.
Aku berjalan lesu memasuki kost-anku, tempat di mana selama tiga tahun ini aku tempati. Sengaja sore ini aku nggak pulang ke kost Alena, padahal tadi Alena menyuruhku agar pulang ke kost-an saja, tapi aku menolak, selain karena hari ini Alena ada lembur, aku juga ingin menenangkan diri dulu di kost-anku ini.
Setelah kejadian di resto siang tadi, moodku hari ini mendadak hancur. Bukan karena aku cemburu lihat Gaza sama cewek itu, tapi ... ah, sudahlah.
Sebenarnya aku nggak mau ambil pusing tentang siapa yang bersama Gaza tadi siang, tapi justru pikiranku mengarah ke sana terus. Semakin dienyahkan, bayang-bayang Gaza bersama cewek itu malah terus berputar-putar di kepala, seakan tengah mengejekku.
Jika cewek tadi beneran kekasih Gaza? Lalu kenapa kemarin malam Gaza melakukan itu padaku di mobil? Apa dia cuma mau mempermainkanku? Kalau cewek itu tahu Gaza pernah ... ehem sama aku, pasti tuh cewek bakalan ngamuk besar sama Gaza. Eh, ehem d
Mengenang tentang masa lalu adalah hal yang tak kusukai, baik itu masa lalu yang indah, atau bahkan masa lalu yang buruk. Alasannya satu, hanya akan membuat hati menjadi galau, dan mood seketika berubah jadi nggak enak. Kenangan yang indah memang kerap kali membuat kita tersenyum jika mengingatnya. Namun, itu hanya sekilas saja, setelahnya kita akan merasa sedih, karena kita tak bisa memutar waktu untuk kembali ke masa-masa indah itu. Sedangkan untuk kenangan buruk, sudah pasti hanya akan membuat kita kembali merasa sedih, jika kenangan itu tiba-tiba terlintas di kepala. Tersebab itu semua, aku paling malas jika harus mengenang tentang masa lalu. Dan semalaman aku tak bisa tidur hanya karena bayangan-bayangan masa lampau yang dengan kurang ajarnya terus berkelebat di kepala. Sudah berulang kali aku coba mengusirnya, tapi tetap saja terus berputar-putar di kepala, bagaikan sebuah film. Alhasil, hari ini mataku pun
A-anu, Pak ...." "Anu apa? Kamu kangen sama saya, makanya mau nyamperin saya?" tanyanya dengan tingkat kepercayaan dirinya yang tinggi itu. "Ih! Ya enggaklah, Pak!" elakku. Gila aja kali kangen sama mantan. "Kalau iya juga nggak papa. Gratis kok kangen sama saya. Atau jangan-jangan kamu pengin pulang bareng saya?" "Saya masih punya uang kali, Pak, buat pesen ojol, atau buat naik angkot," kataku mulai kesal. "Lalu ada apa gerangan kamu berada di depan ruangan saya?" "Saya mau tanya sesuatu sama Bapak," ucapku. "Tanya apa?" Dia kembali menaikkan sebelah alisnya. "Tanya sakit hati apa enggak, kamu putusin dulu?" "Bukan, Pak. Ngapain saya tanya nggak penting gitu," bantahku. "Jadi menurut kamu perasaan saya dulu ke kamu itu nggak penting. Begitu?" Gaza berjalan memutari tubuhku yang berdiri dengan kaku. "Pak, please deh, saya nemuin Bapak bukan mau
"Nah, itu dia orang yang saya tunggu." Aku, dan Alula serentak menoleh ke arah yang ditunjukkan Gaza. Tampak di sana seorang perempuan tengah berjalan ke arah kami. Ia adalah perempuan yang sering bersama Gaza. "Hai, Sayang ... udah lama nunggu, ya," sapa perempuan itu pada Gaza yang menyambutnya dengan senyum semringah. Kemudian keduanya saling berpelukan, seakan-akan lama nggak bertemu. Tampaknya mereka juga lupa jika di sini ada aku, dan Alula. "Oh, enggak, kok," balas Gaza masih dengan senyumnya. Tersenyum kecut, aku beralih dari menatap dua insan yang tengah menampilkan drama yang bikin muak. Jus jeruk di depanku kusesap. Mencoba mendinginkan hati yang tiba-tiba terasa sedikit berasap. Aku menatap ke arah Alena yang ternyata tengah menatapku juga, dengan tatapan 'kasihan'. Aku paling benci ditatap seperti ini. Perempuan itu duduk di samping Alena, lalu tersenyum padaku, dan Alena. Dengan terpaksa, aku
Permisi, Mbak Alula." Mendengar namaku dipanggil, aku pun mendongak. "Iya, Mbak Siti, ada apa?" "Ini ada titipan buat Mbak Alula." Mbak Siti menyerahkan sebungkus besek berwarna putih. Aku menerimanya. "Dari siapa, Mbak?" "Kurang tahu, Mbak La. Saya tadi dititipin ini oleh mbak Nela, resepsionis depan. Mbak Nela juga tidak bilang dari siapa. Cuma bilang buat mbak Alula," terang mbak Siti. Mbak Siti ini salah satu office girl di kantor ini, jadi sudah biasa dititipin ini itu. "Ya udah, terima kasih, ya, Mbak. Nanti biar aku tanya sendiri ke Mbak Nela." "Iya, Mbak. Kalau begitu saya permisi, Mbak." * Tanpa membuang waktu, aku pun segera membuka besek ini. Ternyata sebuah paket ayam bakar dari restoran depan. Kira-kira siapa yang ngasih. Segera aku ambil ponsel dari dalam tas, dan mulai mengetikkan nama pada bagian kontak. "Halo
Pak, please ... jangan seperti psikopat. Saya takut, Pak." "Saya tidak akan menghilangkan nyawa kamu, Alula ...." "Tap--." Si*l! Gaza kembali .... "Gazaaa!" teriak seseorang yang baru saja datang. Refleks Gaza menghentikan perbuatannya padaku, dan sedikit menjauhkan dirinya dari tubuhku. Baik aku maupun Gaza, kini sama-sama salah tingkah dipergok dalam posisi seperti tadi. "Gaza, jawab Tante! Apa yang kamu lakukan bersama Alula?" tanya bu Indira. Oh, ya, aku baru ingat kalau bu Indira, selaku ketua divisiku, adalah tante dari Gaza. "M-maaf, Bu. Di sini bukan saya yang salah," ucapku takut-takut. "Saya sedang tidak bertanya sama kamu, Alula." Oke, aku diam. Di sini posisiku cuma karyawan rendahan, yang posisinya mungkin saja tidak penting di kantor ini. "Gaza. Tolong jelaskan semuanya!" perintah bu Indira. "Sep
Akhir pekan adalah hari yang paling dinanti-nanti oleh kebanyakan orang di dunia ini. Terutama bagi karyawan-karyawan kantor yang sudah menghabiskan lima hari untuk berjibaku dengan pekerjaan. Biasanya, jika weekend, aku selalu menghabiskan waktuku untuk rebahan di kamar kost, sambil nonton drama luar negeri lewat ponsel. Tak lupa juga snack, dan minuman selalu aku siapkan. Sebut aja 'me time'. Namun, jika ada teman yang mengajakku pergi untuk jalan-jalan ataupun liburan, maka aku juga tidak akan menolak. Tapi, itu pun jika aku duitnya lagi longgar, kalau enggak, ya cukup mantengin layar HP. Lain dengan sekarang. Karena aku menginap di kost Alena, maka aku dan Alena sudah merencanakan bahwa pagi ini akan jogging di sekitar komplek. "Udah siap belum, La?" tanya Alena sembari merapikan rambutnya di depan cermin kecil yang tengah ia pegang. Mau jogging aja, kudu dandan. "Bentar lagi ...," jawabku seraya mengikat tali
Mendengar suara adzan subuh, aku pun tersadar dari alam mimpi. Menguap sebentar sambil merentangkan tangan. Nikmat mana yang bisa aku dustakan ketika aku bisa tidur nyenyak semalam?Tadi malam aku sengaja tidur agak cepat. Jika biasanya aku tidur di atas jam sepuluh malam, maka tadi malam jam delapan aku sudah bersiap untuk berkelana ke dunia mimpi. Dan, tak butuh waktu lama untukku terlelap.Sebelum pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudlu, aku sempatkan untuk mengecek ponsel sejenak. Satu-satunya yang aku tuju adalah aplikasi hijau. Barangkali ada pesan masuk yang cukup penting.Dari banyaknya pesan yang masuk, rata-rata bukanlah pesan pribadi, tetapi pesan di grup-grup yang aku ikuti. Bahkan, nggak ada chat dari ibu di kampung."Tumben banget ibu nggak nge-chat. Biasanya nggak pernah absen," gumamku.Gini amat ya, nasib jadi jomlo, nggak ada yang nge-chat buat ngasih perhatian. Nggak ada yang nge-chat ngegombal, a
"Saya panggil orangnya, ya." Pak Angga keluar dari ruangan divisi ini, dan tak lama kemudian kembali lagi dengan seseorang di sampingnya.Melihat orang itu, aku terkejut."Bagas!" celetuk Alena.Ya, dia adalah Bagas. Orang yang kemarin berkenalan denganku dan Alena sewaktu makan di tenda lontong sayur.Mendengar namanya di panggil, Bagas pun melempar senyum pada Alena."Kamu sudah mengenal Bagas, Alena?" tanya pak Angga."Sudah, Pak. Kemarin baru aja kenalan. Ya, nggak, Gas?" Alena bertanya genit, dan diiyakan dengan senyuman dan anggukan kepala oleh Bagas.Sekilas aku melirik pada Gio. Sepertinya Gio sedikit tidak suka pada sikap Alena kali ini. Mungkin saja Gio cemburu."Bagus kalau kamu sudah mengenalnya, Alena. Nanti kamu bisa ajari Bagas bekerja. Dan kamu Bagas, silakan memperkenalkan diri pada teman-temanmu di divisi ini," tutur pak Angga.**********Aufa********