Share

8. PULANG

Pertanyaan yang diajukan oleh Deven, sungguh di luar nalar. Bahkan Nada sampai mematung—hampir satu menit lamanya.

“Deven,” panggil Nada sambil mengelus puncak kepala putranya, “bukannya Mama sudah bilang perihal itu? Papamu sudah di Surga, Nak,” terang Nada yang tentu saja mengucapkan sebuah kebohongan.

Sakit sebenarnya, ketika dia harus berbohong pada anaknya sendiri. Namun, bagaimana lagi, Nada sudah bertekad untuk tidak memberi tahu siapa pun tentang ayah biologis Deven. Apalagi pada anaknya sendiri.

“Iya, Ma, i know. Tapi bukannya Indonesia juga surga? Aku baca di internet, kalau Indonesia itu serpihan surga. Berarti Papaku ada di sana, kan?”

Mata Nada sontak membulat. Lagi, Nada dibuat tak habis pikir dengan jawaban dari putranya itu. Sepertinya memang sedikit sia-sia Nada berbohong.

“Konteksnya berbeda, Sayang. Sudah, bagaimana kalau kita makan malam saja? Tadi Mama lihat Tante Ratna sedang memasak pasta kesukaan Deven.”

Mendadak raut wajah Deven berubah. Anak itu merasa tidak puas dengan jawaban dari sang ibunda.

“Baiklah,” timpal Deven mengalah.

Melihat respon anaknya yang—tentu saja—kecewa. Membuat sudut hati Nada terasa dicubit. Namun, apa daya, Nada tidak bisa berkata jujur. Karena itu pasti akan semakin melukai hati Deven.

***

Nada sedang merapikan barang-barangnya. Satu persatu, barangnya yang masih dianggap penting dia masukkan ke dalam kardus.

Usaha itu tak sendirian dilakukan oleh Nada. Dia dibantu oleh Ratna, agar pekerjaannya cepat selesai. Sedangkan Deven, dia sedang ikut les berenang.

Selang beberapa saat, ponsel Nada berdering. Perempuan itu pun segera meraih ponsel yang ia simpan di atas nakas.

“Halo, Nek?” sapa Nada saat panggilan tersebut diangkatnya.

“Halo, Sayang. Kamu sedang apa, Nada?” tanya Eva.

“Aku sedang merapikan barang-barangku, Nek. Nenek bagaimana kabarnya? Sudah sehat?” tanya Nada.

“Sehat,” jawab Eva cepat.

Wanita itu ternyata menderita penyakit stroke dan beberapa penyakit yang lain. Untung saja Eva segera mendapatkan penanganan yang tepat. Sehingga bisa meminimalisir risiko terburuknya.

“Kamu jadi pulang, kan?” tanya Eva.

“Iya, Nek. Minggu depan aku kembali ke Indonesia.”

Benar. Setelah pergolakan batin yang dialami Nada, akhirnya dia memutuskan untuk pulang. Tentu ini juga karena dukungan dan bujukan dari Ratna.

“Syukurlah. Nenek senang mendengarnya. Terima kasih, ya, Nada karena sudah mau pulang.”

Terdengar suara Eva yang memancarkan aura bahagia. Kini wanita itu tidak sendirian lagi di rumah. Walau memang, sebenarnya Eva ditemani oleh ART-nya, tapi tetap saja dia tidak bisa bercerita banyak hal dengan mereka.

Adrian, anak angkatnya, memilih untuk tetap tinggal di apartemennya. Walau jika hari libur, anak angkatnya itu selalu menginap dan menemani Eva.

“Iya, Nek. Nenek harus sehat, ya,” pesan Nada.

“Pasti. Mendengar berita cucuku hendak pulang saja menambah presentase kesehatan Nenek.”

Mendengar jawaban dari Eva, membuat Nada tertawa kecil.

“Baiklah, kalau begitu nanti biar Adrian yang menjemputmu di Bandara,” kata Eva.

“Ah, tidak usah, Nek. Aku sudah meminta tolong Nicko untuk menjemputku nanti,” timpal Nada buru-buru.

“Tapi ….”

“Sudah tidak apa-apa, Nek. Nicko sudah menyanggupi. Lagi pula Om Adrian pasti sibuk dengan pekerjaannya. Aku tidak mau mengganggunya, Nek,” papar Nada.

Sebenarnya ucapan yang baru saja keluar dari mulut Nada secara spontan itu tidaklah benar. Faktanya dia belum menghubungi Nicko sama sekali.

Namun, begitu, Nada harus mencari alibi agar di hari pertamanya menginjakkan kaki di negara asal, dia tidak bertemu dengan orang yang sudah membuat Nada harus mengasingkan diri di tempat ini.

“Nada.” Ratna memanggil dan mendekat ke arahnya.

“Ya?” sahut Nada sambil menoleh pada wanita itu.

“Bagaimana dengan Deven?”

Terakhir Ratna menyanyikan hal itu, Nada tak menjawab. Bagaimana pun, pasti keluarganya di Indonesia akan merasa terkejut dengan kehadiran anak laki-laki itu.

“Tidak apa-apa, Mbak. Akui saja kalau Deven anakku.”

Jujur Nada memang sebelumnya merasa pusing. Namun, semakin dia menyimpan kebohongan lainnya, maka kebohongan itu akan semakin besar.

“Bagaimana kalau mereka menanyakan siapa ayahnya?”

“Tidak usah dijawab. Kalau mereka bertanya pada Mbak, bilang saja untuk tanyakan langsung padaku.“

Berbicara tentang sosok ayah biologis Deven, terkadang membuat emosi Nada sedikit tersulut.

Ratna menggeleng.

“Sudahlah, Mbak, tidak perlu mengkhawatirkan anakku. Biar dia jadi tanggung jawabku,” pungkas Nada.

Menurut dengan ucapan Nada, Ratna pun akhirnya merapatkan bibir. Kemudian dia berbalik, kembali mengerjakan pekerjaannya yang tertunda sebentar.

***

Hari kepulangan Nada pun tiba. Mereka sampai di bandara internasional Soekarno-Hatta pukul dua belas malam, setelah melakukan penerbangan selama 29 jam.

“Nada!” seru seorang pria dengan perawakan jangkung juga putih. Pria itu melambaikan tangannya pada Nada.

Dengan cepat Nada menoleh dan menghampiri pria tersebut. Begitupun dengan Ratna dan Deven yang sedang digandeng olehnya.

“Sudah menunggu lama?” tanya Nada pada pria tersebut.

“Tidak. Sekitar enam puluh menit,” jawabnya sambil meraih barang bawaan milik Nada.

Nada mendesah, “Itu cukup lama, Nick. Terima kasih, ya, kamu sudah mau menjemputku dan menunggu lama. Maaf aku selalu merepotkan kamu.”

Pria itu tersenyum pada Nada.

“Kamu ini seperti orang yang baru pertama kali mengenalku saja. Sudah Nada, tenang saja. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan,” paparnya.

“Mama, Om itu siapa?” tanya Deven yang tiba-tiba menarik bagian bawah baju milik Nada.

Seketika Nada menoleh pada anaknya.

“Oh, ini Om Nicko, Sayang. Dulu Deven pernah video call sama dia,” terang Nada.

Seketika Nicko berjongkok agar sejajar dengan anak laki-laki itu.

“Halo, Deven. Salam kenal, aku Om Nicko. Kita beberapa kali pernah melakukan panggilan video.” Nicko memperkenalkan diri pada Deven.

Memang beberapa kali—saat Nicko menghubungi Nada—anak laki-laki itu selalu muncul dan ikut mengobrol dengannya.

“Oh, iya. A-aku Deven.”

Tiba-tiba Deven merasa canggung ketika bertemu dengan Nicko. Jujur saja ini adalah kali pertama bagi Deven berbicara dengan seorang laki-laki dewasa dan merupakan teman ibunya.

“Sepertinya kita harus segera menuju rumah. Sudah larut malam sekali,” ucap Nada mengingatkan.

Waktu benar-benar sudah tengah malam. Nada yakin kalau neneknya itu sudah tidur. Dia khawatir jika dirinya datang menjelang dini hari, neneknya akan terganggu.

Nicko pun langsung bangkit, lalu dia meraih dua koper milik Nada dan Deven.

“Oke, baiklah kita segera pulang. Ayok ikut aku ke mobil.”

Nicko menyanggupi permintaan Nada untuk menjemputnya. Sesibuk apa pun laki-laki itu pasti selalu menyempatkan diri untuk Nada. Mereka memang tidak memiliki status apa pun sekarang. Namun, bagi Nicko, Nada adalah orang yang harus dia lindungi.

Mobil hitam milik Nicko pun terparkir di depan halaman rumah Eva. Kemudian dia membuka seatbelt dan melihat ke belakang.

“Tidur?” tanya Nicko yang melihat Deven sedang tertidur di pangkuan ibunya.

Nada pun mengangguk.

“Ya sudah, nanti biar aku yang bawa dia. Mbak Ratna boleh saya minta tolong untuk membawakan barang-barangnya, kan?” Nicko bertanya pada Ratna yang duduk di sampingnya.

“Iya, Nicko, nanti Mbak yang bawa barangnya,” jawab Ratna.

Mereka pun segera keluar dari mobil, lalu memasuki rumah besar itu. Kedatangan mereka pun disambut dengan hangat oleh para asisten rumah tangga.

Nicko segera membaringkan Deven di kamar Nada. Sedangkan perempuan itu sedang merapikan barang bawaannya.

“Kalau begitu aku pulang, ya,” pamit Nicko. Waktu pun sudah menunjukkan pukul satu malam.

Nada pun segera mengantarkan Nicko keluar. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti, ketika melihat sosok pria yang baru saha keluar dari kamar lainnya.

Mendadak Nada bersembunyi di belakang Nicko. Tangannya langsung meremas kemeja bagian belakang laki-laki itu.

“Nada? Kamu sudah datang?” tanya pria yang baru saja keluar dari kamarnya itu.

BERSAMBUNG ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status