Share

TIGA

“Jangan takut, dunia itu menarik.”

Ara masuk bagian belakang kafe tempatnya bekerja. Menyapa

beberapa karyawan yang ditemui, lekas berganti seragam di ruang ganti.

Setelah dirasa penampilannya rapi, ia segera keluar.

“Ara! Mbak minta tolong, ya, bawain minuman ini untuk meja nomer

tujuh!”

Ara menoleh pada Mbak Santi yang memanggil, diterimanya nampan

tersebut, lantas bergegas mengantarkan pesanan tersebut.

“Permisi,” ucap Ara sopan, lalu menata gelas minuman di meja

tersebut. Saat ingin berbalik, tangannya dicekal oleh salah satu remaja di

sana. Ditatapnya laki-laki itu dengan alis berkerut. “Ada apa, Kak?”

Kala sepasang mata itu bersitatap, sesuatu di dada menyentak hebat.

Mata itu. Ia tidak percaya atas apa yang dilihat bola matanya sendiri.

“Bro?” Panggilan temannya membubarkan lamunan.

Laki-laki itu tersadar, lalu melepas cekalan, wajahnya berpaling.

“Nggak apa-apa.”

Meski merasa aneh dengan laki-laki itu, tetapi Ara tidak mau ambil

pusing. Ia melenggang pergi untuk melanjutkan pekerjaan.

“Bang, mirip dia,” bisik cowok yang merupakan saudara dari lelaki

yang sempat mencekal tangan Ara. Ia hanya mengangguk sebagai respons.

Benar-benar sangat mirip dengan seseorang yang dicari-carinya.

***

Saat pertengahan jalan, Ara melihat seorang laki-laki yang sepertinya

sedang berkelahi dengan preman, lebih tepatnya dipukul berkali-kali oleh para preman berbadan besar. Ia baru melihat ada preman di daerah

sini. Ia segera menghampiri karena ingin menolong. Sungguh, dirinya

ikut merasakan sakit saat melihat laki-laki itu sudah babak belur.

“Woy, Bang!” seru Ara dengan berani.

Preman itu berhenti memukul, memandang Ara dengan garang.

“Ngapain lo di sini?”

“Ya, mau ikut bertarunglah! Mana tahu gue menang!” Gadis itu

melipat tangan di depan dada. Dagunya mendongak sombong, membuat

preman dan laki-laki tersebut menganga tak percaya.

“Heh! Lo bocah ingusan mana bisa melawan gue!” Tatapan

meremehkan tentu saja melayang pada Ara.

“Ya, karena ingusan, ayo, bertarung sama gue!”

“Wah! Lo ngajak ribut, ya?” Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi,

preman tersebut melayangkan pukulan pada Ara. Namun, lebih gesit Ara

yang sudah memelintir tangannya.

“Mau tangan patah atau pergi, Bang?” tanya Ara yang masih menahan

tangan preman itu ditambah lagi pelintiran.

“Ampun. Oke, gue pergi, tapi lepasin gue,” pinta preman itu lirih.

Ara pun melepaskan preman itu, kemudian menendang punggung sosok

itu dengan keras.

“Pergi, kan, lo! Huuu!” sorak Ara penuh kemenangan.

Jangan remehkan Ara. Meksipun terlahir menjadi perempuan, kalau

soal tarung-bertarung, ia cukup jago karena sedari SD sudah terbiasa

mengikuti ekstrakurikuler pencak silat.

“Om nggak apa-apa?” tanya Ara seraya menghampiri laki-laki yang

baru saja ditolongnya. “Sini, gue bantu berdiri.”

“Nggak!” laki-laki itu membentak, padahal belum juga Ara

menyentuhnya. “Jangan harap gue berterima kasih ke lo, apalagi dapat

imbalan dari gue!”

Tentu saja Ara tak habis pikir dengan laki-laki itu. Mengapa mengira

ia akan meminta imbalan? Padahal, ia ikhlas membantu.

Ara menghela napas. “Lo luka, sini gue bantuin.”

Tanpa menunggu balasan dari dari lawan bicara, gadis itu

mengeluarkan sebuah kapas, botol minum, juga plester luka. Benda itu

juga sering dibawanya ke mana pun. Ia memosisikan diri, berjongkok di

depan laki-laki yang terduduk di pinggiran jalan tersebut.

Saat tampak pergerakan bahwa laki-laki itu akan menolak, Ara

memelotot garang. Ia bahkan menahan paksa agar laki-laki itu tidak

banyak bergerak. Dirasa tenang, ia memulai aksi mengobatinya. Pertama,

ia membersihkan luka yang ada di sudut bibir laki-laki itu dengan hatihati, setelah merasa bersih, dipasangkannya plester pada area luka

terbuka.

Laki-laki itu tanpa sadar terus memperhatikan segala gerak-gerik

gadis di depannya. Sudut bibirnya tertarik samar, sangat samar hingga

hampir tidak terlihat. Dia baik banget.

“Nah, udah. Kalau gitu, gue pamit dulu.” Gadis itu mengemasi

sampahnya, hendak berdiri, tetapi dicekal. “Kenapa?”

“Makasih,” ujar laki-laki itu pelan seraya melepas cekalan tangannya.

Ara mengangguk sembari tersenyum manis. Kakinya melangkah pergi

meninggalkan laki-laki itu sendiri.

Dalam hening, laki-laki itu memandang punggung gadis yang baru

saja menolongnya. Seperti ada yang aneh, meski ia tidak tahu itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status