Tubuh Nada bergetar hebat, tatkala sepasang mata cokelatnya mendapati sosok Adrian. Bayangan kejadian malam itu kembali memaksa berputar di benaknya.
“Lupakan, Nada,” mohonnya pada diri sendiri.
Tangan Nada kini sedang memukul kepalanya, berusaha menghentikan setiap momen mengerikan yang yang terjadi malam itu.
Dua bulan ini Nada berpikir dalam keheningan. Dia paham betul, kalau pamannya saat itu sedang dalam kondisi mabuk. Apalagi melihat sikap pamannya sekarang, yang seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Nada sedikit yakin kalau pamannya itu memang menganggap kejadian itu hanya bunga tidurnya.
Namun, tetap saja, hati Nada berdenyut ketika harus mengakui, bahwa faktanya sang pamanlah yang merenggut hal paling berharga dalam hidup Nada.
“Nada.”
Suara itu, suara laki-laki yang barusan memanggilnya, membuat jiwa Nada kembali terguncang. Dia langsung menutup kedua telinganya rapat-rapat.
Sedangkan di luar, Adrian berdiam diri tepat di pintu kamar sang keponakannya.
Mendengar perkataan Nicko barusan, membuat Adrian merasa sedikit kesal. Dia berusaha untuk bisa bertemu dengan keponakannya itu.
“Nada, Om bawakan kue kesukaanmu,” bujuk Adrian dari luar.
Tangannya menenteng sebuah bingkisan berwarna putih.
Semenjak Adrian pulang ke Indonesia empat tahun lalu. Dia sudah sangat dekat dengan Nada. Bahkan sebenarnya kedekatan itu sudah tercipta sejak Nada masih kecil.
Namun, baru kali ini Adrian mendapati perlakuan Nada yang berbeda 180 derajat. Keponakannya itu seolah menghindar darinya.
“Sudahlah, Adrian. Keponakanmu itu memang tidak ingin bertemu dengan siapa pun.”
Suara Eva mengejutkan Adrian yang sedang kebingungan.
“Tapi dia baru saja bertemu Nicko,” protes Adrian.
Eva mendesah, “Kamu seperti tidak pernah remaja saja. Nicko itu pacarnya, wajar jika Nada hanya ingin bertemu dengan pujaan hatinya. Bukankah kamu pun begitu pada Sindy?”
Entah kenapa setiap Eva menyebut nama Sindy, nada ketus terdengar sangat jelas keluar dari mulut ibu angkatnya itu.
“Tapi biasanya Nada tidak seperti ini padaku, Ma.”
Kepala Eva mengangguk, “Mama tahu, Adrian. Nada pun tidak pernah seperti ini pada Mama. Asal kamu tahu, anak itu hanya akan keluar jika jam makan sudah tiba. Begitu saja Mama sudah bersyukur,” terang wanita yang umurnya sudah lebih dari tujuh puluh tahun.
Adrian menyugar rambutnya, entah kenapa perasaannya sangat gusar melihat sang keponakan bersikap tidak biasa.
“Apa kata dokter Febby?” tanya Adrian tiba-tiba.
“Nada tidak mau bercerita apa pun, sekali pun pada dokternya. Tapi dugaan dari Febby, ada sesuatu yang memicu traumanya.”
“Seperti?”
Lagi, Eva mendesah, anaknya ini sepertinya sedang banyak pikiran. Sehingga hal yang kecil seperti ini saja tidak bisa ia pahami.
“Haruskah Mama jelaskan? Bukannya kamu sudah tahu, kalau dulu pernah ada kejadian buruk pada keponakanmu itu?”
“Lalu siapa yang berani melakukan itu pada Nada, Ma? Sampai traumanya harus kembali muncul. Katakan, Adrian akan temui dia sekarang juga.”
Nada bicara Adrian terdengar sedikit meninggi.
“Mana Mama tahu, Adrian. Anak itu saja enggan membuka mulutnya sama sekali.”
“Apakah Nicko?” Adrian tiba-tiba menuduh.
Eva menggeleng, kepalanya sedikit perasa sakit sekarang.
“Kalau Nicko, tidak mungkin keponakanmu itu mau untuk menemuinya. Sudahlah, berdoa saja kalau Nada bisa kembali ceria seperti sedia kala. Semoga saja dengan kedatangan Nicko barusan, kondisi Nada semakin membaik,” pungkas Eva, yang kemudian berlalu pergi.
Sedangkan Adrian masih diam mematung di tempat. Pikirannya mencoba menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi pada keponakannya.
Tiba-tiba saja, sebuah bayangan yang tak terduga mendesak keluar dari ingatannya. Bayangan dari mimpi yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.
“Bukan saatnya kamu membayangkan mimpi gilamu itu, Adrian!”
Setelah kejadian itu, tak terasa, waktu keberangkatan Nada ke tempat di mana dia harus menuntut ilmu pun tiba.
“Mbak Ratna harus ikut denganmu, Nada. Sebagai pertukaran sepadan dengan persyaratan yang kamu ajukan,” tegas Eva di hari keberangkatan cucunya ke luar negeri.
Nada memejamkan matanya, dia merasa sedikit khawatir.
“Nek, ayolah, Nada bukan anak kecil lagi,” pinta Nada.
“Tapi Nenek khawatir, apalagi sikapmu ini mendadak berubah,” kata Eva.
Nada mendesah, “Aku baik-baik saja. Kemarin aku lagi pusing aja, Nek. Aku ….” Nada menjeda kalimatnya. Gadis itu mencoba mencari alibi.
“Aku sebelumnya bertengkar dengan Nicko. Makanya setelah Nicko datang ke rumah, sikapku kembali sepeti semula, kan?”
Ucapan Nada barusan terdengar sangat meyakinkan.
“Tapi tetap saja, Nenek khawatir kamu collapse lagi seperti kemarin. Apalagi syaratmu yang meminta Nenek untuk tidak memberitahu pamanmu, membuat Nenek semakin khawatir. Karena bagaimana pun, walimu saat ini adalah pamanmu sendiri.”
Mendengar penjelasan dari Eva, membuat hati Nada berdenyut nyeri. Nyatanya orang yang dianggap pelindung, malah orang yang merusak masa depan gadis itu.
“Aku sudah lebih dari dua puluh tahun, Nek. Aku tidak butuh wali!” tegas Nada yang emosinya sedikit terpancing.
“Baik kalau begitu, Nenek tidak akan mengizinkanmu untuk pergi.”
Mata Nada membulat, ketika mendengar keputusan sepihak dan mendadak dari sang nenek.
“Nek.” Nada mencoba memohon.
“Berangkat dengan Ratna, atau tidak sama sekali.”
Tidak bisa!
Nada tidak bisa jika tidak berangkat.
Niatnya untuk pergi jauh adalah untuk menata kembali hatinya. Dia ingin menghindari Adrian, agar ketakutannya ini bisa hilang seiring dengan berjalannya waktu.
Selain itu, ada hal yang sangat ingin Nada rahasiakan dari semua orang yang ada di rumah ini. “Aku harus cari cara,” ucapnya dalam hati.
BERSAMBUNG ....
“Mbak, boleh tolong pijat tengkuk leherku sebentar?” pinta Nada pada asisten rumah tangganya.“Boleh, Nada.”Dengan sigap Ratna menghampiri Nada dan segera memijit pelan tengkuknya. Kini mereka sudah sampai di Amerika dan sedang berada di apartemennya.“Mau Mbak belikan obat? Sepertinya kamu masuk angin, Nada.”Dengan cepat gadis itu menggeleng, “Tidak usah, Mbak. Dipijat sebentar sama dibalur dengan minyak hangat pasti sembuh,” jawabnya.Ratna mengangguk, walau dalam hati dia merasa sedikit ada yang aneh dari Nada.Sejak di pesawat Nada memang sering bolak-balik ke toilet. Ratna perhatikan gadis itu sepertinya sedang tidak merasa nyaman dengan perutnya. Namun, jauh dari sebelum itu, beberapa kali Ratna pernah mendengar kalau Nada sering sekali muntah di kamar mandinya.“Nad, kamu tidak melakukan hal aneh dengan Nicko, kan?”Tiba-tiba saja Ratna bertanya hal demikian. Instingnya sebagai perempuan begitu kuat.Nada menoleh sedikit ke arah belakang.“Hal aneh apa maksud, Mbak?”Dengan j
“Mbak, tolong jangan katakan apa pun, kalau Om Adrian bertanya tentangku,” pinta Nada yang terlihat sangat panik.Ratna baru saja mendapati panggilan dari anak angkat Eva. Dia pun segera mengangkat panggilan tersebut, sambil mata sembabnya terus memperhatikan Nada.“Halo, Mas,” sapa Ratna pada Adrian.“Mbak Ratna, apa benar Nada dan Mbak sedang di luar negeri?” tanya Adrian tanpa berbasa-basi.“Iya, Mas. Kenapa Mas Adrian bisa tahu?” Kini Ratna kembali melempar pertanyaan.Sedangkan Nada yang sedang berada di hadapan Ratna, menunjukkan ekspresi wajah yang harap-harap cemas.“Mama yang memberi tahuku. Kalau boleh tahu, Nada berkuliah di mana?” tanya pria itu lagi.Ratna tak segera menjawab, dia semakin menatap intens pada Nada. Seolah tahu dengan gestur dari Ratna, Nada pun menggeleng.“Maaf, Mas, tapi Nada meminta saya untuk tidak memberi tahu siapa pun. Sepertinya Nada tidak ingin diganggu, dia ingin fokus kuliah,” jawab Ratna beralibi.Entah Adrian akan percaya atau tidak dengan jaw
Hati cucu mana yang tidak khawatir, ketika mendengar berita kalau neneknya sakit sampai harus dirawat di ruang ICU? Nada merasa seperti dihantam dua kali oleh kenyataan. Kini tangannya benar-benar bergetar hebat. Perasaannya sudah tak karuhan. Antara merasa takut dengan masa lalunya, dan takut dengan keadaan neneknya. “Mama?” panggil Deven pelan. Anak itu merasa khawatir melihat wajah ibunya yang pucat pasi. Namun, Nada langsung menggeleng dan meletakkan telunjuk di bibirnya. Seketika Deven langsung diam. “Ne-nek kenapa, Om?” tanya Nada tergagap. “Tadi dini hari, Nenek pingsan di kamarnya. Setelah dicek ternyata tensi darahnya tinggi. Sekarang beliau sedang di ICU, karena sudah dua jam belum tersadar,” terang Adrian dengan suara terdengar panik. “Apa sudah dicek oleh dokter?” Nada berusaha untuk setenang mungkin. “Sudah, tapi hasil lab belum keluar,” jawab Adrian. Badan Nada terasa panas dingin. Neneknya kini sudah berumur delapan puluh tahun. Pastilah sudah terjadi penurunan
Pertanyaan yang diajukan oleh Deven, sungguh di luar nalar. Bahkan Nada sampai mematung—hampir satu menit lamanya. “Deven,” panggil Nada sambil mengelus puncak kepala putranya, “bukannya Mama sudah bilang perihal itu? Papamu sudah di Surga, Nak,” terang Nada yang tentu saja mengucapkan sebuah kebohongan.Sakit sebenarnya, ketika dia harus berbohong pada anaknya sendiri. Namun, bagaimana lagi, Nada sudah bertekad untuk tidak memberi tahu siapa pun tentang ayah biologis Deven. Apalagi pada anaknya sendiri. “Iya, Ma, i know. Tapi bukannya Indonesia juga surga? Aku baca di internet, kalau Indonesia itu serpihan surga. Berarti Papaku ada di sana, kan?” Mata Nada sontak membulat. Lagi, Nada dibuat tak habis pikir dengan jawaban dari putranya itu. Sepertinya memang sedikit sia-sia Nada berbohong.“Konteksnya berbeda, Sayang. Sudah, bagaimana kalau kita makan malam saja? Tadi Mama lihat Tante Ratna sedang memasak pasta kesukaan Deven.”Mendadak raut wajah Deven berubah. Anak itu merasa tid
Tangan Nada gemetar sekarang, melihat sosok pamannya yang baru saja keluar dari kamar. Perawakan Adrian terlihat berbeda dari enam tahun lalu. Badannya tegap, garis wajahnya terlihat sangat tegas. Membuat dirinya terlihat lebih tampan dari kali terakhir Nada melihatnya. Bahkan auranya sekarang sudah berubah menjadi dominan dan karismatik. Secepat itukah fisik Adrian berubah?“Selamat malam, Om,” ucap Nicko memecah ketegangan yang bisa dia rasakan. Tangan laki-laki itu kini langsung meraih tangan Nada. Mengusap punggung tangan dengan ibu jarinya. “Malam. Kamu mau pulang, Nick?” tanya Adrian dengan suaranya yang berat dan tegas .“Iya, Om. Saya mohon izin pamit pulang,” jawabnya dengan sopan. Namun, Nada malah semakin mencengkeram pegangan tangan Nicko. Mulutnya itu masih bungkam, dan bahkan belum menjawab sapaan dari paman angkatnya. Nicko pun segera membalikkan badan. “Kembali saja ke kamarmu, Nada. Tidak usah mengantarku keluar,” ucap Nicko. Tatapan gelisah kini terpancar di
Agenda sarapan pagi bersama pun gagal. Setelah pengakuan Nada yang membuat tubuh Eva tak kuasa untuk bangkit. Wanita berumur delapan puluh tahun itu, akhirnya dibawa menuju kamar tidur.“Nada, bisa kita bicara sebentar?” tanya Adrian dengan suara tegasnya.Betapa khawatirnya perasaan Adrian, ketika melihat kondisi ibu angkatnya yang harus kembali drop, akibat pengakuan Nada.“Bukannya Om harus segera menuju kantor? Ini sudah pukul sepuluh pagi,” celetuk Nada sambil melihat ke arah jam dinding.“Aku masih punya banyak waktu,” jawab Adrian cepat.“Oh, apa Om sekarang selalu bermalas-malasan dalam memimpin Victory?” sela Nada mencibir.Sontak Adrian mengerutkan kening, “Maksudmu apa, Nada?” tanyanya.Nada menarik napas pelan, lalu dengan tangan yang meremas kedua sisi tubuhnya dia berbicara, “Ini sudah jam masuk kantor. Walau pun Om memiliki banyak waktu, tapi tetap saja Om harus datang ke kantor tepat waktu.”Intonasi Nada dalam berbicara terdengar menekan. Dia berusaha untuk membangun
“Anak siapa itu?”Pertanyaan dari Keenan barusan membuat Adrian tersentak. Matanya tidak bisa berbohong, kalau pria berumur 39 tahun itu sedang merasakan kepanikan. “Dari mana Mas Keenan tahu kalau Nada sudah kembali? Dan ….” Adrian mendadak ragu untuk melanjutkan kalimatnya, “dan dari mana Mas tahu kalau Nada tidak pulang sendirian?” “Ada informasi dari luar. Sepertinya seseorang atau mungkin banyak, sedang memperhatikan Victory. Jelas saja, karena perusahaan ini sangat sukses di industri perhotelan dan penerbangan,” terang Keenan. “Informasi dari mana, Mas?” tanya Adrian ngotot. “Orang luar. Aku tidak tahu persis, karena aku mendapatkan informasi dari istriku, Gladys. Tapi aku berpesan padamu untuk berhati-hati Adrian. Karena bisa saja rivalmu sedang mengawasi dan membuat bom waktu yang entah kapan akan meledak.”Sebagai mentor yang baik, Keenan memang sering kali memberi nasehat pada Adrian. Dia sudah menganggap Adrian sebagai juniornya yang harus dibimbing. Selain itu Keenan s
“Me-menikah?” Adrian mendadak gagap.Setelah delapan tahun bersabar, akhirnya Adrian bisa mengantongi restu dari ayah Sindy. Sudah sejak lama Adrian mengusahakan hubungan mereka untuk segera direstui. Walau Adrian sudah menjabat menjadi CEO perusahaan terkenal sekali pun, Titan masih belum memberikan restu. Pasalnya pria itu tak ingin karir anaknya terhambat. Karena pada saat itu nama Sindy sedang naik daun. Selain itu, faktor Adrian yang hanya anak angkat, membuat Titan sedikit ragu.“Iya. Apa kamu tidak mau menikahi putri saya?” Pertanyaan tersebut segera disanggah oleh Adrian. “Tidak, Om. Tentu aku akan menikahi Sindy. Secepat yang kami bisa,” jawab Adrian dengan mantap. Binar bahagia tak hanya terlihat dari wajah Adrian. Sindy pun merasa sangat senang. Namun, di detik berikutnya raut wajah Sindy berubah. “Kenapa?” bisik Adrian, yang sadar dengan perubahan raut wajah kekasihnya itu. “Ah, i-itu … tapi bisakah kamu menunggu sedikit lagi, Mas?” Nada bicara Sindy terdengar pelan.