.
Daripada mati penasaran, maka kuberanikan diri untuk menoleh ke belakang, masa bodo dengan pemandangan yang akan terlihat nanti. Semoga saja tidak membuatku jantungan."Elaah ... cuma pel-pelan doang yang jatuh, kirain apaan," gerutuku begitu melihat ternyata sebuah pel-pelan yang jatuh.
"Mbak!" Aku berjingkat ketika tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku dari samping.
"Hih! Mbak Fitri bikin kaget aja, deh," ujarku pada sosok yang kini sudah berdiri di sampingku, dan entah kapan datangnya.
"Hehe ... maaf Mbak, kalau saya bikin Mbak Alula kaget. Saya cuma mau ambil pel-pelan itu," tunjuknya pada alat pel yang tadi sempat bikin jantungku hampir lompat. Mbak Fitri ini adalah salah satu office girl di kantor ini.
"Oh, iya, iya." Aku mengangguk. "Eh, Mbak Fit, btw, jam segini kok kantor udah sepi ya?" Sekalian saja kan aku tanyakan tentang ini. Mbak Fitri sudah lama bekerja di sini, jadi dia pasti paham tentang kantor.
"Ah, nggak juga Mbak Alula, kantor mah sampai malem juga rame karena banyak yang suka lembur. Kalau jam segini memang biasanya agak sepi karena karyawan lagi pada keluar dulu buat makan, ada juga yang sholat asar," terangnya yang seketika bisa membuatku bernapas lega. Itu berarti aku tidak lembur sendirian di kantor ini, meskipun teman-teman satu divisi tidak ada yang lembur. Tapi, setidaknya aku bisa bergabung dengan anak-anak dari divisi lain biar tak kesepian.
"Oh, gitu, ya, Mbak. Tadinya aku sempet parno, Mbak. Takutnya di kantor ini horor. Soalnya sore ini aku mau lembur, kemungkinan sampai malem," ungkapku. Sekalian saja aku berterus terang.
Mbak Fitri tersenyum sambil geleng-geleng. "Nggak usah takut, Mbak Lula. Kantor ini mah aman. Selama saya bekerja di sini, belum pernah tuh saya denger ada orang kerasukan, atau yang melihat makhluk lain."
Syukurlah kalau gitu. Aku bisa lembur dengan tenang sekarang, dan tak perlu mikirin yang aneh-aneh.
=========Aufa=========
"La, kamu pulang sama siapa?" tanya Doni. Dia itu anak dari divisi lain, yang kebetulan lembur juga. Meski aku anak baru, tapi kami sudah saling mengenal, karena dia orangnya suka SKSD gitu.
"Sendirian," jawabku singkat.
Kami berjalan bersisian di lobi menuju parkiran. Satu hal yang harus aku syukuri sekarang adalah, Alena mau meminjamkan motornya, kalau tidak, sudah pasti sekarang aku sedang kebingungan memikirkan bagaimana caranya untuk pulang.
Memang sih, kost-an Alena lebih dekat dari kantor daripada kost-anku, tapi itu kalau pakai kendaraan, kalau jalan kaki ya, lumayan jauh juga.
"Naik apa?"
"Motor." Entah kenapa aku lagi malas bicara panjang lebar sekarang. Selain sudah malam, dan moodku sedang kurang baik, aku juga dinasehati Alena agar tidak terlalu dekat dengan Doni. Maklumlah, dia penyandang gelar 'presiden buaya' di kantor ini. Terbukti sih memang.
"Gimana kalau kamu nebeng aku aja naik mobil? Udah malem gini, nggak baik pulang sendirian." Nah, kan modusnya sudah mulai keluar.
"Terus motornya mau gue kemanain?" tanyaku basa-basi, dan bukan berarti aku mau ikut pulang dengannya, ya.
"Tinggal aja, La, besok pagi aku jemput kamu. Kita berangkat bareng besok," usulnya yang semakin menambah keyakinanku bahwa si Doni memang buaya profesional.
"Wah, nggak bisa gitu. Motor yang gue bawa ini punyanya Alena. Tadi dia pesen supaya gue bawa pulang," kataku. Saat ini kami telah sampai di parkiran, dan si buaya ini setia mengikutiku, padahal kan parkiran mobil bukan di sini.
"Bilang aja sama Alena kalau motornya dititipin di kantor. Nggak bakal ilang kok. Besok aku jemput kamu sama Alena." Elaaah ... belum menyerah juga dia.
"Sorry, Don, bukannya gue menolak tumpangan dari lo, tapi gue udah janji buat bawa pulang ni motor, dan gue bukan tipe orang yang suka ingkar janji, apalagi sama sahabat sendiri," kataku sok bijak.
"Oke, nggak papa kok, La. Tapi, gue harap lain kali kita bisa pulang bareng ya?" Doni menatapku dengan tatapan ala-ala buaya. Kenapa aku bisa tahu? Ya, karena dulu aku pernah pacaran sama buaya. Eh, maksudnya bukan buaya hewan lho, ya.
"Ya ... kita lihat aja nanti." Dalam hati sih ogah.
"Ya udah, aku cabut dulu ya. Kamu hati-hati pulangnya."
Setelah aku mengangguk, Doni pun pergi meninggalkanku. Dan kini tinggal aku sendiri di parkiran yang mulai sepi ini. Hanya tersisa beberapa motor saja, termasuk motor Alena ini.
Tanpa membuang waktu lagi, aku langsung memakai helm.
=========Aufa========
Aku mengendarai sepeda motor dengan riang. Entah kenapa menikmati malam hari di jalan raya seperti ini membuat moodku sedikit membaik. Mungkin karena sudah lama juga aku tidak keluar malam.
Di trotoar, kulihat banyak pedagang warung tenda, juga angkringan. Aku menepi, berniat membeli sesuatu untuk di bawa pulang nanti. Hitung-hitung sebagai bentuk terima kasihku pada Alena, karena sudah dipinjami motor ini. Bayangkan jika Alena tidak sebaik itu, sudah pasti saat ini aku pulang naik ojek online.
Nah! Kebetulan ada penjual martabak. Baik aku maupun Alena sama-sama doyan martabak. Pasti Alena akan senang kalau aku bawakan itu.
"Bang, martabak manisnya satu ya," ucapku pada si penjual martabak. Tadinya sih mau beli dua, tapi berhubung duit di kantong tak mencukupi, jadinya cuma beli satu saja.
"Oke, Neng. Mau rasa apa?"
"Coklat aja, Bang."
"Siap, Neng." Si abang mengacungkan jempol tangannya.
=======Aufa=========
Selesai membeli martabak, aku pun langsung kembali pulang. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, jadi kali ini aku sedikit ngebut.
Di tengah jalan, tiba-tiba kurasa ada yang aneh sama si motor, terpaksa aku pun kembali menepi.
"Ya ampuun ... udah malem gini bannya pake kempes segala sih," gerutuku begitu turun dari motor, dan memastikan keadaan ban. "Mana nggak ada bengkel, lagi."
Aku mondar-mandir kebingungan. Mau menelpon Alena tidak bisa karena ponselku low bat. Malang nian sih aku ....
"Apa gue tuntun aja nih motor sampai kost-an ya?" gumamku. "Tapi, masih lumayan jauh, mau sampai di kost-an jam berapa coba? Bisa encok juga gue."
Aku memandang ke arah ban motor, dan ke jalan raya secara bergantian. Siapa tahu ada orang yang bisa kumintai tolong.
Tanpa disadari tiba-tiba ada sebuah mobil mewah yang kalau bukan ferrari ya, lamborghini, yang ikutan menepi di sebelahku.
Eh, kok aku kek paham mobil berwarna putih ini ya? Apa aku pernah lihat ya? Tapi kapan, dan di mana?
Oh! My God ... ini mobil mewah yang waktu itu aku lemparin sepatu. Ya, meskipun mobil kayak gini tak cuma seorang aja yang punya sih. Jangan-jangan yang punya mobil paham sama aku, dan sekarang bakalan maki-maki aku, yang waktu itu sempat tak jadi. Duh, gawat!
Kaca mobil itu diturunkan. Dan terlihatlah si empunya. Hmmm ... aku menyesal sudah mengetahui siapa pemilik mobil itu.
"Belum pulang?" tanyanya.
"Kelihatannya gimana," jawabku ketus.
Kaca mobil yang tadi diturunkan, dinaikkan kembali. Mungkin yang punya nyesel kali sudah basa-basi sama aku.
Tanpa disangka, si empunya mobil turun, dan menghampiriku. Mau ngapain sih, nih orang? Mau ngece sama aku gitu, karena aku cuma naik motor doang, sedangkan dia pakai mobil? Huh! Awas kalau iya, aku bakal uyel-uyel dia. Eh, kok malah diuyel-uyel sih? Dih, amit-amit jabang tokek, nyuyel-uyel dia. Huek!
Dia melihat ke arah ban motor, sekilas kemudian dia tersenyum sinis. Pasti mau ngejek nih.
"Bilang aja kalau bannya kempes." Tuh, kan mulai.
"Terus, apa peduli lo?" Masih dengan nada ketusku. Entah kenapa kalau lihat dia tuh, pengennya ngomong kasar.
"Sebenarnya saya nggak peduli, tapi berhubung kamu sekarang menjadi karyawan saya, jadi ... mari saya antar pulang." Dih! Tawaran paling menyebalkan yang pernah aku terima.
"Nggak perlu repot-repot, toh ini bukan di kantor, jadi nggak ada istilah bos, dan karyawan," kataku sebal.
"Tapi ini sudah larut malam, kamu mau menghabiskan malam kamu di tepi jalan raya seperti ini? Bahaya, apalagi kamu perempuan." Perhatiannya masih sama seperti dulu. Eh, kenapa sih, kok jadi mikirin masa lalu? Sadar Alula!
"Nggak usah sok perhatian deh!"
"Saya tidak perhatian sama kamu. Kamunya saja yang kepedean."
What?
Aku kepedean? Sama dia? Tidak mungkin!
"Ya udah sana, mending lo cabut aja. Enek gue liat lo di sini," usirku.
"Kamu tahu, kalau di daerah sini rawan kejahatan?" Ya elah, nih orang mau nakut-nakutin. Sorry, bambang, aku tak akan percaya begitu saja, karena aku korban janji manismu dulu, eh.
"Gue nggak takut!" tegasku, lalu memalingkan wajah karena rasanya ini pipi sudah panas dari tadi dilihatin makhluk bernama mantan.
Dia berdehem. Kulirik, dia sedikit menjauh dari tempatku, lalu mulai mengotak-atik ponselnya. Tak lama kemudian, dia terlihat menelpon seseorang.
Aku bolak-balik melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Semakin lama semakin malam, dan aku belum menemukan solusi biar bisa sampai ke kost-an.
Kulihat sekarang dia sedang berbicara dengan dua orang laki-laki yang entah kapan datangnya. Sejurus kemudian, dua lelaki itu menghampiriku.
Kelihatan dari perawakan dua orang itu, sepertinya mereka kayak preman gitu. Duh, jangan-jangan mereka preman yang disuruh dia buat gangguin aku karena aku menolak tawarannya, lagi. Mamp*s!
"Selamat malam, Nona Alula," sapa salah satu orang itu.
"Malam," jawabku merinding. "Ada apa ya, Bang?" Dan aku pun memberanikan diri buat tanya.
"Bisa kami lihat sebentar motornya, Nona?" ucap salah satu dari dua orang laki-laki itu.
"Eh, mau apa ya?" Aku mulai panik. Jangan-jangan dua orang ini mau membawa lari motor ini.
"Tenang, Nona, kami hanya memeriksa sebentar."
Tanpa mendapat persetujuan dariku, dua orang itu mendekati motor, dan mulai memeriksa bannya."Ini bannya bocor, Nona," kata salah satu orang itu. "Harus ditambal biar bisa dipake lagi. Tapi, sayangnya kita nggak bawa alat buat nambal."
Aku bingung mau menjawab apa, jadi aku diam.
"Tuan Gaza menyuruh kami untuk membawa motor ini ke bengkel kami. Kebetulan bengkel kami tidak jauh dari sini. Boleh kami minta kunci motornya, Nona? Besok kami antarkan motor ini ke kantor tempat Nona bekerja."
Jadi Gaza nyuruh dua orang ini buat bawa motor ini tanpa sepengetahuanku? Punya hak apa dia? Pacar bukan, mantan iya, entah mungkin besok jadi suami. Eh, kok suami sih? Huek ... jangan sampai!
"Tapi gue nggak percaya," kataku. "Gimana kalau kalian mau bawa lari ini motor?"
"Saya yang akan mengganti motor kamu kalau mereka bawa lari motor ini," ucap Gaza yang tiba-tiba menghampiri. "Sudah, serahkan saja kuncinya pada mereka."
Oke, mending aku serahkan saja, toh dengan ini aku tak perlu repot-repot buat bawa motor ke bengkel, tinggal besok bayar saja tagihannya berapa.
"Nih, tapi janji ya, jangan dibawa kabur. Ini motor punya temen gue soalnya." Aku menyerahkan kunci motor pada salah satu laki-laki itu.
"Tenang saja, Nona, kami amanah kok."
Tak lama kemudian motor pun didorong oleh salah satu dari laki-laki itu, dan mulai menjauh dari tempatku berdiri. .
"Jadi bagaimana, kamu mau ikut pulang dengan saya?"
To be continued
."Jadi bagaimana, kamu mau ikut pulang dengan saya?"Aku berdecak sebal. Kenapa sih, nih orang malam-malam begini bikin kesel. Bukannya aku mau nolak rezeki tumpangan ya, tapi aku tuh nggak nyaman aja bareng sama dia, apalagi status kami ini 'mantan'.Dia memandangku dengan tatapan yang entah apa artinya, tapi yang jelas ini bikin aku grogi."Emmm ... kayaknya gue mau pesen ojek online aja deh," putusku tanpa menatap ke arahnya."Yakin?" Satu alisnya terangkat. "Ini sudah malam, saya tidak ingin kamu ....""Nggak usah sok peduli!" tegasku memotong ucapannya."Saya bukan peduli sama kamu. Saya cuma tidak mau saja kalau ada salah satu dari karyawan saya yang telat berangkat kerja besok. Bisa rugi perusahaan saya kalau kamu sering terlambat."Ada cabe nggak sih, buat nyumpel mulutnya yang nyebelin itu?Aku memutarkan bola mata. Jangan ditanya bagaimana gondoknya hati ini dibi
"Aduuuh ... udah siang nih, La. Mau ke kantor pake apa coba? Mana tinggal tigapuluh menit lagi kantor masuk. Lo sih, tadi malem pake bocorin ban motor gue," gerutu Alena yang entah ke berapa di pagi ini. Gara-garanya karena kami berdua sama-sama terlambat bangun, dan tidak adanya kendaraan yang akan membawa kami ke kantor."Ban bocor kan, gue nggak sengaja. Lo tenang aja deh, entar gue yang bayar tagihan biaya tambal ban," kataku."Bukan masalah duit, La, tapi masalah kedisiplinan. Kalau nggak ada motor gini, kita bisa telat, La. Lo tau sendiri kan, waktu kita telat kemarin diberi hukuman berupa tugas yang bejibun? Nah, kalau sekarang telat lagi, bukan nggak mungkin kita dipecat, La.""Ya coba lo hubungi Gio, Len, suruh jemput," usulku mengalihkan topik, biar Alena nggak bahas masalah kantor. Pening nih kepala kalau teringat urusan kantor."Gio nggak punya mobil. Emang lo mau bonceng bertiga? Bisa kena tilang kita.""Y
.Aku berjalan lesu memasuki kost-anku, tempat di mana selama tiga tahun ini aku tempati. Sengaja sore ini aku nggak pulang ke kost Alena, padahal tadi Alena menyuruhku agar pulang ke kost-an saja, tapi aku menolak, selain karena hari ini Alena ada lembur, aku juga ingin menenangkan diri dulu di kost-anku ini.Setelah kejadian di resto siang tadi, moodku hari ini mendadak hancur. Bukan karena aku cemburu lihat Gaza sama cewek itu, tapi ... ah, sudahlah.Sebenarnya aku nggak mau ambil pusing tentang siapa yang bersama Gaza tadi siang, tapi justru pikiranku mengarah ke sana terus. Semakin dienyahkan, bayang-bayang Gaza bersama cewek itu malah terus berputar-putar di kepala, seakan tengah mengejekku.Jika cewek tadi beneran kekasih Gaza? Lalu kenapa kemarin malam Gaza melakukan itu padaku di mobil? Apa dia cuma mau mempermainkanku? Kalau cewek itu tahu Gaza pernah ... ehem sama aku, pasti tuh cewek bakalan ngamuk besar sama Gaza. Eh, ehem d
Mengenang tentang masa lalu adalah hal yang tak kusukai, baik itu masa lalu yang indah, atau bahkan masa lalu yang buruk. Alasannya satu, hanya akan membuat hati menjadi galau, dan mood seketika berubah jadi nggak enak. Kenangan yang indah memang kerap kali membuat kita tersenyum jika mengingatnya. Namun, itu hanya sekilas saja, setelahnya kita akan merasa sedih, karena kita tak bisa memutar waktu untuk kembali ke masa-masa indah itu. Sedangkan untuk kenangan buruk, sudah pasti hanya akan membuat kita kembali merasa sedih, jika kenangan itu tiba-tiba terlintas di kepala. Tersebab itu semua, aku paling malas jika harus mengenang tentang masa lalu. Dan semalaman aku tak bisa tidur hanya karena bayangan-bayangan masa lampau yang dengan kurang ajarnya terus berkelebat di kepala. Sudah berulang kali aku coba mengusirnya, tapi tetap saja terus berputar-putar di kepala, bagaikan sebuah film. Alhasil, hari ini mataku pun
A-anu, Pak ...." "Anu apa? Kamu kangen sama saya, makanya mau nyamperin saya?" tanyanya dengan tingkat kepercayaan dirinya yang tinggi itu. "Ih! Ya enggaklah, Pak!" elakku. Gila aja kali kangen sama mantan. "Kalau iya juga nggak papa. Gratis kok kangen sama saya. Atau jangan-jangan kamu pengin pulang bareng saya?" "Saya masih punya uang kali, Pak, buat pesen ojol, atau buat naik angkot," kataku mulai kesal. "Lalu ada apa gerangan kamu berada di depan ruangan saya?" "Saya mau tanya sesuatu sama Bapak," ucapku. "Tanya apa?" Dia kembali menaikkan sebelah alisnya. "Tanya sakit hati apa enggak, kamu putusin dulu?" "Bukan, Pak. Ngapain saya tanya nggak penting gitu," bantahku. "Jadi menurut kamu perasaan saya dulu ke kamu itu nggak penting. Begitu?" Gaza berjalan memutari tubuhku yang berdiri dengan kaku. "Pak, please deh, saya nemuin Bapak bukan mau
"Nah, itu dia orang yang saya tunggu." Aku, dan Alula serentak menoleh ke arah yang ditunjukkan Gaza. Tampak di sana seorang perempuan tengah berjalan ke arah kami. Ia adalah perempuan yang sering bersama Gaza. "Hai, Sayang ... udah lama nunggu, ya," sapa perempuan itu pada Gaza yang menyambutnya dengan senyum semringah. Kemudian keduanya saling berpelukan, seakan-akan lama nggak bertemu. Tampaknya mereka juga lupa jika di sini ada aku, dan Alula. "Oh, enggak, kok," balas Gaza masih dengan senyumnya. Tersenyum kecut, aku beralih dari menatap dua insan yang tengah menampilkan drama yang bikin muak. Jus jeruk di depanku kusesap. Mencoba mendinginkan hati yang tiba-tiba terasa sedikit berasap. Aku menatap ke arah Alena yang ternyata tengah menatapku juga, dengan tatapan 'kasihan'. Aku paling benci ditatap seperti ini. Perempuan itu duduk di samping Alena, lalu tersenyum padaku, dan Alena. Dengan terpaksa, aku
Permisi, Mbak Alula." Mendengar namaku dipanggil, aku pun mendongak. "Iya, Mbak Siti, ada apa?" "Ini ada titipan buat Mbak Alula." Mbak Siti menyerahkan sebungkus besek berwarna putih. Aku menerimanya. "Dari siapa, Mbak?" "Kurang tahu, Mbak La. Saya tadi dititipin ini oleh mbak Nela, resepsionis depan. Mbak Nela juga tidak bilang dari siapa. Cuma bilang buat mbak Alula," terang mbak Siti. Mbak Siti ini salah satu office girl di kantor ini, jadi sudah biasa dititipin ini itu. "Ya udah, terima kasih, ya, Mbak. Nanti biar aku tanya sendiri ke Mbak Nela." "Iya, Mbak. Kalau begitu saya permisi, Mbak." * Tanpa membuang waktu, aku pun segera membuka besek ini. Ternyata sebuah paket ayam bakar dari restoran depan. Kira-kira siapa yang ngasih. Segera aku ambil ponsel dari dalam tas, dan mulai mengetikkan nama pada bagian kontak. "Halo
Pak, please ... jangan seperti psikopat. Saya takut, Pak." "Saya tidak akan menghilangkan nyawa kamu, Alula ...." "Tap--." Si*l! Gaza kembali .... "Gazaaa!" teriak seseorang yang baru saja datang. Refleks Gaza menghentikan perbuatannya padaku, dan sedikit menjauhkan dirinya dari tubuhku. Baik aku maupun Gaza, kini sama-sama salah tingkah dipergok dalam posisi seperti tadi. "Gaza, jawab Tante! Apa yang kamu lakukan bersama Alula?" tanya bu Indira. Oh, ya, aku baru ingat kalau bu Indira, selaku ketua divisiku, adalah tante dari Gaza. "M-maaf, Bu. Di sini bukan saya yang salah," ucapku takut-takut. "Saya sedang tidak bertanya sama kamu, Alula." Oke, aku diam. Di sini posisiku cuma karyawan rendahan, yang posisinya mungkin saja tidak penting di kantor ini. "Gaza. Tolong jelaskan semuanya!" perintah bu Indira. "Sep