Hati cucu mana yang tidak khawatir, ketika mendengar berita kalau neneknya sakit sampai harus dirawat di ruang ICU? Nada merasa seperti dihantam dua kali oleh kenyataan.
Kini tangannya benar-benar bergetar hebat. Perasaannya sudah tak karuhan. Antara merasa takut dengan masa lalunya, dan takut dengan keadaan neneknya.“Mama?” panggil Deven pelan. Anak itu merasa khawatir melihat wajah ibunya yang pucat pasi.Namun, Nada langsung menggeleng dan meletakkan telunjuk di bibirnya. Seketika Deven langsung diam.“Ne-nek kenapa, Om?” tanya Nada tergagap.“Tadi dini hari, Nenek pingsan di kamarnya. Setelah dicek ternyata tensi darahnya tinggi. Sekarang beliau sedang di ICU, karena sudah dua jam belum tersadar,” terang Adrian dengan suara terdengar panik.“Apa sudah dicek oleh dokter?”Nada berusaha untuk setenang mungkin.“Sudah, tapi hasil lab belum keluar,” jawab Adrian.Badan Nada terasa panas dingin. Neneknya kini sudah berumur delapan puluh tahun. Pastilah sudah terjadi penurunan kesehatan pada wanita itu. Terakhir Nada mendapatkan kabar dari Eva sekitar seminggu lalu.“Nada,” panggil Adrian memecah keheningan.Lagi, hati Nada berdenyut nyeri setiap mendengar pamannya itu menanggil namanya. Nada mencoba untuk menarik napas dalam, menenangkan dirinya.“Ya?” sahut Nada kemudian.“Bisakah kamu pulang? Apa kamu sama sekali tidak khawatir dengan keadaan Nenekmu?”Ucapan Adrian seketika membuat suasana hati Nada semakin mendung. Sungguh, perasaan Nada kini seolah babak belur.“Nenek selalu menanyakanmu. Dia merindukanmu, Nada. Sepertinya sudah cukup kamu tinggal di sana. Bisakah kamu pulang dan menemani Nenek?” pinta Adrian dengan penuh harap.Seketika Nada bergeming, tatapan matanya yang pilu itu tak bisa ia tutupi lagi. Kekhawatiran berlebih pun kini muncul dalam dirinya.Bagaimana jika Nada tidak memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Neneknya lagi?Tiba-tiba saja pertanyaan itu terlintas di benak Nada.“Nanti aku hubungi lagi. Aku harus bicarakan dengan atasanku, Om,” jawab Nada.Ada prosedur yang harus dilewati Nada, jika dia ingin kembali ke negara asalnya.“Baiklah. Om tunggu kabar baik darimu, dan satu lagi ….” Adrian menjeda kalimatnya.Di sisi Nada, dia tiba-tiba merasa penasaran dengan kalimat lanjutan yang hendak dikatakan oleh pamannya.“Ya?” Tiba-tiba saja Nada menyahut.“Aku harap kamu mau mengangkat panggilan dari Om, setiap Om menghubungimu.”Nada menelan ludahnya dengan susah payah. Memang benar, selama ini Nada hanya berkomunikasi dengan Adrian dari pesan singkat. Itu pun hanya sesekali.Setiap Adrian mencoba menghubungi Nada melalui telepon, pasti seolah ditolak oleh keponakannya itu. Baru kali ini—setelah enam tahun lamanya—Nada kembali mendengar suara Adrian, dan sukses membuat hatinya kembali terguncang.“Ya,” jawab Nada irit.Merasa tidak ada yang hendak dibicarakan lagi. Nada pun berniat untuk menutup panggilan tersebut.“Apa kabar, Nada?” tanya Adrian. Seolah pria itu tak ingin mengakhiri komunikasi mereka, yang sudah tidak pernah dilakukan selama enam tahun ini.“Baik.” Nada menjawab secepat kilat, “Om maaf, aku masih ada pekerjaan. Kita lanjutkan lagi lain waktu,” pungkas Nada.“Sebentar—”Belum juga Adrian selesai dengan kalimatnya, Nada langsung menutup panggilan itu.Lutut perempuan itu kini terasa lemas, Nada pun akhirnya mendaratkan tubuhnya di atas lantai. Wajahnya kini tertunduk lesu, bahkan air mata kini sudah menggenang di kelopaknya.“Mama, are you, ok?”Deven segera berjongkok, melihat kondisi ibunya yang sedang terpuruk itu.Seketika Nada tersentak, dia baru sadar kalau di sini masih ada anak semata wayangnya. Ia segera mengusap air matanya, tak ingin anak laki-lakinya itu melihat sang ibu yang sedang rapuh.“Ok, Baby,” ucap Nada sambil terisak. Kemudian dia mengangkat wajahnya, dan tersenyum pada putranya.“No, you’re not, Mama. Please tell me, how do you feel?” tanya Deven lagi. Wajahnya benar-benar terlihat mengkhawatirkan sang ibu.Kedua sudut bibir Nada tertarik ke atas. Hatinya terasa hangat, ketika mendapatkan perhatian dari putranya. Seketika Nada langsung memeluk Deven dengan erat.“I’m Ok, Baby. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan apa pun dari Mama.”“Tapi ….”“Hmmm.” Nada menggeleng dan memebelai kepala Deven, “Mama cuman sedang sedih, karena Nenek Mama sedang sakit.”“Nenek? Siapa itu Nenek?” tanya Deven dengan polosnya.Nada mendesah, selama ini dia tidak pernah menceritakan keluarganya di Indonesia. Yang malaikat kecil itu tahu, keluargnya hanyalah Nada dan Ratna.“Orang tua Mama, Sayang,” jawab Nada singkat, dengan perasaan yang berdenyut. Ya, dia masih belum siap untuk menjelaskan semuanya pada Deven.Deven langsung menarik diri dari pelukan ibunya.“Kalau begitu itu bukan kabar yang baik, Mama. Apa perlu kita menjenguk Nenek?” tanyanya.Nada menatap bola mata hitam milik malaikat kecil itu. Sebenarnya Nada sering merasa sakit, jika harus menatap dalam mata anaknya. Karena tatapan anak ini sangat persis seperti Adrian.“Kamu mau menjenguk Nenek, Dev?”Deven mengangguk.“Tapi jika kita menjenguk Nenek. Sepertinya kita tidak bisa kembali lagi ke sini. Kita harus pulang ke Indonesia, negara asal Mama,” ujar Nada.Benar apa kata pamannya, kalau sekarang Eva tidak memiliki siapa pun selain dirinya dan Adrian. Jika Nada mengedepankan sisi egoisnya, mungkin hatinya tak akan tergerak. Namun, bagaimana pun Eva adalah neneknya—orang tuanya—yang harus Nada jaga dengan baik. Seperti Eva menjaganya selaman ini.Mendengar penuturan ibunya, mendadak Deven terdiam. Tatapan matanya kini tidak bisa ditebak oleh Nada. Dia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh putranya itu.Apa mungkin Deven sedang mempertimbangkannya? Pasti berat bagi Deven untuk meninggalkan negara ini. Di mana dia harus meninggalkan teman-temannya.“Ma,” panggil Deven sambil menatap mata cokelat sang ibu.“Ya?” sahut Nada.“Apakah nanti di sana, selain menjenguk Nenek, aku bisa bertemu dengan Papa?”Deg.Jantung Nada seperti dihantam benda berat. Pertanyaan dari putranya itu di luar ekspektasi Nada.BERSAMBUNG ….Pertanyaan yang diajukan oleh Deven, sungguh di luar nalar. Bahkan Nada sampai mematung—hampir satu menit lamanya. “Deven,” panggil Nada sambil mengelus puncak kepala putranya, “bukannya Mama sudah bilang perihal itu? Papamu sudah di Surga, Nak,” terang Nada yang tentu saja mengucapkan sebuah kebohongan.Sakit sebenarnya, ketika dia harus berbohong pada anaknya sendiri. Namun, bagaimana lagi, Nada sudah bertekad untuk tidak memberi tahu siapa pun tentang ayah biologis Deven. Apalagi pada anaknya sendiri. “Iya, Ma, i know. Tapi bukannya Indonesia juga surga? Aku baca di internet, kalau Indonesia itu serpihan surga. Berarti Papaku ada di sana, kan?” Mata Nada sontak membulat. Lagi, Nada dibuat tak habis pikir dengan jawaban dari putranya itu. Sepertinya memang sedikit sia-sia Nada berbohong.“Konteksnya berbeda, Sayang. Sudah, bagaimana kalau kita makan malam saja? Tadi Mama lihat Tante Ratna sedang memasak pasta kesukaan Deven.”Mendadak raut wajah Deven berubah. Anak itu merasa tid
Tangan Nada gemetar sekarang, melihat sosok pamannya yang baru saja keluar dari kamar. Perawakan Adrian terlihat berbeda dari enam tahun lalu. Badannya tegap, garis wajahnya terlihat sangat tegas. Membuat dirinya terlihat lebih tampan dari kali terakhir Nada melihatnya. Bahkan auranya sekarang sudah berubah menjadi dominan dan karismatik. Secepat itukah fisik Adrian berubah?“Selamat malam, Om,” ucap Nicko memecah ketegangan yang bisa dia rasakan. Tangan laki-laki itu kini langsung meraih tangan Nada. Mengusap punggung tangan dengan ibu jarinya. “Malam. Kamu mau pulang, Nick?” tanya Adrian dengan suaranya yang berat dan tegas .“Iya, Om. Saya mohon izin pamit pulang,” jawabnya dengan sopan. Namun, Nada malah semakin mencengkeram pegangan tangan Nicko. Mulutnya itu masih bungkam, dan bahkan belum menjawab sapaan dari paman angkatnya. Nicko pun segera membalikkan badan. “Kembali saja ke kamarmu, Nada. Tidak usah mengantarku keluar,” ucap Nicko. Tatapan gelisah kini terpancar di
Agenda sarapan pagi bersama pun gagal. Setelah pengakuan Nada yang membuat tubuh Eva tak kuasa untuk bangkit. Wanita berumur delapan puluh tahun itu, akhirnya dibawa menuju kamar tidur.“Nada, bisa kita bicara sebentar?” tanya Adrian dengan suara tegasnya.Betapa khawatirnya perasaan Adrian, ketika melihat kondisi ibu angkatnya yang harus kembali drop, akibat pengakuan Nada.“Bukannya Om harus segera menuju kantor? Ini sudah pukul sepuluh pagi,” celetuk Nada sambil melihat ke arah jam dinding.“Aku masih punya banyak waktu,” jawab Adrian cepat.“Oh, apa Om sekarang selalu bermalas-malasan dalam memimpin Victory?” sela Nada mencibir.Sontak Adrian mengerutkan kening, “Maksudmu apa, Nada?” tanyanya.Nada menarik napas pelan, lalu dengan tangan yang meremas kedua sisi tubuhnya dia berbicara, “Ini sudah jam masuk kantor. Walau pun Om memiliki banyak waktu, tapi tetap saja Om harus datang ke kantor tepat waktu.”Intonasi Nada dalam berbicara terdengar menekan. Dia berusaha untuk membangun
“Anak siapa itu?”Pertanyaan dari Keenan barusan membuat Adrian tersentak. Matanya tidak bisa berbohong, kalau pria berumur 39 tahun itu sedang merasakan kepanikan. “Dari mana Mas Keenan tahu kalau Nada sudah kembali? Dan ….” Adrian mendadak ragu untuk melanjutkan kalimatnya, “dan dari mana Mas tahu kalau Nada tidak pulang sendirian?” “Ada informasi dari luar. Sepertinya seseorang atau mungkin banyak, sedang memperhatikan Victory. Jelas saja, karena perusahaan ini sangat sukses di industri perhotelan dan penerbangan,” terang Keenan. “Informasi dari mana, Mas?” tanya Adrian ngotot. “Orang luar. Aku tidak tahu persis, karena aku mendapatkan informasi dari istriku, Gladys. Tapi aku berpesan padamu untuk berhati-hati Adrian. Karena bisa saja rivalmu sedang mengawasi dan membuat bom waktu yang entah kapan akan meledak.”Sebagai mentor yang baik, Keenan memang sering kali memberi nasehat pada Adrian. Dia sudah menganggap Adrian sebagai juniornya yang harus dibimbing. Selain itu Keenan s
“Me-menikah?” Adrian mendadak gagap.Setelah delapan tahun bersabar, akhirnya Adrian bisa mengantongi restu dari ayah Sindy. Sudah sejak lama Adrian mengusahakan hubungan mereka untuk segera direstui. Walau Adrian sudah menjabat menjadi CEO perusahaan terkenal sekali pun, Titan masih belum memberikan restu. Pasalnya pria itu tak ingin karir anaknya terhambat. Karena pada saat itu nama Sindy sedang naik daun. Selain itu, faktor Adrian yang hanya anak angkat, membuat Titan sedikit ragu.“Iya. Apa kamu tidak mau menikahi putri saya?” Pertanyaan tersebut segera disanggah oleh Adrian. “Tidak, Om. Tentu aku akan menikahi Sindy. Secepat yang kami bisa,” jawab Adrian dengan mantap. Binar bahagia tak hanya terlihat dari wajah Adrian. Sindy pun merasa sangat senang. Namun, di detik berikutnya raut wajah Sindy berubah. “Kenapa?” bisik Adrian, yang sadar dengan perubahan raut wajah kekasihnya itu. “Ah, i-itu … tapi bisakah kamu menunggu sedikit lagi, Mas?” Nada bicara Sindy terdengar pelan.
Mobil SUV berwarna putih kini melaju kencang menuju kediaman Eva. Adrian; orang yang ada di dalam mobil tersebut, meminta supirnya untuk tidak menemaninya kali ini. Setelah bertemu dengan Kiki; jurnalis yang memang sering mencari celah kekurangan para pebisnis. Adrian merasa harus segera menyelesaikan masalah yang sempat tertunda dengan Nada. Butuh waktu sekitar sembilan puluh menit bagi Adrian untuk sampai di kediaman ibu angkatnya.“Nada di mana, Mbak Ratna?” tanya Adrian yang saat kedatangannya disambut hangat oleh Ratna. “Di kamarnya, Mas. Mau saya panggilkan?” Adrian langsung menggeleng, dia melesat menuju kamar keponakannya. Pintu jati berwarna putih diketuk dua kali oleh Adrian, “Nada, bisa kita bicara sebentar?” tanyanya. Di dalam kamar, Nada yang sedang fokus pada ponselnya langsung mengerejap. Matanya langsung menatap ke arah pintu kamar.“Nada, ini Om. Kita harus bicara sebentar.” Adrian kembali memanggil Nada. Kini terdengar nada bicaranya sedikit memaksa. “Ma, mau a
Dengan alis yang hampir bertaut, Nada menatap layar ponselnya. Biasanya Nada tidak pernah mengangkat telepon dari nomor yang tidak terdaftar di kontaknya. Namun, entah kenapa sekarang dia merasa sedikit bimbang. “Siapa, Ma? Angkat saja,” ucap Deven. “Hah?” Nada menoleh pada anaknya, “oh, iya. Mama angkat telepon dulu sebentar, ya?” katanya meminta izin. Segera Nada mengusap layar ponselnya, lalu menempelkan tombol berwarna hijau. “Halo,” sapa Nada.“Halo, kamu Nada?” tanyanya dengan sedikit suara yang terdengar sewot.“Ya … tapi maaf ini dengan siapa?”“Aku Sisil. Kamu tahu, kan?” Nada mencoba mengingat-ingat temannya yang bernama Sisil.Terdengar suara desahan kasar dari seberang sana, “Huh, aku Sisil tunangan Nicko.”Seketika Nada mengerejap, lalu berkata, “Oh, iya. Ada apa?”Sebenarnya Nada belum pernah bertemu dengan tunangan Nicko ini. Namun, memang beberapa kali Nicko pernah menceritakan tentang tunangannya. “Bisa kita bertemu? Ada yang ingin aku bicarakan. Aku tunggu kamu
Mana mungkin Deven tak paham dengan obrolan orang dewasa ini. Walau dirinya masih kecil, tapi Deven tahu kalau dia sedang dibicarakan.“Deven, itu cuman salah paham saja, Sa—“Belum juga Nada selesai mengucapkan kalimatnya. Nicko langsung menyela, “Iya.”Untuk ketiga kalinya; dalam waktu yang kurang dari satu jam, Nada kembali dibuat terkejut. “Nicko!”“Kalau Deven memang mau menganggap Om adalah papa Deven, tidak masalah. Om akan jadi papa Deven,” terang Nicko sambil tersenyum.Deven menarik kedua sudut bibirnya kaku, lalu dia hanya mengangguk.“Baiklah, kalau begitu ayo kita pulang,” ucap Deven.Nicko mengangguk dan langsung menyalakan mobil. Sedangkan Nada, dia masih mematung, sembari memandang Nicko dan Deven bergantian.Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka sampai di rumah. Deven langsung turun dari mobil dan berlari menuju rumah besar itu. “Deven!” Nada memanggil anak laki-lakinya, tapi Deven tak menggubris. Dia tetap berlari memasuki rumah. Nada mendesah, dia bisa menduga ap