Share

Part 5

.

Dengan langkah pelan, dan hati yang sudah tidak karuan, aku, dan Alena melangkah memasuki ruang divisi. Sepertinya bu Indira mengikuti di belakang kami. 

Huft. 

Tarik napas, bismillah. Semoga tidak disemprot sama CEO yang sedang memberi arahan di dalam. Lagian aku juga heran sih, masa iya seorang yang punya jabatan tertinggi di perusahaan ini langsung turun tangan memberi arahan pada karyawan di divisi marketing, yang notebene-nya bukan termasuk jajaran divisi yang tinggi di kantor ini. 

Aku memegang gagang pintu kaca tapi tidak tembus pandang ini, lalu dengan pelan aku mulai membukanya. 

"Permisi, Pak," ucapku sendirian, sedangkan Alena malah diam saja. Huh, dasar!

Seketika pria yang sedang berdiri itu menoleh ke arahku, dan tatapan kami pun bertemu. 

Apa?! 

Kenapa dia lagi? 

Sedang apa dia di sini? 

Jangan-jangan dia .... 

Pria itu menaikkan satu alisnya, sembari menatapku dengan tatapan elangnya. Wiih ... kok jadi serem ya. 

"Maaf, Pak, kami terlambat," celetuk Alena yang sedari tadi diam. Sedang aku? Aku sudah tak mampu lagi berkata-kata melihat bahwa pria itu ada di sini. 

"Berapa lama kamu bekerja di sini?" tanya pria itu pada Alena. 

"Ti-tiga tahun, Pak," jawab Alena yang kurasa dia sedang ketakutan. 

"Sering terlambat seperti ini?" tanyanya lagi. 

"Ti-tidak, Pak." 

"Baik. Kamu silakan duduk," perintahnya pada Alena. "Dan kamu." Dia beralih kembali menatapku. "Sejak kapan kamu bekerja di sini?" 

"Baru tiga hari, Pak," jawabku datar, meski sebenarnya aku ketakutan. 

"Baru tiga hari, dan kamu sudah terlambat?" sarkasnya. "Hebat! Karyawan macam apa kamu!" Dia bertepuk tangan mengejekku. 

"Ma-maaf, Pak." Rasanya aku ingin menangis diperlakukan begini. Seumur-umur belum pernah dibentak di depan umum seperti ini. Waktu di kantor yang dulu, aku tidak pernah dimarahi atasan di depan karyawan lain, lah ini .... 

"Kamu pikir dengan minta maaf, semuanya selesai?" Eh, apa-apaan ini? Kok rasanya jadi kurang nyambung ya? Apa karena aku yang tadi hanya terbawa perasaan?  

Aku tertunduk, dan sedikit pun tidak berani mengangkat kepala, apalagi sampai bersuara. Tapi, aku merasa kalau dia sedang memperhatikanku. Bukan berarti aku ge-er ya. 

"Bu Indira." panggilnya. 

"Ya, Pak," sahut bu Indira. 

"Saya minta Anda memberikan banyak tugas pada karyawan yang terlambat ini, anggap sebagai hukuman karena terlambat," perintah pria itu pada bu Indira--atasanku. 

"Baik, Pak." 

"Dan kamu karyawan baru." Aku mengangkat wajah dengan takut-takut. 

"Iya, Pak," sahutku. 

"Saya tunggu kamu di ruangan saya jam sepuluh nanti," ucapnya sambil berlalu meninggalkan ruangan ini. "Oh, ya, kalau nanti kamu terlambat, maka saya akan memberikan tambahan hukuman untuk kamu." 

=========Aufa=========

Suatu hal yang tidak ak pernah aku inginkan terjadi di dunia ini adalah bertemu dengan mantan, dengan kondisiku yang berada di bawah tekanannya. Apa kata dunia jika mereka tahu bahwa kini aku merasa ketakutan oleh sosok yang dinamakan mantan, padahal waktu dulu masih menjalin kasih, akulah yang biasanya menekan, dan dia yang mengalah. Sekarang keadaannya justru terbalik. 

Sekarang aku sudah sampai di depan pintu ruangan CEO. Ragu-ragu aku mengetuk pintu ruangannya ini. Sebenarnya bukan hanya ragu, tapi juga takut. 

Setelah mendapat sahutan dari dalam yang menyuruhku untuk masuk, aku pun membuka pintunya dengan pelan. 

"Permisi, Pak," ucapku begitu memasuki ruangan CEO ini. Tak dipungkiri aku mulai menggigil. Bukan karena dinginnya AC di ruangan ini, tapi karena rasa takut yang sedari tadi menghantui, meskipun si empunya ruangan duduk membelakangi tempatku berdiri. 

"Kamu telat sepuluh detik," ucapnya yang masih membelakangiku. 

Ish! Sepuluh detik saja dipermasalahkan, bagaimana kalau sepuluh menit, atau sepuluh jam? 

Eh, tapi kok dia bisa tahu kalau aku yang datang sih? Padahal kan sedari tadi dia duduk di kursi kebesarannya itu sambil membelakangi. Apa dia masih paham betul sama suaraku ini ya? Kalau iya ... fix, dia belum move on! 

"Kan, cuma sepuluh detik, Pak, bukan sepuluh menit, jadi nggak papa, dong," protesku sok santai, padahal hati sudah kebat-kebit. 

"Kamu berani membantah ucapan saya?" Dia memutar kursi kebesarannya, sehingga kini dia bisa menatapku dengan mata tajamnya. Tangannya dia silangkan di depan dada, membuatnya terkesan angkuh. Beneran dia mantanku apa bukan sih? 

Diberi tatapan mematikan seperti itu membuat nyaliku menciut, terpaksa aku harus menurunkan ego, bersikap pasrah di depan mantan yang dulunya justru sering pasrah padaku. Sialnya sekarang keadaannya terbalik. 

"Tidak, Pak." 

Dia mengangguk. "Lalu, sampai kapan kamu mau berdiri di sana?" 

Lah, memangnya aku harus di mana? 

"Kan Bapak belum menyuruh saya duduk," ucapku hati-hati. 

"Oh, baiklah, silakan duduk." Gitu kek dari tadi!  

Dengan segera, aku pun bersiap untuk duduk di kursi yang tepat berada di hadapannya, yang dipisahkan oleh meja kebesaran CEO. 

"Siapa yang menyuruh kamu duduk di situ?" ucapnya, membuatku seketika bingung. 

"Lalu saya harus duduk di mana, Pak? Di sofa itu?" Tanganku menunjuk pada sebuah sofa panjang yang berada di ruangan ini. "Atau duduk di lantai?" 

Dia menggeleng tanpa melepaskan tatapannya padaku. "Duduk di sini," ucapnya sembari menepuk-nepuk pahanya. 

Ini orang waras tidak sih sebenarnya? Tiga tahun tidak bertemu, jangan-jangan otaknya sudah konslet. 

Dulu jangankan nyuruh duduk di pangkuan, gandengan tangan saja jarang. 

"Bapak sehat?" tanyaku. 

"Menurut kamu?" Dia menaikkan sebelah alisnya. 

Aku mendengkus kesal. Gini amat ya, berhadapan sama mantan. 

"Udah deh, Pak CEO yang terhormat, sebenarnya saya dipanggil ke sini dalam rangka apa ya?" tanyaku sedikit ketus. Kesel tahu kalau ke sini cuma untuk dipermainkan. 

"Nggak sopan kamu!" makinya. 

Ya sudah, aku diam, biar aman, meski sebenarnya aku ingin juga memaki-maki nih orang, kalau saja tidak ingat jabatan dia. 

"Kenapa diam?" 

"Terus saya harus apa, Pak?" 

"Kamu belum menuruti perintah saya." 

"Perintah yang mana, Pak?" 

"Duduk di sini." Kembali dia menepuk pahanya. 

Aku menghembuskan napas kasar. "Pak, tolong bisa serius, nggak?" 

"Kamu juga nggak serius." 

Ish! 

Ingin rasanya berkata kasar. 

"Saya kan dari tadi serius, Pak," bantahku. 

"Tapi dulu kamu nggak serius dengan hubungan kita." 

Skak mat! 

======Aufa=======

"La, tadi lo ke ruangan CEO abis diapain?" tanya Alena. Di jam makan siang ini, aku dan Alena tidak keluar untuk makan, melainkan menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk dari bu Indira. 

Ditanyain seperti itu, membuatku kesal karena teringat kejadian di ruang CEO tadi. 

"Nostalgia," jawabku singkat. 

"Nostalgia? Nostalgia gimana maksud lo, La? Kalau cerita jangan setengah-setengah gitu napa." 

"Lo inget kan, Len, kalau kemarin gue bilang, gue ketemu sama mantan?" 

Alena mengangguk. "Iya, terus korelasinya sama pak bos itu apa?" 

"Bos lo itu mantan gue," bisikku. 

"Ha? Jadi, pak Gaza itu mantan lo?" 

"Ish! Jangan keras-keras napa sih ngomongnya!" Aku tengok kanan kiri, takut ada yang mendengar celetukan Alena tadi. 

"Sorry, La, tapi ini lo serius?" Alena memastikan. 

"Iya, gue serius, gue aja nggak nyangka tau, kalau dia bos di sini. Lo juga kenapa nggak cerita." 

"Ye ... mana gue tahu kalau lo pernah pacaran sama pak Gaza. Eh, tapi lo beneran tadi habis nostalgia? Masa-masa pacaran dulu?" 

Aku memutar bola mata. "Enggak! Gue cuma dikerjain aja sama dia." 

Ya, karena di ruangan CEO tadi tak kunjung ada pembicaraan yang serius, maka aku pun memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu, meski si empunya ruangan belum mengijinkan. 

"Cie-cie ... mungkin dianya sengaja ngerjain lo, La, biar bisa berduaan sama lo," goda Alena. 

"Ih, apaan sih! Ngaco aja lo!" makiku, "eh, tapi lo jangan bilang sama siapa-siapa ya, kalau Gaza itu mantan gue. Ini cuma rahasia kita berdua. Awas kalau lo ember, Len!" 

"Tenang aja, Beib, gue nggak akan bocorin ke orang-orang kok, asal ...," ucapnya menggantung. 

"Asal apa?" 

"Lo traktir gue makan. Itung-itung buat tutup mulut. Kebetulan juga keuangan gue bulan ini udah menipis." 

Ck, pemerasan! Bukan Alena namanya kalau tidak bisa memanfaatkan kesempatan. 

========Aufa=========

"La, gue pulang dulu nggak papa, kan?" tanya Alena padaku yang masih sibuk menyelesaikan tugas yang terlalu banyak ini. Semua gara-gara CEO menyebalkan itu. 

"Ya udah pulang aja." 

"Nih, kunci motor gue, lo bawa aja, La." Alena menaruh kunci motornya di meja kerjaku. 

"Eh, jangan, nanti lo pulangnya naik apa, Len, kalau motornya gue bawa," tolakku. 

"Nanti gue nebeng Gio, La, sekalian pedekate." Alena mengedipkan sebelah matanya. "Tapi lo pulangnya nanti ke kost-an gue." 

"Oke," kataku. Alena segera beranjak pergi meninggalkanku sendiri di ruangan ini, karena yang lainnya sudah pulang semua.

Nasib punya bos yang sakit hati sama aku ya gini, memberi tugas tidak tanggung-tanggung banyaknya. Sebenarnya tugas hukuman dari bu Indira tadi sudah selesai tepat waktu, tapi setelahnya bu Indira kembali memberiku tugas-tugas ini yang katanya sebagai hukuman tambahan dari pak bos alias CEO. Kam**et emang! 

Selama tiga tahun bekerja di kantor yang dulu, aku jarang banget lembur mendadak begini. Kalaupun lembur, pasti banyak temannya, tidak seorang diri seperti ini. Sudah jomblo, lembur pun harus sendirian. Ngenes amat sih hidup ini. Kalau saja lagi tidak butuh pekerjaan, sudah pasti kuputuskan untuk resign dari kantor ini begitu tahu kalau yang jadi CEO itu si mantan. 

Lagi asyik dengan pikiran sendiri, sedangkan jari menari-nari di atas keyboard, tiba-tiba suasana berubah menjadi mencekam. 

Aku menghentikan aktivitasku mengetik, lalu menengok kanan kiri. Tidak ada sesuatu yang aneh, bedanya tidak ada lagi suara-suara bising dari luar ruangan, sekarang hanya ada sunyi. 

Bulu kudukku pun seketika merinding.

Kulirik jam di pergelangan tangan. Masih pukul lima sore, kenapa sudah sesepi ini di perusahaan yang lumayan besar ini?

Masa iya sudah pada pulang semua, dan tidak ada yang lembur dari divisi lain?

Apa orang-orang semua sedang konsentrasi lembur ya? Atau sedang pergi makan sore? Atau mungkin juga sedang sholat asar? 

Ah, daripada pikiran terus bertanya-tanya, dan tidak kunjung mendapat jawaban, akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari ruangan ini sebentar. 

Kulihat di koridor kantor juga sepi. Benar-benar tidak ada seorang pun yang kelihatan. Ini kantor apa kuburan sih? Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. 

Aku melangkah menuju ruang divisi lain yang tepatnya berada di depan ruang divisiku, siapa tahu di dalam sana banyak orang, dan aku bisa bergabung sama mereka.

Begitu gagang pintu ruangan kupegang, tiba-tiba ada suara benda jatuh dari belakangku. 

Apa itu? 

Kenapa suaranya malah tiba-tiba membuat jantungku berdetak begitu kencang? 

Aku tengok tidak ya? 

To be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status