Share

4. RENCANA NADA

Tubuh Nada bergetar hebat, tatkala sepasang mata cokelatnya mendapati sosok Adrian. Bayangan kejadian malam itu kembali memaksa berputar di benaknya.

“Lupakan, Nada,” mohonnya pada diri sendiri.

Tangan Nada kini sedang memukul kepalanya, berusaha menghentikan setiap momen mengerikan yang yang terjadi malam itu.

Dua bulan ini Nada berpikir dalam keheningan. Dia paham betul, kalau pamannya saat itu sedang dalam kondisi mabuk. Apalagi melihat sikap pamannya sekarang, yang seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Nada sedikit yakin kalau pamannya itu memang menganggap kejadian itu hanya bunga tidurnya.

Namun, tetap saja, hati Nada berdenyut ketika harus mengakui, bahwa faktanya sang pamanlah yang merenggut hal paling berharga dalam hidup Nada.

“Nada.”

Suara itu, suara laki-laki yang barusan memanggilnya, membuat jiwa Nada kembali terguncang. Dia langsung menutup kedua telinganya rapat-rapat.

Sedangkan di luar, Adrian berdiam diri tepat di pintu kamar sang keponakannya.

Mendengar perkataan Nicko barusan, membuat Adrian merasa sedikit kesal. Dia berusaha untuk bisa bertemu dengan keponakannya itu.

“Nada, Om bawakan kue kesukaanmu,” bujuk Adrian dari luar.

Tangannya menenteng sebuah bingkisan berwarna putih.

Semenjak Adrian pulang ke Indonesia empat tahun lalu. Dia sudah sangat dekat dengan Nada. Bahkan sebenarnya kedekatan itu sudah tercipta sejak Nada masih kecil.

Namun, baru kali ini Adrian mendapati perlakuan Nada yang berbeda 180 derajat. Keponakannya itu seolah menghindar darinya.

“Sudahlah, Adrian. Keponakanmu itu memang tidak ingin bertemu dengan siapa pun.”

Suara Eva mengejutkan Adrian yang sedang kebingungan.

“Tapi dia baru saja bertemu Nicko,” protes Adrian.

Eva mendesah, “Kamu seperti tidak pernah remaja saja. Nicko itu pacarnya, wajar jika Nada hanya ingin bertemu dengan pujaan hatinya. Bukankah kamu pun begitu pada Sindy?”

Entah kenapa setiap Eva menyebut nama Sindy, nada ketus terdengar sangat jelas keluar dari mulut ibu angkatnya itu.

“Tapi biasanya Nada tidak seperti ini padaku, Ma.”

Kepala Eva mengangguk, “Mama tahu, Adrian. Nada pun tidak pernah seperti ini pada Mama. Asal kamu tahu, anak itu hanya akan keluar jika jam makan sudah tiba. Begitu saja Mama sudah bersyukur,” terang wanita yang umurnya sudah lebih dari tujuh puluh tahun.

Adrian menyugar rambutnya, entah kenapa perasaannya sangat gusar melihat sang keponakan bersikap tidak biasa.

“Apa kata dokter Febby?” tanya Adrian tiba-tiba.

“Nada tidak mau bercerita apa pun, sekali pun pada dokternya. Tapi dugaan dari Febby, ada sesuatu yang memicu traumanya.”

“Seperti?”

Lagi, Eva mendesah, anaknya ini sepertinya sedang banyak pikiran. Sehingga hal yang kecil seperti ini saja tidak bisa ia pahami.

“Haruskah Mama jelaskan? Bukannya kamu sudah tahu, kalau dulu pernah ada kejadian buruk pada keponakanmu itu?”

“Lalu siapa yang berani melakukan itu pada Nada, Ma? Sampai traumanya harus kembali muncul. Katakan, Adrian akan temui dia sekarang juga.”

Nada bicara Adrian terdengar sedikit meninggi.

“Mana Mama tahu, Adrian. Anak itu saja enggan membuka mulutnya sama sekali.”

“Apakah Nicko?” Adrian tiba-tiba menuduh.

Eva menggeleng, kepalanya sedikit perasa sakit sekarang.

“Kalau Nicko, tidak mungkin keponakanmu itu mau untuk menemuinya. Sudahlah, berdoa saja kalau Nada bisa kembali ceria seperti sedia kala. Semoga saja dengan kedatangan Nicko barusan, kondisi Nada semakin membaik,” pungkas Eva, yang kemudian berlalu pergi.

Sedangkan Adrian masih diam mematung di tempat. Pikirannya mencoba menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi pada keponakannya.

Tiba-tiba saja, sebuah bayangan yang tak terduga mendesak keluar dari ingatannya. Bayangan dari mimpi yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.

“Bukan saatnya kamu membayangkan mimpi gilamu itu, Adrian!”

Setelah kejadian itu, tak terasa, waktu keberangkatan Nada ke tempat di mana dia harus menuntut ilmu pun tiba.

“Mbak Ratna harus ikut denganmu, Nada. Sebagai pertukaran sepadan dengan persyaratan yang kamu ajukan,” tegas Eva di hari keberangkatan cucunya ke luar negeri.

Nada memejamkan matanya, dia merasa sedikit khawatir.

“Nek, ayolah, Nada bukan anak kecil lagi,” pinta Nada.

“Tapi Nenek khawatir, apalagi sikapmu ini mendadak berubah,” kata Eva.

Nada mendesah, “Aku baik-baik saja. Kemarin aku lagi pusing aja, Nek. Aku ….” Nada menjeda kalimatnya. Gadis itu mencoba mencari alibi.

“Aku sebelumnya bertengkar dengan Nicko. Makanya setelah Nicko datang ke rumah, sikapku kembali sepeti semula, kan?”

Ucapan Nada barusan terdengar sangat meyakinkan.

“Tapi tetap saja, Nenek khawatir kamu collapse lagi seperti kemarin. Apalagi syaratmu yang meminta Nenek untuk tidak memberitahu pamanmu, membuat Nenek semakin khawatir. Karena bagaimana pun, walimu saat ini adalah pamanmu sendiri.”

Mendengar penjelasan dari Eva, membuat hati Nada berdenyut nyeri. Nyatanya orang yang dianggap pelindung, malah orang yang merusak masa depan gadis itu.

“Aku sudah lebih dari dua puluh tahun, Nek. Aku tidak butuh wali!” tegas Nada yang emosinya sedikit terpancing.

“Baik kalau begitu, Nenek tidak akan mengizinkanmu untuk pergi.”

Mata Nada membulat, ketika mendengar keputusan sepihak dan mendadak dari sang nenek.

“Nek.” Nada mencoba memohon.

“Berangkat dengan Ratna, atau tidak sama sekali.”

Tidak bisa! 

Nada tidak bisa jika tidak berangkat. 

Niatnya untuk pergi jauh adalah untuk menata kembali hatinya. Dia ingin menghindari Adrian, agar ketakutannya ini bisa hilang seiring dengan berjalannya waktu.

Selain itu, ada hal yang sangat ingin Nada rahasiakan dari semua orang yang ada di rumah ini.  “Aku harus cari cara,” ucapnya dalam hati.

BERSAMBUNG ....

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status