Share

Chapter #3 Room Service

“Lalu bagaimana dengan hidup dan matimu?” tukas Marshella.

“Apa aku mati di dalam mimpimu itu?” tukas Marvel dengan intonasi mengejek.

Marshella mengerutkan dahi. Gadis itu lantas berjalan ke sisi tempat tidur dan meraih jaket tebalnya. Seraya memperbaiki letak syal merah di leher. “Baiklah, kalau begitu anggap saja kita tidak pernah bertemu dan kerja sama adaptasi novelku untuk film itu … ditolak.”

“Hei, kau tidak bisa menolak begitu saja! Hanya karena aku tidak mau mendengarkan dongengmu itu?” protes Marvel.

“Kau tidak mempercayaiku,” ralat Marshella. Ia meraih tas dan berjalan ke pintu kamar.

Marvel hendak mencegah, tetapi urung begitu melihat isyarat dari Marshella. Gadis itu meletakkan jari telunjuk ke depan bibir, menyuruhnya diam.

“Apa?” tanya Marvel.

Firasat buruk menghinggapi.

“Tolong kecilkan suaramu!” desis Marshella. Ia melirik ke arah pintu hotel. Marvel mengikuti pandangan gadis berambut pirang sebahu itu. Tak ada suara apa pun. Hanya keheningan.

“Kenapa?” Marvel menggerakkan bibirnya perlahan dengan suara sepelan mungkin.

Marshella melangkah mundur. Kini ia sejajar dengan lelaki itu. “Aku rasa ada seseorang di balik pintu itu.” Ia berbisik pada Marvel. Tangannya menunjuk bayangan di bagian bawah pintu yang memiliki sedikit rongga.

Sementara jantung berdebar-debar kencang, matanya masih menatap pintu kayu yang dipernis cokelat tua mengkilat.

“Ya sudah, kenapa tidak kau buka? Mungkin saja pelayan. Barangkali menawarkan anggur untuk lebih menghangatkan tubuh kita berdua. Kau memesannya, bukan? Kamar ini terlalu dingin untuk pria dan wanita, sementara tidak ada pelukan yang menghangatkan, bukan begitu?” tanya pria berusia dua puluh tujuh tahun itu dengan santai meskipun tetap dengan suara sama berbisiknya. Ia merasa konyol karena mengikuti gadis ini.

“Dia akan mengetuk kalau memang begitu,” tukas Marshella.

Tok tok tok!

“Dia mengetuk,” kata Marvel dengan senyum mengejek. Marshella berusaha untuk tidak menghiraukannya.

“Room service!” Suara dari balik pintu terdengar berat.

Marshella bergeming.

“Apa yang kau tunggu?” Marvel bertanya.

Marshella menoleh pada lelaki itu. Wajah pucatnya semakin terlihat pucat. “Aku tidak memesannya.”

 Keduanya terdiam. Marshella memeluk erat tas di depan dada. Marvel melihat gadis itu ketakutan. Bahkan, keringat mulai terlihat di pelipisnya, sementara kamar ini justru terlalu dingin dengan salju yang masih turun di luar sana.

“Kau … baik-baik saja?” tanya Marvel dengan wajah kebingungan.

Pandangan mata Marshella masih tertuju pada pintu kamar. Ia mematung, menahan napas sebisa mungkin seolah bernapas akan membuatnya berada dalam situasi yang berbahaya.

“Room service!”

Suara pengurus hotel kembali terdengar.

Sekali lagi, Marvel mengamati Marshella. Saat melihat gadis itu masih tak bergerak, ia berjalan ke pintu.

“Jangan!” cegah Marshella dengan suara tertahan.

Marvel tidak menghiraukannya. Ia membuka pintu dan mendapati seorang pelayan berdiri sambil membawa tumpukan selimut.

“Anda meminta tambahan selimut, Tuan?” tanya pelayan itu dengan aksen Inggris Utara yang sangat kental.

Marvel memiringkan badan dan menoleh pada Marshella. “Kau berniat menginap?” tanyanya.

Marshella tergagap menjawab. “Ti … tidak.”

Marvel mengangkat kedua bahunya dan kembali menoleh pada pelayan. “Kami tidak memintanya. Kau salah kamar.”

Pelayan itu hendak mengatakan sesuatu, tetapi Marvel sudah lebih dulu menutup pintu. “Lihat? Hanya pelayan hotel.” Ia berjalan mendekati Marshella yang masih pucat.

“Kau terlalu mudah takut untuk seseorang yang berani mengundang laki-laki ke kamar hotel,” celetuknya mengejek.

“Sudah kubilang, aku hanya mencari tempat yang aman untuk bertemu denganmu.” Suara Marshella masih bergetar.

“Dari apa? Satu-satunya orang yang berbahaya di sini sedang berdiri di depanmu, Nona Wood.” Marvel sedikit merentangkan kedua tangan. “Barangkali bisa menginspirasimu menulis cerita … hm, cerita romantis?” godanya.

“Aku benar-benar hanya ingin bicara denganmu, Marvel.”

“Dan menceritakan kalau kau dan aku adalah reinkarnasi seseorang berabad-abad yang lalu, seperti yang kau tulis di novelmu itu?” potong Marvel dengan muak. “Aku seharusnya tidak berhubungan denganmu, Nona Wood. Kau … tidak waras.”

Marvel mengambil jaket tebal yang tergantung di balik pintu dan memakainya. “Kalau kau mau menghentikan kerja sama kita, baik. Kerja sama itu tidak perlu terjadi. Aku tidak ingin berbisnis dengan orang yang tidak waras … sekalipun orang yang tidak waras itu begitu menggoda sepertimu.”

“Kau harus percaya padaku, kita berdua dalam bahaya.”

“Kau yang akan dalam bahaya kalau aku terlalu lama di sini, Nona Wood.”

Marvel membuka pintu kamar hotel dan membantingnya.

***

Marvel membanting pintu mobil dengan kesal. Rasa penyesalan muncul. Seharusnya ia tidak gegabah menyetujui pembatalan kerja sama ini. Bagaimana kalau Marshella Wood benar-benar membatalkannya?

Untuk sesaat—sejak pertama kali bertemu dengan Marshella—ia merasakan ketertarikan pada penulis misterius itu. Matanya yang sebiru samudera dibingkai dengan bulu mata nan lentik.

Bibir penuh dipoles lipstick merah muda. Rambut yang pirang, kontras dengan warna kulit pucat pun berhasil memikatnya. Lalu wajah jelita itu. Semua membuat jantungnya berdebar-debar saat mereka pertama kali bertemu di hotel ini.

Namun, begitu mendengar cerita tidak masuk akal yang keluar dari bibir indah itu, Marvel merasa dipermainkan.  “Apa dia bilang? Reinkarnasi seorang prajurit ratusan tahun yang lalu? Kenapa tidak sekalian membual kalau aku reinkarnasi dari raja Inggris Raya? Rasa-rasanya, posisiku jauh lebih tinggi dari sekadar menjadi prajurit!”

Marvel menyandarkan punggung dengan perasaan yang masih bercampur aduk.

“Kau harus percaya padaku. Kita berdua dalam bahaya.”

Ucapan Marshella kembali terngiang-ngiang dalam benak lelaki itu. Marvel menyingkirkan wajah yang terlihat jujur dan penuh harap itu.

“Aku harus berhati-hati dengan gadis itu.” Marvel mengeluarkan gawai dari dalam saku jaketnya. Seraya mencari nama seseorang dan menghubunginya. Tak lama kemudian, panggilan pun terjawab.

“Dean. Batalkan kerja sama dengan Purple Publisher. Kita tidak akan mengadaptasi novel Marshella Wood untuk film.”

“Apa? Sebentar! Tapi kita sudah mendapatkan investornya, Marvel.” Suara serak Dean terdengar di seberang. Marvel menebak, manajer perusahaannya itu baru saja terbangun dari tidur nyenyak.

“Cari cerita lain untuk projek itu. Masih banyak penulis baru yang novelnya juga booming di pasaran.”

“Waktunya sudah terlalu mepet, Marvel! Kita sudah mengincar novel ini sejak awal. Production House kita terlalu kecil untuk nama besar perusahaan kakekmu. Ingat, kau tidak akan mendapatkan posisi CEO kalau gagal di sini. Bayangkan apa yang akan dikatakan oleh Albert, pamanmu. Kau bilang, dia saingan terberatmu, kan?” Kini, suara Dean terdengar frustasi.

“Lalu kau memintaku percaya dengan cerita omong kosong penulis itu?” tukas Marvel dengan hati gondok.

“Apa maksudmu? Cerita omong kosong apa?”

Marvel menggelengkan kepala beberapa kali. “Tidak. Lupakan saja! Intinya, batalkan kerja sama itu. Masalah investor akan kuurus segera.”

“Marvel, kita harus bicara. Kau tidak bisa mendadak membatalkan sepihak begini.”

Marvel mengusap pelipisnya. “Ini bukan sepihak. Penulisnya juga tidak mau bekerja sama.”

“Kau … bertemu dengan Nona Marshella Wood? Larut malam begini? Sebentar! Kau di mana?”

“Kenapa kau jadi sangat cerewet, Dean?” keluh Marvel.

“Kakekmu tadi ke kantor. Kau tidak ada dan tidak bisa dihubungi. Jangan mentang-mentang cucunya lalu kau ….”

“Ya, ya, ya, berhentilah mengoceh, sahabatku. Aku tidak akan menghancurkan projek kita. Projek ini bisa membuatku memiliki Dawson Group.” Marvel memasang sabuk pengaman. “Aku sedang dalam perjalanan ke London. Mungkin baru sampai menjelang pagi. Kita bicarakan besok di kantor.”

“Memangnya kau di mana?”

Belum sempat menjawab, seseorang muncul tiba-tiba di depan mobil Marvel.

Nona Wood?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status