Share

Lost In Yorkshire
Lost In Yorkshire
Penulis: Tane

Chapter #1 Tawaran

Marshella keluar dari toko berhiaskan krans khas Natal. Salju turun semakin lebat. Bulir-bulirnya menempel di mantel tebal berwarna merah tua yang dikenakannya. Seraya merapatkan mantel dan berjalan ke jalan utama Shaftesbury Avenue dan menunggu bus di halte.

Smartphone gadis itu bergetar.

“Ya, Angel?” sapanya setelah menggeser ikon gagang telepon berwana hijau.

“Jangan pulang, Ella!” Suara adiknya terdengar penuh penekanan dan pelan.

“Kenapa suaramu berbisik?” Bus merah bertingkat berhenti. Marshella memeluk goodie bag berisi pernak-pernik Natal dan bergegas masuk begitu pintu bus dibuka.

“Dia datang! Dia mencarimu!”

“Dia? Dia siapa?” Marshella menjatuhkan diri ke kursi. Tidak banyak penumpang di malam bersalju ini. Hanya ada dirinya dan tiga orang pria dengan mantel hitam dan top hat yang sering muncul di film berlatar abad pertengahan.

“Manajer penerbitan. Dia ada di sini.”

Marshella memutar jenuh kedua bola matanya. “Edgar? Besok Natal. Apa dia tidak punya waktu untuk istirahat?”

“Entahlah. Jadi, kau mau pulang menghadapinya sendiri atau aku sedikit memberi alasan padanya? Dia bilang, pengusaha itu memberikan bayaran yang lumayan kalau kau menerima tawaran.” Angelica terdengar bersemangat meskipun suaranya masih tetap berbisik.

“Aku tidak punya waktu untuk itu,” jawab Marshella kesal.

“Tapi aku punya. Katakan saja kalau kau sudah menunjukku sebagai perwakilan. Aku akan memasang harga yang mahal untuk bukumu itu, Sister. Dan lagi, pengusaha itu masih muda dan tampan. Kau benar-benar tidak tertarik?”

Aku mengernyitkan dahi. “Siapa maksudmu?”

“Marvel Dawson, calon pewaris Dawson Group. Oh, aku yakin kalau kau melihatnya langsung, kau tidak mungkin mau melewatkannya.”

“Dia di sana?” Marshella cukup terkejut jika itu benar.

“Yes.”

“Di flat kita?” tanyanya memastikan.

“Di flat-ku.”

Marshella menggerutu mengingat apartemen sekaligus kantornya mengalami kebakaran beberapa hari yang lalu. Akhirnya, ia menginap di rumah Angelica dan kekasihnya. Agak canggung, tetapi apa boleh buat. Pihak asuransi baru akan mengeluarkan ganti rugi akhir bulan ini. Sementara semua barang di dalam apartemennya ludes terbakar. Masih belum diketahui penyebab kebakaran itu.

“Aku akan keluar begitu uang asuransi cair.” Marshella mencoba berkilah.

“Sambil menunggu, kenapa kau tidak menerima tawaran itu? Dia bilang bersedia langsung membayarmu begitu kau setuju. Lagi pula, setelah uang asuransi itu cair, kau harus membayar biaya sewa di sini, tagihan kartu kreditku yang kau pakai, menyewa tempat tinggal baru dan masih banyak lagi. Aku yakin, tawaran dari pewaris itu akan lebih dari cukup untuk menyelamatkan hidupmu, Sister.”

“Apa saja yang sudah kau katakan?”

“Hei, aku hanya bertindak sebagai adikmu! Aku tidak ingin cerita fantasi yang sudah kau tulis bertahun-tahun itu tidak dihargai.” Suara Angelica terdengar menyindir.

“Mungkin kau lupa kalau cerita fantasi itu sudah masuk rak best seller di berbagai toko buku di Inggris Raya.” Ada nada sombong yang sengaja disuarakan Marshella.

“Dan kau masih menumpang di apartemenku,” timpal Angelica.

“Wow, kau benar-benar berhati malaikat!” sindir Marshella.

Marshella melempar pandangan ke luar jendela. Apartemen Angelica sudah dekat. “Aku sudah hampir sampai, kita bicarakan setelah mereka pergi.”

“Yah, aku harap mereka pergi bersamamu … dari apartemenku.”

Marshella menghela napas. Ia tahu kesalahan ada pada dirinya. Begitu menutup sambungan telepon, seraya berdiri tepat saat bus berhenti di halte. Tiga orang pria top hat tadi mengikutinya.

Marshella tidak terlalu memperhatikan saat salah satu dari mereka berjalan mendahului. Ia masih sibuk membalas pesan dari manajer penerbitan. Namun, bukannya mendahului, pria tadi justru berhenti tepat di depannya. Marshella nyaris menubruknya.

“Sorry!”

“Nona Marshella Wood?”

Marshella mendongakan kepala. Belum sempat menjawab, dua orang pria lainnya sudah berdiri di kiri dan kanan. Marshella kebingungan. Ia masih bergeming. Intuisinya mengatakan untuk waspada.

“Siapa kalian?”

Ketiganya saling lirik lalu tersenyum. “Kami penggemar novel Anda. Boleh minta tanda tangannya?”

Marshella bernapas lega. Intuisinya di dunia nyata tidak pernah setepat di dunia fiksi. “Oh, tentu saja.”

Mereka mengeluarkan buku yang ditulis Marshella satu per satu.

“Tapi maaf, aku tidak membawa bolpoin.” Marshella memasang wajah menyesal.

“Ini.” Salah satu dari mereka mengulurkan bolpoin.

Marshella merasa pernah melihat bolpoin itu. Bentuknya seperti bolpoin biasa, hanya saja memiliki ukiran dengan lambang bunga mawar putih di ujungnya.

“Oh, terima kasih. Siapa namamu?” tanya Marshella dengan ramah.

“Gale.”

Gadis itu membubuhkan tanda tangannya. Ia sedikit terkejut karena tintanya emas. “Wow, ini bolpoin yang mewah,” kelakarnya.

“Tentu saja,” jawab lelaki itu lagi. “Aku menyiapkannya khusus.”

Marshella membubuhkan tanda tangannya di dua buku milik dua pria lainnya. “Kalian terlihat dewasa dan aku cukup terkejut karena biasanya yang membaca bukuku adalah anak-anak remaja.” Ia mengatakannya tanpa terdengar menyindir meskipun kebetulan ini terlalu aneh.

Bagaimana mungkin ketiganya secara ajaib membawa novelnya dan meminta tanda tangan bersamaan sementara di luar sedingin ini? Ia sendiri keluar karena terpaksa membeli pernak-pernik hiasan pohon Natal, permintaan Angelica.

“Kami selalu menjadi penggemarmu, Nona Wood.”

Marshella mengenyahkan pikiran buruk dari kepalanya. “Terima kasih.”

Wanita muda itu melempar senyum lalu bergegas menjauh. Dia harus segera tiba di apartemen adiknya. Dia tidak ingin Angelica membuat kesepakatan yang tidak diketahuinya dengan pihak penerbit dan juga pewaris Dawson Group.

Marshella tidak menyadari bahwa ketiga pasang mata pria yang meminta tanda tangannya itu masih mengikuti.

“Jadi, dia orangnya?” tanya pria yang mengaku bernama Gale.

“Ya. Dia … putri Tuan Eddark.”

“Tuan Frederick pasti senang. Dendamnya akan segera terbalaskan.”

***

“Aku sangat berterima kasih karena ada pihak yang mau mengadaptasi novelku ke dalam film. Tapi aku belum punya waktu untuk membuat skenarionya. Buku ini masih berlanjut. Aku tidak ingin pembaca membandingkan versi buku dengan film sebelum ketiga serinya selesai.”

Marshella duduk di seberang Edgar Muller dan lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Marvel Dawson. Benar kata Angelica, lelaki itu tampan dan terlihat berkharisma. Namun, jelas bukan tipenya karena disaat yang sama, Marvel terlihat seperti orang yang suka tebar pesona.

“Kami akan memberimu waktu untuk menyelesaikannya. Tidak perlu terburu-buru.” Marvel membuka suara setelah sedari tadi diam saja.

Marshella mengangkat kedua alisnya. “Aku tahu siapa yang terburu-buru di sini sampai datang ke apartemenku,” jawabnya kaku.

“Bukannya ini apartemen adikmu,” potong Marvel.

Marshella melotot ke arah Angelica lalu kembali menatap Marvel dan Edgar. “Besok Natal dan aku bermaksud merayakannya dengan adikku,” sergahnya memberi alasan.

“Yah, kudengar juga begitu … selain karena apartemenmu kebakaran dan kau kehilangan semuanya.” Marvel memamerkan senyuman yang menurut Marshella mulai menyebalkan.

“Ada lagi yang ingin kau ketahui tentang kabarku akhir-akhir ini, Sir?” tanya Marshella dengan senyum masam.

“Hei, hei, kalian cepat sekali akrab.” Edgar menengahi.

Lelaki tiga puluhan itu pun menoleh pada calon pewaris grup perusahaan No.1 di Britania Raya.

“Pak Dawson, apa tidak bisa ditunggu sampai seri ketiganya keluar dan novel ini tamat? Aku rasa itu akan memudahkan pekerjaan Marshella sebagai penulis dan tim produksi nantinya.” Seraya memasang wajah meyakinkan. Alis tebalnya sedikit terangkat.

Marvel mengusap dagunya beberapa kali. Seraya tampak mencari jalan penyelesaian yang sama-sama menguntungkan. Dia dapat kontrak kerja sama dan penulis manja itu tidak banyak permintaan.

“Kau tentu paham, adaptasi novel yang belum selesai ke dalam film sering jadi polemik karena ceritanya kerap tidak sama. Kau menonton Game of Throne? George Martin belum menyelesaikan bukunya saat TV serinya selesai dan … tidak semua penggemar mendapatkan kepuasan dengan akhir ceritanya,” imbuh Edgar.

Marvel masih terdiam beberapa saat. Seraya tampak berpikir sebelum menghela napas dan berdiri. “Baiklah. Kuberikan waktu tiga hari untuk memikirkannya, Nona Wood. Kami akan menawarimu untuk tiga film sekaligus sesuai dengan seri novelmu dengan konsekuensi film pertama rilis akhir tahun depan. Berapa pun yang kau butuhkan, aku akan kabulkan. Bahkan kalau kau meminta apartemen sebagai bonus.”

Mata Marshella sedikit membesar mendengarnya.

Seraya menoleh pada Edgar. “Tidak pernah ada ending yang memuaskan semua penggemar, Pak Edgar. Itulah kenyataannya.”

Sepeninggalan Marvel Dawson, Marshella menegur Edgar. “Kenapa kau membawanya ke sini, Pak?” Ia tidak menyembunyikan kekesalan.

“Dia terlihat butuh.”

“Lalu?”

“Kau harus memanfaatkan orang yang terburu-buru dengan sebaik mungkin.” Wajah licik Edgar jelas terlihat.

Marshella memejamkan mata dengan frustasi. “Kau lupa kalau laptopku ikut terbakar dan tidak bisa digunakan lagi? Semua file cerita itu hilang. Aku tidak akan bisa menyelesaikannya tepat waktu kecuali ada sihir yang bisa membantuku memulihkan semuanya.”

“Itu masalahmu, bukan masalahku. Menurutmu, kenapa aku sampai merelakan libur Natal hanya untuk mengantarnya ke sini? Pikirkan uang yang akan kita dapatkan, Marshella. Dan tentu saja …,” Edgar menoleh pada Angelica, “supaya tidak merepotkan adikmu lagi. Selamat Natal, Sayang.”

Edgar pun berjalan keluar.

“Manajer penerbitanmu kejam juga, tapi yang dikatakannya benar. Lebih baik pikirkan lagi keputusanmu,” celetuk Angelica.

***

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Nurfa Latif.
Wah, ceritanya bagus.
goodnovel comment avatar
Caliry Ody
untuk awalan bagus...penjelasan tiap percakapan juga jelas membayangkannya..semangat ya kk, lanjut baca chapter selanjutnya
goodnovel comment avatar
Rin
Manajernya mata duitan...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status