Share

LIMA

"Berdamai dengan takdir adalah sebaik-baiknya pilihan. Bila kamu terima apa yang ditakdirkan, pasti kamu tak akan semudah itu mempersalahkan.”

Jam istirahat telah berbunyi seperti biasa. Kedua sahabat Ara pergi ke

kantin, sedangkan gadis itu makan bekal di kelas. Hingga bekalnya habis,

jam istirahat masih tersisa, juga teman-temannya belum kembali ke kelas.

Bosan, ia memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di taman sekolah.

Sepertinya berada di sana akan sedikit menenangkan pikiran.

Ara memilih untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Dilihatnya

bunga-buga mekar yang tampak indah. Awan teduh memayungi ditambah

angin sepoi berembus.

Tiba-tiba terlintas di pikiran Ara tentang kejadian samar yang

terekam di benak. Apakah keluarga mencarinya? Mengapa dirinya

sangat sulit mengingat apa yang terjadi di masa lalu? Potongan-potongan

kecil memorinya tidak lengkap dan cenderung samar. Namun, yang

diingatnya, ia memiliki keluarga, beberapa kakak laki-laki, ayah juga ibu

yang baik, hingga tiba-tiba ia dibawa oleh seorang laki-laki yang tidak

dikenali. Sayang, wajah-wajah di dalam ingatannya memburam hingga ia

tidak mengenali mereka secara utuh.

Gadis itu selalu berdoa dapat dipertemukan kembali dengan

keluarganya. Meski sekarang ini ia sudah bersyukur memiliki bunda juga

adik-adik di panti yang begitu disayanginya. Ia tidak iri dengan orang

lain karena memiliki orang-orang yang sayang padanya. Tanpa sadar, air

matanya sudah mengalir hingga seseorang mengagetkan “Lo siapa? Ngapain lo di sini?” tanya laki-laki itu seraya menepuk

pundak Ara.

Kaget, gadis itu terburu menghapus air mata yang mengalir. “Nggak

apa-apa, kok, Kak,” jawabnya seraya menunduk. Sesaat setelah melirik

bet yang menempel di lengan kakak kelasnya, membuat ia semakin

menunduk. Sangat jarang ia berbicara dengan kakak kelas.

“Boleh gue duduk di sini?”

Ara mengangguk sebagai respons atas pertanyaan laki-laki itu, tetapi

sama sekali tidak berani menoleh dan terus saja menatap sepatu yang

dipakainya.

“Tatap gue kalau lagi ngomong. Emang ngeliatin apa, sih, di bawah?”

Mendengar itu, Ara mendongak. Namun, seketika itu, dua pasang netra

bersitatap. Mereka terdiam sejenak.

Mata itu kenapa mirip sekali sama dia?

Hanya beberapa saat, Ara dan laki-laki itu lekas memutuskan kontak.

Gugup menyergap, sepi menyelimuti.

Berdeham, Ara bertanya untuk sedikit mencairkan suasana, “Kakak

sendiri ngapain di sini?”

“Ini tempat nenangin diri gue sendiri.” Laki-laki itu melirik Ara yang

hanya diam dengan kaki berayun. “Gue baru liat lo. Emang lo anak baru?”

“Oh, ini pertama kali gue ke sini, Kak. Biasanya cuma diem di kelas.”

Hening kembali berkuasa. Tidak ada pembicaraan lebih lanjut hingga

tanpa sengaja laki-laki itu melihat kalung yang menggantung di leher Ara.

Ia sungguh terkejut, rasa penasaran pun muncul.

“Gue boleh nanya?” tanya laki-laki itu. Tentu saja Ara menoleh ketika

mendengarnya. “Kalung lo itu dapet di mana?”

“Ooh, ini.” Gadis itu menyentuh bandul berupa inisial hurufdi

kalungnya. “Ini dikasih sama keluarga gue. Udah lama banget, bahkan

sekarang gue nggak tahu mereka ada di mana dan gue nggak inget detail

soal mereka.”

Tatapan Ara terarah ke langit. “Yang gue inget cuma dua nama depan.

Alvara Catarina atau mungkin Kakak tahu singkatan sisanya? ACQAE?”

Laki-laki itu mematung mendengarnya. Nama itu sama. Apa dia benar

princess gue yang hilang? Apa benar dia Alvara, satu-satunya anak

perempuan di keluarga gue yang hilang? Apa gue harus ngelakuin tes

DNA buat ngebuktiin itu beneran dia yang gue cari?

Ara yang melihat laki-laki di sampingnya bengong pun ikut

bingung. Apa ada yang salah dengan kalimatnya? Mencoba beberapa kali

memanggil, tetapi tidak ada sahutan dari laki-laki itu. Ia melambai di

depan wajah laki-laki itu

“Eh ... nggak,” jawab laki-laki itu tergagap.

Bersamaan dengan itu, terdengar suara bel pertanda istirahat telah

usai.

“Yah, udah bel, nih, Kak. Gue duluan, ya!”

“Tunggu!” Laki-laki itu mencegah, membuat langkah Ara terhenti.

“Pulang sekolah bareng gue!”

Ara tersenyum. “Maaf, Kak, gue pulang sekolah harus kerja.”

“Kerja? di mana?”

“Di Kafe Kembang. Kalau gitu, gue permisi, ya, Kak!”

Setelah Ara pergi, laki-laki itu masih termenung. “Apakah dia yang

dimaksud abangku kemaren?”

***

“Ada apa, Boy? Kenapa memanggil kita semua?”

Saat ini beberapa anggota keluarga sedang berkumpul di ruang tamu atas

permintaan laki-laki yang merupakan keponakan dari keluarga.

“Aku tadi ketemu seseorang yang mirip banget sama dia,” ucap lakilaki itu menggebu yang tentu saja mengejutkan banyak orang. “Wajah

sama matanya, mirip, bahkan dia punya kalung inisial ACQAE!”

“Mas, aku yakin dia putriku. Cepat, Mas, bawa pulang,” mohon Rossa

kepada suaminya.

“Iya. Daddy juga akan membicarakan hal penting.” Sorot mata Sauqi

tampak serius. “Orang suruhan saya kemarin menemukan fakta baru.

Anak saya yang selama ini dicari ternyata satu sekolah dengan kalian.

Selain itu, ada fakta bahwa dia tinggal di panti. Dia yang memiliki kalung

inisial memang putriku. Seseorang yang selama ini kita cari.”

Seluruh orang yang ada di ruangan mematung mendapati bahwa

pencarian yang selama ini dilakukan akhirnya menemukan titik temu.

Air mata bahkan lolos dari wajah seorang ibu yang amat rindu putri

kecilnya.

“Ayo, Mas, kita jemput.”

“Kita bersiap-siap dulu. Esok atau lusa kita akan menjemputnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status