang sudah tidak chubby lagi. Kedua tangan Leona berpindah naik ke pipinya. Dia menepuknya pelan masih belum percaya dengan berat badan yang turun mencapai angka lima belas kilogram.“Kau harus tetap semangat, Leona. Sedikit lagi,” katanya menyemangati diri, “aku sudah tidak sabar menanti saatnya tiba.”Leona mengambil adonan roti yang telah disediakannya tadi malam dari lemari yang menggantung di dapur. Ternyata sudah mengembang dan tinggal dipanggang. Dia mengeluarkan satu kepal adonan, kemudian meninjunya keras-keras.“Aku akan menghajarmu, Mark,” gerutunya seolah menghajar wajah sa
Leona tercenung mendengar cerita cinta West yang ternyata di luar dugaan. Dia berpikir pria itu tidak menyukai wanita, tapi pikirannya ternyata salah besar. Lelaki yang ia kenal satu bulan lebih tersebut mencintai seseorang secara sepihak.Di saat dirinya berpikir, lelaki di dunia ini brengsek dan tukang selingkuh, West berhasil membuktikan kesetiaan. West masih mencintai wanita itu meski tidak bisa memilikinya.“Apakah wanita itu sudah menikah sekarang?” Pertanyaan lain diajukan lagi oleh Leona.Dia menoleh kepada Cassie yang nyaris menumpahkan minuman karena tersedak. Leona segera meraih tisu dan menyerahkannya kepada wanita berambut pirang tersebut.Bahu yang berukuran ideal milik Cassie terangkat sebentar ke atas. “Entahlah. Shaun tidak menceritakannya kepadaku. Yang jelas wanita itu sudah melakukan kesalahan besar, karena telah menolak pria sebaik Bos.”Leona mengangguk membenarkan perkataan rekan kerja West ini. Satu b
West berdiri di depan pintu kamar yang kini terbuka lebar. Pria itu memegang bantal dan selimut dengan kedua tangan. Pandangannya tampak sayu mengitari paras Leona. Jantungnya bertalu-talu melihat wanita itu. Suasana mendadak menjadi syahdu, karena penerangan yang minim. Ada apa dengan mereka berdua? Padahal sebelumnya biasa-biasa saja selama satu bulan ini tidur satu kamar. (Beuh ini nggak penting. Abaikan haha) “I can’t sleep without you, Leona,” lirih West masih menatap lekat wanita itu. Leona menarik napas yang terasa berat karena ada perasaan aneh di dalam hati. Dia berusaha tersenyum, tapi tidak bisa. “Boleh aku tidur di sini lagi?” tanya West hati-hati. Wanita itu menelan ludah mendengar pertanyaan yang diajukan West. Kepalanya perlahan mengangguk. “Thank you,” ucap lelaki itu kemudian melangkah memasuki kamar. “Kau mau ke mana?” West kembali bertanya setelah meletakkan bantal dan selimut. “Aku?
Sepasang manik hitam dikelilingi warna biru terlihat saat kelopak mulai terangkat. Senyum terurai di parasnya melihat wajah cantik yang masih terlelap. West tak pernah menyangka akan melewati malam yang menggairahkan dengan Leona.Jari-jari West perlahan bergerak menyingkirkan rambut yang menutupi sebagian kening Leona. Dia membelai lembut pinggir pipi yang mulai mengecil, tidak lagi se-chubby dulu. Ah, wanita itu mulai memperlihatkan seperempat dari kecantikan yang ia miliki.Kilat bayangan pertemuan West dengan perempuan yang berhasil mencuri hatinya tiga belas tahun silam, kembali melintas di pikiran. Perasaannya kembali meluap ketika mengingat pertemuan pertama dengan gadis itu.Perasaan itu muncul lagi, bisik West dalam hati.Kepala pria itu bergerak maju mendekati wajah Leona. Sebuah kecupan diberikan di kening beberapa detik. Ketika ingin melabuhkan ciuman di bibirnya, Leona mulai bergerak pelan. Tubuhnya menggeliat di bawah selim
Leona mendongakkan kepala sehingga tatapannya bertemu dengan mata biru milik West. Dia tersenyum kecut.“Jangan bercanda, West. Tidak lucu,” katanya melonggarkan pelukan.West meraih kedua tangan Leona, kemudian mengusap punggungnya dengan ibu jari. Kepalanya menggeleng pelan ketika dia menatap lurus wanita itu.“Apa aku terlihat sedang bercanda?”Wanita itu menelan ludah mendengar perkataan West. Matanya berkedip cepat, lalu bergerak ke tempat lain.“Aku ini wanita yang masih berstatus sebagai istri orang lain,” desisnya memutar balik tubuh menghadap meja dapur.“Aku bisa menunggu sampai kau resmi bercerai.”Leona mendesah pelan. “Aku tidak ingin dijadikan pelarian dan tidak ingin menjadikanmu sebagai pelarian,” tanggapnya mengulangi lagi perkataan sebelumnya.West maju selangkah, sehingga berada tepat di belakang Leona. Dia menumpu kedua tangan di pinggir meja, kemud