Share

6. TIDAK USAH BERJANJI

“Mbak, tolong jangan katakan apa pun, kalau Om Adrian bertanya tentangku,” pinta Nada yang terlihat sangat panik.

Ratna baru saja mendapati panggilan dari anak angkat Eva. Dia pun segera mengangkat panggilan tersebut, sambil mata sembabnya terus memperhatikan Nada.

“Halo, Mas,” sapa Ratna pada Adrian.

“Mbak Ratna, apa benar Nada dan Mbak sedang di luar negeri?” tanya Adrian tanpa berbasa-basi.

“Iya, Mas. Kenapa Mas Adrian bisa tahu?” Kini Ratna kembali melempar pertanyaan.

Sedangkan Nada yang sedang berada di hadapan Ratna, menunjukkan ekspresi wajah yang harap-harap cemas.

“Mama yang memberi tahuku. Kalau boleh tahu, Nada berkuliah di mana?” tanya pria itu lagi.

Ratna tak segera menjawab, dia semakin menatap intens pada Nada. Seolah tahu dengan gestur dari Ratna, Nada pun menggeleng.

“Maaf, Mas, tapi Nada meminta saya untuk tidak memberi tahu siapa pun. Sepertinya Nada tidak ingin diganggu, dia ingin fokus kuliah,” jawab Ratna beralibi.

Entah Adrian akan percaya atau tidak dengan jawaban Ratna. Karena wanita itu pun sedikit merasa bahwa jawabannya terksesan dipaksakan.

“Tapi Mas Adrian tidak perlu khawatir, saya akan terus menjaga Nada,” imbuh Ratna.

“Baiklah, Mbak. Saya titip Nada pada Mbak Ratna, ya. Kalau ada sesuatu yang terjadi pada Nada, Mbak jangan sungkan untuk menghubungi saya seperti biasa,” pesan Adrian.

Terdengar laki-laki itu seperti seolah mengalah.

“Baik, Mas,” pungkas Ratna, lalu panggilan itu pun berakhir.

Melihat Ratna tidak memberikan informasi apa pun pada Adrian, Nada menghela napas lega.

Di sisi Ratna—ketika melihat sikap Nada—dia merasa ada sesuatu yang aneh dari majikannya itu. Seberepa banyak hal yang Nada sembunyikan dari orang-orang?

Tiba-tiba saja sebuah pemikiran gila terlintas di benak Ratna. Karena melihat sikap Nada yang seolah menghindar dari Adrian. Padahal Ratna tahu, kalau Nada sangat dengan dengan paman angkatnya itu. Akan tetapi, dengan cepat Ratna menggeleng, mencoba menepis pikiran buruknya pada Nada dan juga Adrian.

***

Enam tahun kemudian.

“Mbak, aku pulang sedikit terlambat. Boleh kah aku meminta tolong untuk menjemput Deven dari tempat les?” tanya Nada pada Ratna dalam panggilan telepon.

“Iya, Nada,” jawab Ratna.

“Tolong sampaikan maafku pada Deven. Padahal hari ini aku berjanji untuk mengajaknya menonton film,” ucap Nada dengan nada bicara yang terdengar sendu.

Setelah lulus kuliah, Nada tidak memiliki niat untuk pulang ke negara asalnya. Dia sudah terlalu nyaman tinggal di negara ini. Hati dan jiwanya benar-benar merasa tenang. Bahkan kesehatan mentalnya pun sudah berangsur membaik.

Ketakutan Nada pada Adrian perlahan berkurang. Biasanya untuk sekedar berkirim pesan saja Nada enggan. Namun, sekarang sesekali dia memang selalu membalas pesan Adrian. Walau, dia sepertinya masih enggan untuk bertemu, bahkan mendegar suara pria itu saja rasanya masih belum bisa.

“Kalau nanti Deven masih menagih untuk menonton film, biar Mbak yang temani dia,” balas Ratna yang memberikan solusi agar Nada tidak kebingungan.

“Ah, makasih banyak, ya, Mbak. Maaf aku dan Deven selalu merepotkan Mbak.”

“Mbak tidak suka mendengar kamu berbicara seperti itu Nada. Ini sudah menjadi tugas Mbak. Sudah cepat kembali bekerja, agar kamu bisa cepat pulang dan menemui anakmu,” pungkas Ratna.

Kemudian panggilan telepon itu pun berakhir.

“Ah, kenapa aku bisa salah membuat laporan?” desah Nada kesal.

Entah kenapa, setiap Nada memiliki janji dengan Deven pasti selalu saja ada halangan. Ini adalah kali ketiga Nada batal menepati janji pada anaknya sendiri.

Ya, Deven Pranadipta Hartanto adalah anak dari Nada dan hubungan di malam terlarang bersama Adrian. Sampai detik ini hanya Nickolah yang mengetahui siapa ayah biologis dari Deven. Bahkan Ratna pun masih belum mengetahuinya. Nada memang pintar menetupi aibnya sendiri.

Setelah dua jam berkutat dengan laporan, akhirnya Nada bisa menghela napas lega. Pekerjaannya selesai dan dia segera merapikan meja kerjanya. Tak berlama-lama Nada pun segera pulang ke apartemennya.

“Deven mana, Mbak?” tanya Nada yang baru saja tiba di kediamannya.

“Di kamar. Dia marah,” jawab Ratna.

Helaan napas terdengar dari mulut Nada, bahkan kini bahunya melemas. Sesuai dugaannya, Deven pasti kecewa dan dia tidak bisa untuk dibujuk lagi. Karena ini adalah kali ketiga Nada tidak bisa menepati janjinya.

Dengan perlahan Nada menghampiri kamar anaknya, lalu mengetuk pintu yang berwarna cokelat.

“Deven, ini Mama, Sayang,” sapa Nada dengan suara yang sangat lembut, “Mama izin masuk, ya,” imbuhnya.

Tidak ada jawaban apa pun dari Deven. Perlahan Nada pun memasuki kamar anaknya yang tidak terkunci itu.

Nada melihat anaknya sedang duduk di kursi meja belajarnya. Jika sedang kesal, anaknya ini pasti akan melampiaskan dengan aktivitas mewarnai.

“Sayang,” sapa Nada sambil mengalungkan tangannya pada tubuh Deven.

Dengan cepat Deven menyingkirkan tangan Nada dari tubuhnya. Nada kemudian berjongkok di sisi kursi anaknya.

“Sayang. Deven marah sama Mama?” tanya Nada.

Anak laki-lakinya itu mendelik ke arah Nada, “Menurut Mama?” balasnya.

“Maafkan Mama, Sayang. Mama ada pekerjaan mendadak yang ti—”

“Deven bosan dengar alasan Mama,” sela anaknya itu.

Anak laki-laki itu masih berumur lima tahun, tapi dia benar-benar pintar dalam berbicara.

“Baiklah, Mama memang salah. Mama tidak akan melakukan pembelaan apa pun. Maafkan Mama karena terus membuatmu kecewa.”

“Ya.”

Deven tak banyak berbicara. Dia sibuk dengan crayon berwarna merah yang sedang dia gesekkan di atas sebuah kertas.

“Deven mau memaafkan Mama?” tanya Nada lagi.

“Ya.”

Sungguh irit sekali jawaban dari anak Nada itu. Hati Nada merasa sakit, ketika mendapati sikap dingin anaknya ini.

“Terima kasih, Sayang. Mama janji kedepannya kita akan bermain bersama,” ujar Nada.

“Tidak usah berjanji apa pun, Ma. Janji Mama tidak pernah sekalipun ditepati.”

Ya Tuhan, kenapa anak ini sangat pintar sekali berbicara? Setiap kata yang keluar dari mulut anak tersebut sukeses membuat hati Nada terasa dicubit. Namun, Nada tak bisa menyalahkan Deven. Karena yang memulai permasalahan terlebih dahulu adalah dirinya.

“Deven,” desah Nada frutrasi. Dia masih tertunduk lesu di samping anaknya.

Saat keheningan menyapa di antara mereka, suara dering telepon dari saku celana Nada pun memecah suasana. Dia pun segera merogoh saku dan mengambil ponselnya.

“Nenek?” gumam Nada, saat mendapati nama Eva di layar ponselnya.

Dengan cepat Nada mengangkat panggilan tersebut.

“Halo, Nek, ada apa?” tanya Nada.

“Nada?”

Deg.

Jantung Nada seolah berhenti berdetak. Kepalanya terasa limbung, sampai dengan cepat dia langsung meraih kursi yang sedang di duduki Deven.

Mata Nada membulat maksimal, dan tubuhnya mulai merasa bergetar. Suara itu, suara yang tidak ingin Nada dengar. Setiap mendengar suara itu memanggil namanya, seketika kejadian enam tahun lalu kembali muncul di benaknya.

“Nada ini Om Adrian. Bisakah kamu pulang ke Indonesia? Nenek masuk ICU.”

BERSAMBUNG ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status