"Saya panggil orangnya, ya." Pak Angga keluar dari ruangan divisi ini, dan tak lama kemudian kembali lagi dengan seseorang di sampingnya.
Melihat orang itu, aku terkejut.
"Bagas!" celetuk Alena.
Ya, dia adalah Bagas. Orang yang kemarin berkenalan denganku dan Alena sewaktu makan di tenda lontong sayur.
Mendengar namanya di panggil, Bagas pun melempar senyum pada Alena.
"Kamu sudah mengenal Bagas, Alena?" tanya pak Angga.
"Sudah, Pak. Kemarin baru aja kenalan. Ya, nggak, Gas?" Alena bertanya genit, dan diiyakan dengan senyuman dan anggukan kepala oleh Bagas.
Sekilas aku melirik pada Gio. Sepertinya Gio sedikit tidak suka pada sikap Alena kali ini. Mungkin saja Gio cemburu.
"Bagus kalau kamu sudah mengenalnya, Alena. Nanti kamu bisa ajari Bagas bekerja. Dan kamu Bagas, silakan memperkenalkan diri pada teman-temanmu di divisi ini," tutur pak Angga.
**********Aufa********
Di sinilah aku, dan Alena sekarang. Di depan ruangan orang paling penting di perusahaan ini.Sudah sekitar lima menit sampai, baik aku maupun Alena, belum ada yang berani mengetuk pintu ruangan CEO.Aku menyuruh Alena supaya mengetuk pintu, dan masuk duluan, namun dia menolak, dan malah balik menyuruhku."Udah, deh, Bismillah aja, semoga kita nggak dimarahin," ucapku."Tapi, feeling gue nggak enak, La. Jangan-jangan bener kalau pak Gaza mau marahin kita, gara-gara tadi kita ngomong kek gitu ke Lashira." Alena tampak gusar."Kan yang ngomong gitu ke Lashira, itu lo. Gue nggak.""Tapi kan kita tadi barengan pas ketemu sama Lashira."Menghembuskan napas kasar, aku menyudahi adu pendapat dengan Alena. "Ya udahlah, ayo masuk aja. Udah sore ini. Persetan nanti dimarahin kek, dihukum kek, bahkan dikasih SP juga bodo amat.""Ya, lo duluan sana yang masuk." Alena mendorong tubuhku ke arah
Tak terasa sudah satu bulan aku bekerja di perusahaan Alexander Corp. Aku sudah mulai menguasai apa yang menjadi job desc-ku, tanpa harus sering bertanya pada teman satu divisi, jika aku sedikit tak paham tentang tugasku.Dengan para karyawan kantor dari divisi lain pun banyak yang sudah kukenal, bahkan sampai akrab juga. Baik sesama karyawan perempuan, maupun beda jenis, namun masih tetap di batas yang wajar.Aku dan beberapa teman yang cukup dekat denganku di kantor pun sering menghabiskan waktu bersama, baik di jam makan siang, maupun selepas jam pulang.Oh, ya, antara aku dan Alena juga masih menjalankan misi untuk pedekate sama Bagas, meski dulu sempat diperingati oleh CEO.Kebetulan hari ini adalah hari di mana aku menerima gaji pertamaku sebagai karyawan Alexander Corp. Cukup besar ternyata, padahal aku sempat menduga kalau karyawan divisi marketing sepertiku, gajinya tidaklah seberapa, apalagi statusku yang masih karyawan b
Suasana seketika menjadi tegang. Bagaimana tidak, soalnya sang pemilik perusahaan ini tengah hadir di ruang divisi kami, guna melihat kinerja karyawan. Sekarang, aku tahu bagaimana rupa ayahnya Gaza. Dengan wajah yang mirip dengan Gaza, serta postur tubuhnya pun tak jauh berbeda. Warna kulit Gaza kuning langsat, sedangkan ayahnya cenderung ke sawo matang. "Saya sangat senang, kalian bisa bekerja dengan baik. Saya juga mengapresiasi kinerja kalian, karena tanpa kalian, pemasaran produk kita tidak akan berkembang pesat. Divisi marketing, merupakan divisi yang penting di semua perusahaan, termasuk perusahaan ini," ucap pak Abraham dengan raut bahagianya. Memandang pak Abraham, aku jadi teringat tentang Gaza yang dulu. Sederhana dan bersahaja, juga murah senyum. Mungkin sifat Gaza yang dulu, adalah turunan dari ayahnya, sedangkan Gaza yang sekarang, turunan dari genderuwo. "Sepertinya, saya baru melihat kamu. Apakah kamu karyawan b
"Jadi, ada kepentingan apa yang membuat Bapak sampai menyuruh saya ke sini?" tanyaku ketus ketika tiba di ruangan CEO alias kandang macan. Berdiri tegak memandang ke arah Gaza yang tengah duduk membelakangiku di kursi panasnya. Sebenarnya dari lubuk hati terdalam, aku malas sekali bertandang ke ruangan ini, sampai-sampai mengorbankan jam makan siangku bersama teman-teman. "Duduk!" perintah Gaza, masih membelakangiku. Oke, tanpa disuruh dua kali, aku pun mendaratkan pantatku di kursi depan meja Gaza. Capek tau, dari tadi berdiri terus, untung lagi nggak pake sepatu hak tinggi. Gaza masih belum mau memberi tahu perihal kenapa ia memanggilku ke sini. Dia masih diam, dan itu membuatku kesal. "Pak, saya sudah di sini, cepat sampaikan keperluan Bapak ke saya, biar cepet selesai. Saya kan mau makan siang bareng temen-temen," kataku sedikit memaksa. Bodo amat kalau dia merasa tidak dihormati, lagian ditunggu
"Oke. Saya akan beri tahu kamu. Tapi tentunya itu tidak gratis. Ada harga yang harus kamu bayar." Ya ampun! Perhitungan banget sih, nih orang. Rasanya pengen nendang dia ke Antartika, deh. "Apa yang harus saya lakukan, Pak?" "Gampang! Cukup pulang dengan saya nanti," kata Gaza. Nih, mau modus kali, ya. "Ngapain pulang bareng Bapak? Mending Bapak kasih tau aja alamat bengkelnya di mana. Saya bisa ke sana sendiri, kok." Ogah, kali pulang bareng dia. Masa pagi, siang, sore, sama mantan terus. Mana mantan udah punya cewek baru, lagi, nanti bisa-bisa aku dikatain pelakor. "Kalau menolak tawaran saya, ya, sudah. Saya tidak akan memberi tahu kamu di mana tempat bengkel itu. Biar kamu terus dihantui sama hutang kamu itu." Nih orang pinter banget nyari kesempatan, ya. "Ya, udah, saya ikut Bapak. Tapi, setelah urusan saya dengan orang bengkel selesai, Bapak harus berjanj
"Eh, kita mau ke mana lagi sih?" tanyaku ketus, "tempat kost gue udah deket dari sini. Lo nggak perlu nganter gue." "Siapa bilang mau mengantar kamu? Kamu yang harus ikut saya." "Ya, tapi ke mana, Bambang!" "Ke hotel." "Hah?!" Aku melongo. "Ngapain?" Gaza tak menjawab pertanyaanku, sebaliknya dia cuma cengar-cengir nggak jelas sambil fokus nyetir. Gila mendadak mungkin dia, ya? "Za, lo jangan macem-macem, ya. Lo emang bos gue, tapi bukan berarti lo bisa ngajakin gue ke hotel. Gue masih punya harga diri, Gaza!" cecarku. Lagi-lagi Gaza cuma cengar-cengir doang, dan itu bikin aku tambah kesal. ==========Aufa========= Setibanya di hotel, Gaza mengajakku ke kafe yang memang masih satu gedung dengan hotel ini. Seenggaknya aku masih bisa sedikit bernapas lega karena Gaza nggak nyewa kamar buat .... "Sedari tadi kamu pasti berpikir kalau saya mau mengajak kamu chec
"Jadi, kemarin om kamu yang adiknya almarhum ayah kamu datang ke sini. Dia bilang, ingin menjodohkan kamu sama teman bisnisnya, La.""Apa?! Jodohin Alula, Bu? Sama siapa?""Iya, La, katanya om kamu mau jodohin kamu. Tapi, sama siapa ibu nggak tau," jawab ibu.Duh, jangan-jangan aku mau dijodohin sama temennya om. Otomatis umurnya juga nggak jauh beda dari om, dong. Atau bahkan mungkin lebih tua. Iiih ... ogah, mending kalau dijodohin sama mantan, eh!"Halo, Alula. Kamu nggak tidur, kan? Masih dengerin ibu?" tanya ibu. Mungkin bingung karena aku dari tadi diem aja, mikirin kemungkinan-kemungkinan dari perjodohan itu."Iya, Bu, Alula denger, kok," ucapku lesu. Gimana mau semangat, coba, orang dapat kabar duka seperti itu. Aku memang paling nggak suka dijodoh-jodohin seperti itu.Terdengar helaan napas berat ibu di seberang sana, kemudian beliau berucap, "ibu sih, terserah sama kamu aja, La. Mau nerima ya, si
Sejak memberi tahu Gaza kalau aku dijodohin, dia tak lagi menggangguku. Nggak lagi nyuruh-nyuruh yang bukan kerjaanku, dan nggak lagi nyuruh aku ke ruangannya. Dia seperti menjaga jarak denganku, kami bagai orang yang nggak saling kenal. Berpapasan pun dia cuma melirik aja, dan nggak pernah negur.Entah kenapa sikap Gaza yang demikian padaku, justru membuatku sedikit merasa kehilangan. Aku seperti orang yang nggak diinginkan, ditambah lagi, akhir-akhir ini Lashira rajin banget datang ke kantor, dan memamerkan kemesraan pada semua penghuni kantor ini.Cemburu?Enggak sih, cuma aku kesal aja, kenapa mantan justru nasibnya lebih terdepan daripada aku. Punya jabatan yang bagus, pacarnya cantik, lagi. Sedangkan aku cuma karyawan biasa, dan sampai saat ini masih jomlo.Ngenes banget kan, kerja di perusahaan punya mantan, tiap hari harus lihat adegan kemesraan si mantan bareng ceweknya."La, gue heran deh, sama lo. Akhir-akhi