Pertanyaan yang diajukan oleh Deven, sungguh di luar nalar. Bahkan Nada sampai mematung—hampir satu menit lamanya.
“Deven,” panggil Nada sambil mengelus puncak kepala putranya, “bukannya Mama sudah bilang perihal itu? Papamu sudah di Surga, Nak,” terang Nada yang tentu saja mengucapkan sebuah kebohongan.Sakit sebenarnya, ketika dia harus berbohong pada anaknya sendiri. Namun, bagaimana lagi, Nada sudah bertekad untuk tidak memberi tahu siapa pun tentang ayah biologis Deven. Apalagi pada anaknya sendiri.“Iya, Ma, i know. Tapi bukannya Indonesia juga surga? Aku baca di internet, kalau Indonesia itu serpihan surga. Berarti Papaku ada di sana, kan?”Mata Nada sontak membulat. Lagi, Nada dibuat tak habis pikir dengan jawaban dari putranya itu. Sepertinya memang sedikit sia-sia Nada berbohong.“Konteksnya berbeda, Sayang. Sudah, bagaimana kalau kita makan malam saja? Tadi Mama lihat Tante Ratna sedang memasak pasta kesukaan Deven.”Mendadak raut wajah Deven berubah. Anak itu merasa tidak puas dengan jawaban dari sang ibunda.“Baiklah,” timpal Deven mengalah.Melihat respon anaknya yang—tentu saja—kecewa. Membuat sudut hati Nada terasa dicubit. Namun, apa daya, Nada tidak bisa berkata jujur. Karena itu pasti akan semakin melukai hati Deven.***Nada sedang merapikan barang-barangnya. Satu persatu, barangnya yang masih dianggap penting dia masukkan ke dalam kardus.Usaha itu tak sendirian dilakukan oleh Nada. Dia dibantu oleh Ratna, agar pekerjaannya cepat selesai. Sedangkan Deven, dia sedang ikut les berenang.Selang beberapa saat, ponsel Nada berdering. Perempuan itu pun segera meraih ponsel yang ia simpan di atas nakas.“Halo, Nek?” sapa Nada saat panggilan tersebut diangkatnya.“Halo, Sayang. Kamu sedang apa, Nada?” tanya Eva.“Aku sedang merapikan barang-barangku, Nek. Nenek bagaimana kabarnya? Sudah sehat?” tanya Nada.“Sehat,” jawab Eva cepat.Wanita itu ternyata menderita penyakit stroke dan beberapa penyakit yang lain. Untung saja Eva segera mendapatkan penanganan yang tepat. Sehingga bisa meminimalisir risiko terburuknya.“Kamu jadi pulang, kan?” tanya Eva.“Iya, Nek. Minggu depan aku kembali ke Indonesia.”Benar. Setelah pergolakan batin yang dialami Nada, akhirnya dia memutuskan untuk pulang. Tentu ini juga karena dukungan dan bujukan dari Ratna.“Syukurlah. Nenek senang mendengarnya. Terima kasih, ya, Nada karena sudah mau pulang.”Terdengar suara Eva yang memancarkan aura bahagia. Kini wanita itu tidak sendirian lagi di rumah. Walau memang, sebenarnya Eva ditemani oleh ART-nya, tapi tetap saja dia tidak bisa bercerita banyak hal dengan mereka.Adrian, anak angkatnya, memilih untuk tetap tinggal di apartemennya. Walau jika hari libur, anak angkatnya itu selalu menginap dan menemani Eva.“Iya, Nek. Nenek harus sehat, ya,” pesan Nada.“Pasti. Mendengar berita cucuku hendak pulang saja menambah presentase kesehatan Nenek.”Mendengar jawaban dari Eva, membuat Nada tertawa kecil.“Baiklah, kalau begitu nanti biar Adrian yang menjemputmu di Bandara,” kata Eva.“Ah, tidak usah, Nek. Aku sudah meminta tolong Nicko untuk menjemputku nanti,” timpal Nada buru-buru.“Tapi ….”“Sudah tidak apa-apa, Nek. Nicko sudah menyanggupi. Lagi pula Om Adrian pasti sibuk dengan pekerjaannya. Aku tidak mau mengganggunya, Nek,” papar Nada.Sebenarnya ucapan yang baru saja keluar dari mulut Nada secara spontan itu tidaklah benar. Faktanya dia belum menghubungi Nicko sama sekali.Namun, begitu, Nada harus mencari alibi agar di hari pertamanya menginjakkan kaki di negara asal, dia tidak bertemu dengan orang yang sudah membuat Nada harus mengasingkan diri di tempat ini.“Nada.” Ratna memanggil dan mendekat ke arahnya.“Ya?” sahut Nada sambil menoleh pada wanita itu.“Bagaimana dengan Deven?”Terakhir Ratna menyanyikan hal itu, Nada tak menjawab. Bagaimana pun, pasti keluarganya di Indonesia akan merasa terkejut dengan kehadiran anak laki-laki itu.“Tidak apa-apa, Mbak. Akui saja kalau Deven anakku.”Jujur Nada memang sebelumnya merasa pusing. Namun, semakin dia menyimpan kebohongan lainnya, maka kebohongan itu akan semakin besar.“Bagaimana kalau mereka menanyakan siapa ayahnya?”“Tidak usah dijawab. Kalau mereka bertanya pada Mbak, bilang saja untuk tanyakan langsung padaku.“Berbicara tentang sosok ayah biologis Deven, terkadang membuat emosi Nada sedikit tersulut.Ratna menggeleng.“Sudahlah, Mbak, tidak perlu mengkhawatirkan anakku. Biar dia jadi tanggung jawabku,” pungkas Nada.Menurut dengan ucapan Nada, Ratna pun akhirnya merapatkan bibir. Kemudian dia berbalik, kembali mengerjakan pekerjaannya yang tertunda sebentar.***Hari kepulangan Nada pun tiba. Mereka sampai di bandara internasional Soekarno-Hatta pukul dua belas malam, setelah melakukan penerbangan selama 29 jam.“Nada!” seru seorang pria dengan perawakan jangkung juga putih. Pria itu melambaikan tangannya pada Nada.Dengan cepat Nada menoleh dan menghampiri pria tersebut. Begitupun dengan Ratna dan Deven yang sedang digandeng olehnya.“Sudah menunggu lama?” tanya Nada pada pria tersebut.“Tidak. Sekitar enam puluh menit,” jawabnya sambil meraih barang bawaan milik Nada.Nada mendesah, “Itu cukup lama, Nick. Terima kasih, ya, kamu sudah mau menjemputku dan menunggu lama. Maaf aku selalu merepotkan kamu.”Pria itu tersenyum pada Nada.“Kamu ini seperti orang yang baru pertama kali mengenalku saja. Sudah Nada, tenang saja. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan,” paparnya.“Mama, Om itu siapa?” tanya Deven yang tiba-tiba menarik bagian bawah baju milik Nada.Seketika Nada menoleh pada anaknya.“Oh, ini Om Nicko, Sayang. Dulu Deven pernah video call sama dia,” terang Nada.Seketika Nicko berjongkok agar sejajar dengan anak laki-laki itu.“Halo, Deven. Salam kenal, aku Om Nicko. Kita beberapa kali pernah melakukan panggilan video.” Nicko memperkenalkan diri pada Deven.Memang beberapa kali—saat Nicko menghubungi Nada—anak laki-laki itu selalu muncul dan ikut mengobrol dengannya.“Oh, iya. A-aku Deven.”Tiba-tiba Deven merasa canggung ketika bertemu dengan Nicko. Jujur saja ini adalah kali pertama bagi Deven berbicara dengan seorang laki-laki dewasa dan merupakan teman ibunya.“Sepertinya kita harus segera menuju rumah. Sudah larut malam sekali,” ucap Nada mengingatkan.Waktu benar-benar sudah tengah malam. Nada yakin kalau neneknya itu sudah tidur. Dia khawatir jika dirinya datang menjelang dini hari, neneknya akan terganggu.Nicko pun langsung bangkit, lalu dia meraih dua koper milik Nada dan Deven.“Oke, baiklah kita segera pulang. Ayok ikut aku ke mobil.”Nicko menyanggupi permintaan Nada untuk menjemputnya. Sesibuk apa pun laki-laki itu pasti selalu menyempatkan diri untuk Nada. Mereka memang tidak memiliki status apa pun sekarang. Namun, bagi Nicko, Nada adalah orang yang harus dia lindungi.Mobil hitam milik Nicko pun terparkir di depan halaman rumah Eva. Kemudian dia membuka seatbelt dan melihat ke belakang.“Tidur?” tanya Nicko yang melihat Deven sedang tertidur di pangkuan ibunya.Nada pun mengangguk.“Ya sudah, nanti biar aku yang bawa dia. Mbak Ratna boleh saya minta tolong untuk membawakan barang-barangnya, kan?” Nicko bertanya pada Ratna yang duduk di sampingnya.“Iya, Nicko, nanti Mbak yang bawa barangnya,” jawab Ratna.Mereka pun segera keluar dari mobil, lalu memasuki rumah besar itu. Kedatangan mereka pun disambut dengan hangat oleh para asisten rumah tangga.Nicko segera membaringkan Deven di kamar Nada. Sedangkan perempuan itu sedang merapikan barang bawaannya.“Kalau begitu aku pulang, ya,” pamit Nicko. Waktu pun sudah menunjukkan pukul satu malam.Nada pun segera mengantarkan Nicko keluar. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti, ketika melihat sosok pria yang baru saha keluar dari kamar lainnya.Mendadak Nada bersembunyi di belakang Nicko. Tangannya langsung meremas kemeja bagian belakang laki-laki itu.“Nada? Kamu sudah datang?” tanya pria yang baru saja keluar dari kamarnya itu.BERSAMBUNG ....Tangan Nada gemetar sekarang, melihat sosok pamannya yang baru saja keluar dari kamar. Perawakan Adrian terlihat berbeda dari enam tahun lalu. Badannya tegap, garis wajahnya terlihat sangat tegas. Membuat dirinya terlihat lebih tampan dari kali terakhir Nada melihatnya. Bahkan auranya sekarang sudah berubah menjadi dominan dan karismatik. Secepat itukah fisik Adrian berubah?“Selamat malam, Om,” ucap Nicko memecah ketegangan yang bisa dia rasakan. Tangan laki-laki itu kini langsung meraih tangan Nada. Mengusap punggung tangan dengan ibu jarinya. “Malam. Kamu mau pulang, Nick?” tanya Adrian dengan suaranya yang berat dan tegas .“Iya, Om. Saya mohon izin pamit pulang,” jawabnya dengan sopan. Namun, Nada malah semakin mencengkeram pegangan tangan Nicko. Mulutnya itu masih bungkam, dan bahkan belum menjawab sapaan dari paman angkatnya. Nicko pun segera membalikkan badan. “Kembali saja ke kamarmu, Nada. Tidak usah mengantarku keluar,” ucap Nicko. Tatapan gelisah kini terpancar di
Agenda sarapan pagi bersama pun gagal. Setelah pengakuan Nada yang membuat tubuh Eva tak kuasa untuk bangkit. Wanita berumur delapan puluh tahun itu, akhirnya dibawa menuju kamar tidur.“Nada, bisa kita bicara sebentar?” tanya Adrian dengan suara tegasnya.Betapa khawatirnya perasaan Adrian, ketika melihat kondisi ibu angkatnya yang harus kembali drop, akibat pengakuan Nada.“Bukannya Om harus segera menuju kantor? Ini sudah pukul sepuluh pagi,” celetuk Nada sambil melihat ke arah jam dinding.“Aku masih punya banyak waktu,” jawab Adrian cepat.“Oh, apa Om sekarang selalu bermalas-malasan dalam memimpin Victory?” sela Nada mencibir.Sontak Adrian mengerutkan kening, “Maksudmu apa, Nada?” tanyanya.Nada menarik napas pelan, lalu dengan tangan yang meremas kedua sisi tubuhnya dia berbicara, “Ini sudah jam masuk kantor. Walau pun Om memiliki banyak waktu, tapi tetap saja Om harus datang ke kantor tepat waktu.”Intonasi Nada dalam berbicara terdengar menekan. Dia berusaha untuk membangun
“Anak siapa itu?”Pertanyaan dari Keenan barusan membuat Adrian tersentak. Matanya tidak bisa berbohong, kalau pria berumur 39 tahun itu sedang merasakan kepanikan. “Dari mana Mas Keenan tahu kalau Nada sudah kembali? Dan ….” Adrian mendadak ragu untuk melanjutkan kalimatnya, “dan dari mana Mas tahu kalau Nada tidak pulang sendirian?” “Ada informasi dari luar. Sepertinya seseorang atau mungkin banyak, sedang memperhatikan Victory. Jelas saja, karena perusahaan ini sangat sukses di industri perhotelan dan penerbangan,” terang Keenan. “Informasi dari mana, Mas?” tanya Adrian ngotot. “Orang luar. Aku tidak tahu persis, karena aku mendapatkan informasi dari istriku, Gladys. Tapi aku berpesan padamu untuk berhati-hati Adrian. Karena bisa saja rivalmu sedang mengawasi dan membuat bom waktu yang entah kapan akan meledak.”Sebagai mentor yang baik, Keenan memang sering kali memberi nasehat pada Adrian. Dia sudah menganggap Adrian sebagai juniornya yang harus dibimbing. Selain itu Keenan s
“Me-menikah?” Adrian mendadak gagap.Setelah delapan tahun bersabar, akhirnya Adrian bisa mengantongi restu dari ayah Sindy. Sudah sejak lama Adrian mengusahakan hubungan mereka untuk segera direstui. Walau Adrian sudah menjabat menjadi CEO perusahaan terkenal sekali pun, Titan masih belum memberikan restu. Pasalnya pria itu tak ingin karir anaknya terhambat. Karena pada saat itu nama Sindy sedang naik daun. Selain itu, faktor Adrian yang hanya anak angkat, membuat Titan sedikit ragu.“Iya. Apa kamu tidak mau menikahi putri saya?” Pertanyaan tersebut segera disanggah oleh Adrian. “Tidak, Om. Tentu aku akan menikahi Sindy. Secepat yang kami bisa,” jawab Adrian dengan mantap. Binar bahagia tak hanya terlihat dari wajah Adrian. Sindy pun merasa sangat senang. Namun, di detik berikutnya raut wajah Sindy berubah. “Kenapa?” bisik Adrian, yang sadar dengan perubahan raut wajah kekasihnya itu. “Ah, i-itu … tapi bisakah kamu menunggu sedikit lagi, Mas?” Nada bicara Sindy terdengar pelan.
Mobil SUV berwarna putih kini melaju kencang menuju kediaman Eva. Adrian; orang yang ada di dalam mobil tersebut, meminta supirnya untuk tidak menemaninya kali ini. Setelah bertemu dengan Kiki; jurnalis yang memang sering mencari celah kekurangan para pebisnis. Adrian merasa harus segera menyelesaikan masalah yang sempat tertunda dengan Nada. Butuh waktu sekitar sembilan puluh menit bagi Adrian untuk sampai di kediaman ibu angkatnya.“Nada di mana, Mbak Ratna?” tanya Adrian yang saat kedatangannya disambut hangat oleh Ratna. “Di kamarnya, Mas. Mau saya panggilkan?” Adrian langsung menggeleng, dia melesat menuju kamar keponakannya. Pintu jati berwarna putih diketuk dua kali oleh Adrian, “Nada, bisa kita bicara sebentar?” tanyanya. Di dalam kamar, Nada yang sedang fokus pada ponselnya langsung mengerejap. Matanya langsung menatap ke arah pintu kamar.“Nada, ini Om. Kita harus bicara sebentar.” Adrian kembali memanggil Nada. Kini terdengar nada bicaranya sedikit memaksa. “Ma, mau a
Dengan alis yang hampir bertaut, Nada menatap layar ponselnya. Biasanya Nada tidak pernah mengangkat telepon dari nomor yang tidak terdaftar di kontaknya. Namun, entah kenapa sekarang dia merasa sedikit bimbang. “Siapa, Ma? Angkat saja,” ucap Deven. “Hah?” Nada menoleh pada anaknya, “oh, iya. Mama angkat telepon dulu sebentar, ya?” katanya meminta izin. Segera Nada mengusap layar ponselnya, lalu menempelkan tombol berwarna hijau. “Halo,” sapa Nada.“Halo, kamu Nada?” tanyanya dengan sedikit suara yang terdengar sewot.“Ya … tapi maaf ini dengan siapa?”“Aku Sisil. Kamu tahu, kan?” Nada mencoba mengingat-ingat temannya yang bernama Sisil.Terdengar suara desahan kasar dari seberang sana, “Huh, aku Sisil tunangan Nicko.”Seketika Nada mengerejap, lalu berkata, “Oh, iya. Ada apa?”Sebenarnya Nada belum pernah bertemu dengan tunangan Nicko ini. Namun, memang beberapa kali Nicko pernah menceritakan tentang tunangannya. “Bisa kita bertemu? Ada yang ingin aku bicarakan. Aku tunggu kamu
Mana mungkin Deven tak paham dengan obrolan orang dewasa ini. Walau dirinya masih kecil, tapi Deven tahu kalau dia sedang dibicarakan.“Deven, itu cuman salah paham saja, Sa—“Belum juga Nada selesai mengucapkan kalimatnya. Nicko langsung menyela, “Iya.”Untuk ketiga kalinya; dalam waktu yang kurang dari satu jam, Nada kembali dibuat terkejut. “Nicko!”“Kalau Deven memang mau menganggap Om adalah papa Deven, tidak masalah. Om akan jadi papa Deven,” terang Nicko sambil tersenyum.Deven menarik kedua sudut bibirnya kaku, lalu dia hanya mengangguk.“Baiklah, kalau begitu ayo kita pulang,” ucap Deven.Nicko mengangguk dan langsung menyalakan mobil. Sedangkan Nada, dia masih mematung, sembari memandang Nicko dan Deven bergantian.Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka sampai di rumah. Deven langsung turun dari mobil dan berlari menuju rumah besar itu. “Deven!” Nada memanggil anak laki-lakinya, tapi Deven tak menggubris. Dia tetap berlari memasuki rumah. Nada mendesah, dia bisa menduga ap
Nada berdiri di depan pintu apartemen milik Adrian. Sepanjang jalan, Nada mencoba untuk meneguhkan dan mengumpulkan keberanian untuk bertemu dengan Adrian, di tempat yang dulu hampir setiap hari dikunjunginya. Jari telunjuk Nada menekan tombol bel. Sedikit membutuhkan waktu lebih lama, sampai akhirnya pintu itu dibuka.“Nada, ada apa kamu malam-malam ke sini?” tanya Adrian yang membukakan pintu.“Ada yang ingin aku bicarakan dengan Om,” jawab Nada cepat. Namun, sedetik kemudian dia melihat sosok wanita di belakang Adrian. “Kenapa tidak kamu persilakan masuk dulu, Mas,” ucap Sindy, yang menghampiri Adrian, “halo, Nada sudah lama tidak berjumpa.” Sindy menyapa Nada dengan sebuah senyuman manis. Tentu saja Nada mengenal wanita yang kini sedang memeluk Adrian dari belakang. Ah, rasanya mual sekali melihat wanita itu bergelayut manja pada pamannya. “Aku tidak mau berbasa-basi. Lagi pula kalian tidak ingin aku ganggu lama-lama, bukan?” kata Nada, yang sama sekali tidak berniat untuk mem