Share

9. DIA ANAKKU

Tangan Nada gemetar sekarang, melihat sosok pamannya yang baru saja keluar dari kamar. Perawakan Adrian terlihat berbeda dari enam tahun lalu.

Badannya tegap, garis wajahnya terlihat sangat tegas. Membuat dirinya terlihat lebih tampan dari kali terakhir Nada melihatnya. Bahkan auranya sekarang sudah berubah menjadi dominan dan karismatik.

Secepat itukah fisik Adrian berubah?

“Selamat malam, Om,” ucap Nicko memecah ketegangan yang bisa dia rasakan.

Tangan laki-laki itu kini langsung meraih tangan Nada. Mengusap punggung tangan dengan ibu jarinya.

“Malam. Kamu mau pulang, Nick?” tanya Adrian dengan suaranya yang berat dan tegas .

“Iya, Om. Saya mohon izin pamit pulang,” jawabnya dengan sopan.

Namun, Nada malah semakin mencengkeram pegangan tangan Nicko. Mulutnya itu masih bungkam, dan bahkan belum menjawab sapaan dari paman angkatnya.

Nicko pun segera membalikkan badan.

“Kembali saja ke kamarmu, Nada. Tidak usah mengantarku keluar,” ucap Nicko.

Tatapan gelisah kini terpancar di kedua bola mata kecokelatan milik Nada. Ternyata walau sudah enam tahun berlalu, Nada masih belum bisa bersikap santai dengan pamannya. Bayangan yang telah samar, perlahan muncul, meminta Nada untuk kembali mengingatnya.

“Ayo kembali ke kamar. Apa perlu aku antar kamu?”

Nicko tahu betul dengan perubahan sikap Nada yang tiba-tiba. Pria itu tentu masih mengingat betapa hancurnya perempuan ini saat tragedi enam tahun lalu.

“Tarik napas, buang pelan-pelan. Lupakan, jangan kamu coba untuk mengingatnya lagi. Selama ini kamu sudah berjuang dan berusaha untuk tetap bertahan. Jangan biarkan enam tahun pelarianmu jadi sia-sia,” bisik Nicko mencoba menguatkan perempuan yang ada di hadapannya.

Perlahan Nada melakukan apa yang diinstruksikan oleh Nicko.

“Kamu baik-baik saja, Nada,” batin Nada mencoba memberikan afirmasi positif untuk dirinya sendiri.

“Kenapa? Apa Nada sedang tidak enak badan?” tanya Adrian menyela.

Sedari tadi Adrian memperhatikan Nada dan juga Nicko. Dia tahu kalau sebenarnya mereka sekarang sudah tidak memiliki hubungan apa pun lagi. Namun, dari sikap mereka, Adrian tak yakin kalau sebenarnya mereka sama sekali tidak memiliki hubungan.

“Ah, iya, Om. Tadi di mobil Nada bilang sedikit pusing. Mungkin efek dari penerbangan yang lebih dari sehari,” jawab Nicko cepat.

Merasa khawatir dengan kondisi Nada, Adrian pun mendekat. Namun, dalam momen yang sama, Nada langsung memundurkan langkahnya.

“Aku akan kembali ke kamar dan beristirahat,” ucap Nada cepat.

“Iya, kembalilah ke kamar.” Nicko mempersilakan Nada. Dengan cepat Nada berbalik dan langsung pergi ke kamarnya.

Sedangkan Adrian, masih mematung dengan beberapa pertanyaan yang kini muncul di benaknya.

“Kalau begitu saya pamit, Om,” kata Nicko meminta izin.

Adrian pun hanya mengangguk. Membiarkan laki-laki itu pergi. Sedangkan dirinya langsung melangkah menuju dapur.

Alasan dia terbangun, karena merasa tenggorokannya kering. Kemudian dia sedikit terkejut ternyata keponakannya sudah pulang.

Saat Adrian melihat Nada untuk pertama kali setelah enam tahun. Dia merasa keponakannya benar-benar berbeda. Tidak ada wajah lugu dan polos terpancar dari perempuan itu.

“Wajarlah, dia sudah dewasa,” gumam Adrian.

Entah kenapa, ada sisi di mana Adrian merindukan Nada yang selalu bersikap manja padanya. Sepertinya Nada sudah tidak akan bersikap seperti itu lagi pada Adrian.

Bahkan respon keponakannya tadi terlihat seperti menghindar dari Adrian.

“Ah, kenapa sampai sekarang sikapnya sangat dingin padaku?” ucap Adrian sambil memijit kening.

Selama enam tahun, Adrian terus memiliki pertanyaan yang sama. Selama enam tahun juga dia terus mencari jawaban, tapi tak kunjung menemukannya.

Akhirnya setelah Adrian menghabiskan segelas air mineral. Pria yang saat ini sudah berumur 39 tahun itu langsung kembali menuju kamarnya.

***

Pagi hari, Nada sudah bangun dan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan neneknya. Sejujurnya, Nada sendiri tidak bisa tidur, karena terus merasa gelisah.

Untung saja sekarang ada Deven. Hanya dengan menatap dan memeluk malaikat kecil itu, hati dan perasaan Nada bisa lebih tenang.

“Mama,” panggil Deven dengan suara parau.

“Ya?” sahut Nada yang sedari tadi sedang menatap malaikat kecilnya itu.

“Badanku masih terasa sakit,” keluhnya sambil beranjak dari tidur dan sekarang dalam posisi duduk.

“Sebelah mana yang sakit? Sini Mama pijat,” tutur Nada yang kemudian duduk di belakang Deven.

“Ini, Ma.” Anak itu menunjuk ke bagian pundaknya.

Nada memijat pelan pundak anaknya. Dia berusaha untuk terlihat tenang, walau hatinya sudah tak karuhan.

Apalagi di rumah ini ada Adrian. Pastilah—baik Eva ataupun Adrian—mereka akan mempertanyakan siapa Deven. Walau Nada sudah tahu akan menjawab apa, perasaan gelisah masih tetap mendominasi hatinya.

“Nada,” panggil seorang perempuan dari luar sana.

Dengan cepat Nada menoleh, itu adalah suara Ratna. Dia pun segera bangkit dan membukakan pintunya.

“Tiga puluh menit lagi waktunya sarapan. Apa kamu dan Deven sudah siap? Nyonya dan Mas Adrian ingin sarapan pagi denganmu,” terang Ratna.

Nada menelan ludahnya, lalu menarik kedua sudut bibitnya tipis. Nyonya yang Ratna maksud tentu saja Eva.

“Baik, Mbak. Deven baru bangun, aku bersiap dulu. Nanti dalam tiga puluh menit kami sudah siap di ruang makan,” terang Nada.

Setelah itu Ratna pergi, lalu Nada segera masuk kembali ke kamar. Meminta Deven untuk bersiap karena akan sarapan pagi.

“Nanti di sana akan ada nenek Eva dan juga Om Adrian. Kamu jangan lupa untuk ucapkan salam, ya,” pesan Nada pada malaikat kecilnya.

“Yes, Mama,” sahut Deven yang kini sudah mengenakan pakaian yang rapi. Walau wajahnya masih terlihat sangat lelah.

“Ayok kita ke ruang makan,” ajaknya.

Dengan perasaan gelisah yang hampir membuncah, Nada melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Dua hal yang sedang Nada khawatirkan. Pertama tentang keberadaan Adrian. Kedua tentang keberadaan Deven.

Namun begitu, Nada berusaha untuk tetap tenang. Tidak ingin memperlihatkan titik terlemahnya.

“Selamat pagi, Nenek,” sapa Nada sesaat dirinya sampai di ruang makan.

Kedua mata cokelatnya itu bisa melihat sang nenek yang duduk di bagian depan tengah. Kemudian di sisi Eva, terdapat Adrian yang sedang sibuk menatap layar tabletnya. Akan tetapi, dia tidak ingin mempedulikan keberadaan Adrian.

Mendengar suara Nada menyapa namanya, Eva pun segera menoleh. Kemudian seulas senyuman bahagia terukir di pipinya.

“Selamat pagi Nada, Sayang,” sambut Eva dengan hangat, “kemarilah Nenek sangat merindukanmu,” pintanya.

Nada pun segera menghampiri Eva, lalu menyambut pelukan dari neneknya itu.

“Kamu nampak sangat sehat, Sayang,” ucap Eva sambil mengamati sosok cucunya.

Nada pun tersenyum. Dia merasa perhatian Eva masih fokus padanya.

“Iya, Nek. Nenek juga harus sehat seperti aku, ya.”

Sedetik kemudian, fokus Eva pun teralihkan. Matanya itu mendapati seorang anak laki-laki yang sedang berdiri di belakang Nada. Wajah Eva nampak bingung, mempertanyakan siapa sosok anak kecil itu.

“Ah, iya.” Nada terkesiap, lalu melangkah mundur mendekat pada anaknya, “Sayang, ayo perkenalkan diri,” pinta Nada.

Jangan ditanya bagaimana kondisi jantung Nada sekarang. Sudah tentu seperti tabuhan irama musik drum yang ditabuh tak kenal tempo.

“Selamat pagi, Nenek dan Om. Perkenalkan aku Deven,” ucap anak kecil itu.

Baik Eva maupun Adrian, mereka sama-sama memperhatikan Deven dengan tatapan bingung.

“Dia siapa Nada?”

Tanpa membalas sapaan dari Deven, Eva langsung mempertanyakan siapa gerangan anak kecil yang tampak lugu tersebut.

“Deven ini anakku, Nek.”

Bagaikan sambaran petir yang muncul di pagi hari. Eva dan Adrian sama-sama membulatkan matanya.

“A-anakmu?” ucap Eva dengan mulut menganga.

BERSAMBUNG ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Junitje Maariwuth
bagus ceritanya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status