Share

Part 4

"Kamu jalannya pake mata nggak sih?!" hardik seorang cewek yang ada di hadapanku. Entah kapan datangnya aku tidak tahu, karena kurasa dari tadi di lobi ini tidak ada seorang pun. 

"Maaf, Mbak, saya nggak sengaja," ucapku datar. Dalam hati, aku tidak merasa bersalah. Memang sih, tadi aku sedang tidak fokus jalan karena tengok kanan kiri, tapi bukan berarti semua ini murni kesalahanku, ya. Harusnya kan dia jalannya bisa menghindariku yang tadi sedang tidak hadap depan, kalau jadi tabrakan begini, berarti dia juga salah dong, karena dia jalannya juga tidak fokus. 

Cewek yang kutaksir umurnya sekitar awal dua puluhan ini memicingkan matanya ke arahku, entah apa maksudnya. 

"Lo orang baru di sini, ya?" tanyanya dengan tatapan seperti tadi. 

"Iya, Mbak, sekali lagi saya minta maaf, ya, beneran tadi nggak sengaja, soalnya buru-buru," ucapku sembari menelungkupkan tangan ke depan dada. 

Dia masih menatapku penuh selidik, tanpa menjawab permintaan maafku. Karena risih ditatap seperti itu, aku pun memilih jongkok untuk mengambil berkas-berkas yang tadi jatuh. Tuh, kan jadi kelupaan, untung saja tidak ada yang terbang berkas-berkasnya. 

Aku sibuk memungut berkas-berkas yang berserakan, sedangkan cewek itu masih saja berdiri di tempat semula. Barangkali setelah ini dia mau kembali memakiku. Kalau sampai itu terjadi, maka aku tidak akan bersikap ramah lagi seperti tadi. Bodo amat jika nanti dibilang karyawan baru yang tidak tahu diri. 

Selesai membereskan berkas-berkas, aku kembali berdiri. Kulihat cewek itu masih menatapku. 

"Permisi, Mbak," pamitku sembari tersenyum padanya, meskipun sebenarnya terpaksa. 

Baru saja satu langkah, cewek itu kembali bersuara setelah tadi terdiam lumayan lama. "Tunggu! Gue belum selesai ngomong sama lo." 

Aku memutarkan bola mata, malas jika masalah tadi harus diperpanjang. Tanpa membuang waktu, aku pun berbalik kembali menghadapnya. "Ada apa lagi ya, Mbak? Tadi kan saya sudah minta maaf. Beneran tadi saya nggak sengaja, Mbak, tolong jangan diperpanjang." 

"Ck! Siapa yang mau memperpanjang? Gue tuh cuma mau tanya aja sama lo," katanya sedikit ketus. "Lo Alula, bukan?" 

What? 

Dia tahu namaku? 

Dari mana coba? Perasaan baru kali ini aku ketemu sama dia. 

"Iya, Mbak, saya Alula. Kok Mbak tahu nama saya, ya?" 

"Ya, cuma nebak aja," jawabnya enteng. 

Nebak? 

Dia cenayang kali ya, yang bisa nebak dengan tepat. 

"Masa sih? Kalau cuma nebak, nggak mungkin bisa setepat itu dong, Mbak, apalagi kita baru pertama kalinya ketemu." Aku yang tadinya ingin segera pergi dari hadapannya, tiba-tiba saja tertarik untuk balik bertanya.

"Lo it--" 

"Lashira! Ngapain kamu masih di sini?"  Suara seorang pria yang tiba-tiba datang, sontak menghentikan perkataan cewek di depanku ini. 

Penasaran dengan pria itu, aku pun menoleh ke belakang. Dan pada saat bersamaan pula, si pria itu menatap ke arahku.

 Oh ... astaga! 

Dia? 

"Oh, ini Kak, tadi aku nabrak dia," tunjuk cewek di depanku. Ooh, jadi namanya Lashira. Terus apa hubungannya sama .... 

"Kamu ngapain di sini?" tanyanya ketus padaku. 

Ish! Lama nggak ketemu kenapa dia jadi berubah jadi begini sih. Mana tambah ganteng, lagi. Nyesel ketemu sama dia. 

"Ya gue kerja di sinilah. Lo sendiri ngapain di sini?" Aku balik bertanya dengan nada yang tak kalah ketusnya. 

"Suka-suka saya mau di mana, bukan urusan kamu!" ujarnya dengan tatapan tajamnya padaku. Sedetik kemudian, dia berbalik menghadap cewek yang bernama Lashira tadi. "Sayang, udah yuk, kita masuk." Dia menggenggam tangan cewek itu, lalu pergi meninggalkanku yang kini masih terpaku melihatnya bersama cewek itu. 

Huh! Kenapa harus dipertemukan kembali dengan situasi seperti ini?

Dan apa itu tadi? Sayang? Dia memanggil cewek bernama Lashira itu dengan panggilan 'sayang'? 

=========Aufa========= 

"Len, gue mau cerita sama lo," bisikku pada Alena. Kebetulan kubikel tempatku bekerja bersebelahan dengan kubikel Alena. 

"Ya udah, cerita aja." Alena ikut berbisik. Sebenarnya sih, bu Indira sedang tidak mengawasi, tapi aku takut kalau yang lain juga dengar tentang apa yang mau kuceritakan pada Alena, apalagi ini menyangkut masalah pribadi, jadi harus bisik-bisik. 

"Nanti aja waktu di kost-an. Nanti gue nginep di kost lo lagi. Tapi lo jangan bilang-bilang ke Tere sama Gio ya," kataku masih berbisik. 

"Emangnya kenapa?" 

"Ini rahasia, Len." 

"Oke." Alena mengacungkan jempolnya. 

=========Aufa========

"Jadi lo mau cerita apa, La?" tagih Alena ketika kami sampai di kost-nya. "Katanya rahasia. Emang apaan sih? Serius dari tadi gue penasaran tahu." 

"Sabar napa sih," ujarku, "bentar, gue mau minum dulu." Segera kumenyambar gelas plastik yang ada di atas meja, lalu mulai menuangkan air dari galon. "Aah, segarnya ...," kataku begitu air membasahi kerongkongan. 

Alena kini tengah berbaring di kasur lantai miliknya sambil bermain ponsel. Karena tubuh terasa amat lelah, akhirnya aku pun ikut berbaring di sampingnya. 

"Cepetan cerita, keburu gue tidur nanti," desak Alena. 

"Sore-sore gini nggak boleh tidur tahu, pamali! Nanti bisa jadi orang fakir, kalau nggak, bisa jadi gila kalau keseringan tidur sore hari, apalagi kalau sampai empat puluh hari," ujarku sok menasehati. Ini sering ibu katakan padaku kalau lihat aku lagi tiduran di sore hari. Tuh, kan, jadi ingat ibu lagi. 

"Iya, bawel! Makanya cepetan cerita, biar gue nggak tidur." 

Aku menghembuskan napas, dan mulai bercerita. "Tadi siang gue ketemu salah satu mantan gue di kantor, Len." 

"Ha?! Mantan lo?" Alena refleks bangkit dari posisinya berbaring. Dia duduk sambil menatap ke arahku. Aku pun mengangguk. "Emang salah satu dari mantan lo ada gitu yang kerja di kantor kita? Kok lo nggak pernah cerita sih, La." 

"Yaelah, gue aja nggak tahu, gimana mau cerita sama lo." Aku ikutan duduk juga. Nggak nyaman rasanya kalau cerita sambil tiduran, tapi yang diajak cerita sambil duduk. 

"Emangnya lo ketemu di kantor pas kapan? Terus di mana tepatnya?" Bukan Alena namanya kalau tidak kepo. 

"Di lobi pas gue disuruh buat fotokopi sama bu Indira," jawabku tanpa memberi tahu kejadian detailnya. 

"Dia kerja di kantor kita juga? Atau cuma lagi berkunjung aja?" 

"Gue nggak tahu, tapi tadi gue lihat penampilannya sih, kayak orang-orang atasan gitu, pake jas. Kalau cuma karyawan biasa kayak kita, kayaknya jarang deh yang pake jas." 

"Fix, La! Kita harus selidikin!" 

==========Aufa=========

Kebiasaan yang paling tidak bisa aku hilangkan adalah bangun kesiangan, seperti saat ini. Sebenarnya sih, kalau sedang tidak menstruasi, aku bisa bangun pas subuh, tapi berhubung sekarang sedang mens, jadi aku sengaja me-nonaktifkan alarm yang biasa kusetel pas subuh. 

Parahnya lagi, si Alena juga ikutan bangun kesiangan. Alhasil, di jam yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi ini, kami belum bersiap-siap. 

"Len, lo udah belum sih? Lama amat mandinya," gerutuku sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi

"Iya sebentar lagi, Beib." 

=========Aufa=========

Akhirnya setelah adu kecepatan dengan waktu, aku dan Alena sampai juga di kantor, meski telat sepuluh menit. Untung saja kost Alena dekat dengan kantor, coba kalau jauh, bisa telat lebih lama lagi. 

Kami berjalan tergesa-gesa di lobi untuk segera menghampiri lift yang akan membawa kami ke lantai tiga tempat di mana divisi kami berada. 

"Berdoa, La, semoga nggak disemprot sama mak lampir," kata Alena saat kami berada di dalam lift. 

"Kalau telat gini, biasanya hukumannya apa, Len?" 

"Ih, disuruh buat berdoa malah tanya hukuman. Lo mau dihukum?" 

"Ya, enggaklah!" 

Sesampainya di depan ruang divisi, kami tidak ak langsung masuk, karena dari luar kami mendengar kalau di dalam sepertinya sedang ada arahan, dan itu bukan dari bu Indira, si ketua divisi. 

"Siapa, Len?" tanyaku penasaran. 

"Nggak tahu, La, gue nggak paham suaranya." 

Tapi kok, aku kayak familiar dengan suaranya ya? 

"Alula! Alena! Kenapa kalian masih di sini? Kalian telat ya?" Aku berjingkat begitu mendengar suara perempuan dari arah belakangku. Sontak aku, dan Alena pun menoleh. 

"Eh, bu Indira," ucapku dan Alena kompak. Tak lupa juga sambil senyum terpaksa.

 "Kami mau masuk, Bu, tapi di dalam sepertinya--"

"Di dalam lagi ada arahan langsung dari CEO," ujar bu Indira yang memotong perkataanku. "Jadi benar kalian telat?" 

Aku mengangguk lalu menunduk, tidak  tahu dengan Alena. Dadaku sudah kembang kempis, takut diberi SP di status baruku sebagai karyawan. 

"Baiklah, karena hari ini saya sedang berbaik hati, maka kalian saya maafkan. Tapi, kalau kesalahan ini kalian ulangi, maka jangan salahkan saya kalau saya harus memberi kalian hukuman, dan tak tanggung-tanggung juga surat peringatan." 

"Iya, Bu," ucapku berbarengan dengan Alena. 

"Ya sudah, sekarang kalian masuk, tapi harus dengan sopan karena di dalam sedang ada CEO kita." 

Masalah dengan bu Indira selesai, sekarang aku dan Alena harus menghadapi si CEO, yang mungkin saja lebih garang dari bu Indira. Ibarat keluar dari kandang macan, masuk ke kandang buaya. 

Bagaimana nasibku selanjutnya? 

To be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status