(POV RAIHAN)"Sebelum kita benar-benar berpisah setelah lebaran, selama satu bulan ini perlakukanlah aku layaknya istrimu. Hanya satu bulan. Setelah itu aku akan pergi."Aku menatapnya lekat. Sementara ia menundukkan pandangannya. Lagi-lagi Aira mengucurkan air mata. Aku merasa kasihan padanya. Juga merasa bersalah karena telah menyakitinya. Namun, sungguh, aku sudah mewanti-wanti jauh-jauh hari sejak aku membawanya ke Malang, agar ia tidak memainkan perasaannya. Aku sudah mengatakan jika dia bisa mencari orang lain, aku tidak menghalangi. Namu, ia bersikeras untuk mencoba membuatku untuk jatuh cinta. Lihat saja sekarang, siapa yang kesulitan?"Sudah berapa kali kamu menangis hari ini, Ra?" tanyaku sembari mengangkat dagunya. Air mata di wajahnya merembes tanpa henti. Sesedih itukah? Ah!"Jangan larang aku, Mas.""Iya. Aku ngga larang. Hanya aku heran aja, apa yang sedang kamu sedihkan?""Kamu itu benar-benar ngga tau atau ngga mau tau, sih, Mas?""Ah! Sudahlah. Aku menyanggupi persya
Walau dengan siapa pun Allah menjodohkan kita, bersyukurlah dengan kelebihannya dan bersabarlah dengan kekurangannya. (Quote by someone)***"Kalau mau ikutan mandi juga ngga apa-apa, Mas," ujar Aira sambil menaikkan kedua alisnya.Kali ini justru Raihan yang terdiam. Malah Aira yang balik menggoda. Raihan baru ingat jika Aira memang lebih jago dalam hal itu dari pada dirinya.Ditantang begitu, Raihan memilih berlalu. Ia berjalan melewati Aira."Eh! Ke mana? Ngga jadi?" Aira tak henti menggoda Raihan.Gegas Raihan melarikan diri.Aira pun berjalan ke kamar mandi sambil tak henti tersenyum melihat tingkah Raihan."Apakah akan ada pertanda baik, Tuhan?" lirih Aira pelan.Di teras rumah, Raihan duduk seorang diri. Lelaki itu memegang ponsel rahasia yang sengaja ia bawa dari Malang. Ingatan akan Safia kembali muncul, padahal sudah beberapa saat terlupa. Dia kembali membuka foto-foto wanita itu di dalam galeri ponselnya. Ada puluhan foto Safia yang tersimpan. Raihan sengaja melakukannya.S
(POV RAIHAN)Pagi ini adalah hari pertama puasa. Sahur tadi Aira membangunkanku dan kami makan sahur bersama. Ibu telah menyiapkan semuanya dibantu Aira. Semakin aku sering memperhatikan gadis itu, semakin banyak keistimewaan yang kulihat dari dalam dirinya. Gadis sederhana dan tak banyak tingkah itu terlihat semakin bertambah dewasa saja. Setelah melaksanakan salat Shubuh, aku mengajak Aira berjalan kaki menikmati suasana pagi di kompleks perumahan yang kami tempati. Dulu sewaktu kecil, aku beserta teman-teman kecilku hampir setiap malam menjelang sahur berkeliling kompleks membangunkan warga. Setelah itu dilanjut jamaah di masjid dan diakhiri dengan asmara subuh bersama. Masa-masa kecil yang penuh warna."Ra, dulu kamu kenapa, sih, suka sekali pinjam sepedaku pada Ibu?"Aira kecil hampir saban hari berkunjung ke rumahku bersama ibunya. Jika dia di rumah, maka Ibu akan meminjamkan sepedaku padanya. Aira kecil akan berkeliling kompleks menggunakan sepeda tersebut. Tak peduli teriknya
(POV RAIHAN)Aku menepuk jidat. Malah mau dikerokin, terkadang Aira ada juga aneh-anehnya. "Di kamar aja, Ra. Ngga enak dilihat Ibu."Gadis itu mengangguk. Aku berjalan ke kamar, sedangkan Aira berbelok ke arah dapur. Tak lama ia pun masuk kamar sambil memegang sebuah piring kecil di tanganya."Apa itu, Ra?" tanyaku penasaran."Minyak urut.""Minyak urut?""Iya. Minyak goreng dicampur bawang.""Apa? Kamu itu mau ngerokin atau mau bikin aku jadi dendeng?""Bikin dendeng pakai minyak bawang rupanya, Mas?""Ah! Aira ...! Yang bener, dong, Sayang.""Iya. Ini udah bener. Sini punggungnya."Kubalikkan punggungku dengan ragu. Masa iya pakai minyak goreng plus bawang? Kenapa tidak sekalian pecahin telur dan potongan cabai merahnya, biar jadi telur dadar.Ah! Aira!***Tiga hari sudah kami menghabiskan waktu di rumah Ibu. Sesuai janji, aku dan Aira akan berkunjung ke rumah Mak dan Abah. Namun, hari ini pula Safia tiba di Surabaya. Otomatis aku harus mengundur waktu ke rumah Abah agar bisa ber
(POV RAIHAN)Istri yang baik itu, apabila diberi ia akan bersyukur. Apabila tidak diberi maka ia akan bersabar.***Kembali ke Malang setelah menghabiskan waktu selama dua minggu lebih di Surabaya. Kedekatan di antara kami semakin terbangun selama berada di sana. Ditambah lagi karena adanya perjanjian satu bulan yang sedang kami jalani, maka hubungan kami pun tampak seperti pasangan suami-istri normal pada umumnya.Aira tetap melayaniku dengan baik. Segala keperluanku dia yang mengurusnya. Ditambah Mbak Ayu sedang cuti selama bulan puasa, otomatis, Aira-lah yang menghandel semua pekerjaan rumah. Dia terlihat gesit dan senang melakukan semuanya.Pagi ini seperti biasa, aku harus mengunjungi tempat kerja. Sebenarnya hal yang paling penting adalah ingin bertemu dengan Safia. Sudah kuputuskan jika aku akan mengungkapkan perasaanku padanya. Semakin lama dipendam kurasa semakin tidak baik. Pun sebentar lagi aku dan Aira akan berpisah.Aku telah menghubungi Safia tadi malam. Kami akan bertem
(POV AIRA)Sengaja aku meminta kunci ruang kerja Mas Raihan. Aku ingin tahu apa yang ia simpan di sana. Menurut informasi dari Mbak Ayu, aku bisa menemukan sesuatu di kamar itu. Saat kutanyakan lebih jelas, Mbak Ayu malah menyuruhku untuk melihatnya sendiri.Setelah mengunci pintu depan, aku bergegas menaiki tangga menuju ruang kerja Mas Raihan. Setiba di depan pintu ruangan tersebut, dengan tangan gemetar dan perasaan berkecamuk, aku memutar kunci dan segera menekan handel pintu.Kondisi ruangan remang-remang. Gorden lebar masih tertutup rapat. Aku menacari saklar lampu dan segera menghidupkannya. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Ruangan terlihat bersih. Begitu juga meja kerjanya. Ada beberapa bundelan kertas yang tersusun rapi di atasnya.Aku mendekat saat mataku melihat sebuah foto di dalam bingkai berukuran sedang."Wanita itu."Aku tercekat. Betapa istimewanya Safia, fotonya saja terpajang rapi di atas meja kerja Mas Raihan. Sementara aku? Jangankan fotoku sendiri, foto perni
(POV SAFIA)Aku mencintai Omar sudah sangat lama. Dia adalah abang kelas sekaligus tetangga baru di kompleks perumahan yang kami tempati dulu. Pembawaannya seperti kulkas dua pintu, cool dan jarang senyum. Walaupun begitu, aku sudah menyukainya sejak pertama kali melihatnya tiba di kompleks perumahan kami.Siapa sangka, selain bertetangga, ternyata aku dan Omar juga bersekolah di sekolah yang sama. Dan yang lebih mengejutkan, rupanya bukan aku saja yang mengharapkan cinta darinya. Para kaum hawa di sekolah pun juga sibuk mencuri-curi perhatian lelaki yang gantengnya selangit tersebut. Tiada hari tanpa memikirkan Omar. Lelaki tampan juga terkenal shaleh itu membuatku tak bisa tidur siang malam. Aku sibuk mencari tahu informasi tentangnya. Perlahan mencoba berubah sesuai apa yang ia sukai. Termasuk memakai jilbab. Aku memutuskan untuk hijrah karena lelaki itu."Mar. Demi lu, nih, gue pakai jilbab. Masa lu masih ngga mau sama gue," serangku padanya dulu saat ia menolak mentah-mentah ung
Raihan terlihat sangat kesal. Bahkan ia tidak lagi memedulikan Safia saat keluar dari ruangannya."Permisi, Mas. Assalamu'alaikum."Alih-alih menjawab salam dari Safia, Raihan malah membalikkan badan. Napasnya menderu dan dadanya naik turun dengan cepat."Omar, Omar, Omar. Dia lagi, dia lagi."Raihan mengepalkan tangannya. Ada perasaan malu dan kecewa karena penolakan Safia, juga tak suka pada orang yang selama ini sudah menjadi kaki tangannya.Raihan menekan nomor di telepon seluler di atas meja. Menghubungi Omar agar segera menjumpainya.Tanpa menunggu lama, lelaki bernetra cokelat itu sudah berdiri di depan pintu ruangan Raihan. Ada perasaan was- was di dalam hatinya. Omar sudah bisa menebak kenapa dia dipanggil oleh atasannya."Assalamu'alaikum," ucap Omar.Tak ada jawaban, akan tetapi Omar tetap melangkah masuk."Kenapa beberapa hari lalu berniat melamar Aira, lalu sekarang melamar Safia?" Tanpa basa-basi, Raihan memberondong Omar dengan pertanyaan.Omar tampak tenang. Dia sudah