“Nona Wood?”
Gadis itu terlihat ketakutan dan mengetuk—sedikit lebih keras dan tergesa-gesa—kaca jendela mobil Marvel. Pria itu segera menurunkan kaca mobil, mematikan koneksi panggilannya dengan Dean begitu saja.
“Apa yang terjadi? Kenapa kau terlihat … berantakan?” tanya Marvel dengan penuh keheranan melihat penampilan acak-acakan Marshella Wood. Belum sampai lima belas menit yang lalu mereka bersama dan penampilan penulis itu sudah sedemikian berbeda.
“Tolong aku, Tuan Dawson!” Bibir Marshella bergetar. Berkali-kali ia menoleh ke sekeliling, seakan-akan sesuatu akan muncul dan menerkam.
Marvel memang merasa kesal sejak meninggalkan kamar hotel tadi. Namun, ia kesal dengan kisah “reinkarnasi” Marshella, bukan pada gadis itu. Ia pun turun dari mobil dan berusaha menenangkannya.
“Hei, lihat aku! Aku di sini. Apa yang membuatmu ketakutan?” Marvel memegang kedua bahu Marshella. Wajah penulis itu pucat pasi.
“Tarik napas, buang, lalu cerita padaku.” Pria itu berbicara dengan lembut. Ia sangat jarang melakukan itu pada wanita mana pun dan se-menggoda apa pun itu. Namun, melihat Marshella yang seperti baru saja mengalami hal buruk, membuatnya melupakan perdebatan mereka beberapa saat yang lalu.
“Tuan … Dawson.”
“Sudah kubilang, panggil saja Marvel. Kita sudah cukup saling mengenal sampai berada dalam kamar hotel yang sama, bukan?” Marvel mencoba sedikit bercanda untuk mencairkan ketegangan yang dirasakan Marshella.
“Mana jaketmu, Marshella?” Ia baru menyadari bahwa gadis itu juga kedinginan tanpa ada syal tebal ataupun jaket yang membungkusnya.
Marshella menggelengkan kepala berkali-kali. “Kita … kita harus segera pergi … dari tempat ini.” Kata-kata gadis itu terputus-putus. Napasnya tidak beraturan. Tubuh gadis itu juga semakin menggigil. Marvel segera melepaskan jaket dan mengenakannya pada gadis berambut ikal sebahu itu.
“Masuklah. Di dalam lebih hangat.” Marvel menuntun Marshella ke dalam mobil. Ia lantas kembali duduk di belakang kemudi.
Marshella menoleh ke luar jendela dan ke belakang. “Marvel, please! Bisa bawa aku keluar dari tempat ini?” Air muka gadis itu seperti hendak menangis.
Marvel masih bisa merasakan bahwa ketakutan Marshella belum hilang. Mau tak mau, pria itu menurutinya. Ia mengangguk menenangkan.
“Ya, aku juga tadinya ingin pergi—sebelum kau datang.” Ia menghela napas. “Baiklah. Kita pergi dan kau harus menceritakannya padaku apa yang terjadi padamu.”
Porsche pun keluar dari basement hotel tua Kastil York, mengarah ke jalan utama menuju London.
“Ceritakan padaku, apa yang terjadi?” perintah Marvel sambil mengemudi. Ia mencoba tidak terdengar menekan dan dengan intonasi selembut mungkin agar Marshella bisa lebih tenang.
Terdengar isak dari gadis itu. Seraya melepaskan kaca mata dengan tangan gemetar. Marvel melihat itu. Ia pun meraih jemari Marshella dan menggenggamnya--menyetir dengan satu tangan.
“Seseorang—yang kita kira pelayan—datang lagi setelah kau pergi. Dia membawa beberapa orang dan … aku mengenal salah satunya sebagai Gale. Kami bertemu sehari sebelum Natal. Dia bahkan meminta tanda tanganku. Aku kira dia penggemarku. Dia dan sekelompok orang berbaju hitam lainnya menculikku. Tidak! Tidak! Mereka hendak membunuhku. Aku … aku berhasil kabur, tapi ….”
Kendaraan Marvel berhenti di persimpangan. Pria itu memeriksa lampu lalu lintas dan monitor yang menghitung mundur. Tak ada kendaraan lain yang berhenti. Kota ini benar-benar seperti kota mati di malam hari.
“Siapa mereka, Marshella? Dan kenapa … kenapa mereka ingin membunuhmu?” Marvel masih sulit mencerna cerita Marshella. Ia menoleh pada gadis itu.
Pria itu tidak yakin harus percaya atau tidak pada gadis ini. Namun, melihat penampilan dan raut pucat itu, sulit untuk mengabaikannya.
“Mereka sama seperti kita. Aku tahu kau tidak akan percaya, tetapi mereka … sama sepertimu yang dulu mengincar nyawaku. Semua sudah kuceritakan di sini.”
Marshella mengeluarkan novel Ice Flower dari dalam tas dan menyerahkannya pada Marvel. "Semua mimpi-mimpi itu benar, Marvel!"
Marvel menahan diri untuk berdebat.
“Aku tahu kau belum pernah membacanya, Marvel. Aku membawamu ke York karena mungkin … kau akan merasakan sesuatu yang lain. Sama seperti aku.”
Marvel membuang napas dengan kesal. “Jangan ulangi dongeng itu, Nona Wood.”
“Aku tidak sedang mendongeng!” Marshella setengah membentak dan itu membuat Marvel terkejut.
“Lalu bagaimana kau bisa yakin kalau orang yang ada di dalam mimpimu itu adalah aku?” Marvel merasa kepalanya ingin pecah karena kegilaan wanita muda di depannya ini. “Bisa saja itu orang lain—dan mungkin bisa langsung percaya dengan ceritamu.”
“Aku sudah bilang kalau aku melihatmu! Aku melihatmu dalam mimpiku. Pakaian kalian berbeda, tapi itu kau! ITU KAU! ITU KAU, KEITH!”
Marvel terkejut mendengar teriakan itu, apalagi kini Marshella menangis dan terlihat putus asa.
“Keith? Siapa Keith?” Marvel semakin bingung.
“Semua yang kuceritakan tentang kau dan aku di masa lalu itu benar. Kita terjebak dalam kutukanku di masa lalu. Aku adalah Kelly dan kau adalah Keith, pengawal seorang duke yang ingin membu—”
Suara bising terdengar memecah keheningan. Sebuah mobil SUV hitam menghantam moncong belakang kendaraan Marvel dengan sangat keras.
Porsche itu berputar-putar sebelum akhirnya menghantam tiang listrik. Sekelompok pria turun dari kendaraan yang menabrak mobil Marvel.
Marvel berusaha untuk tetap sadar saat mereka berjalan mendekat. Namun, pandangannya begitu kabur. Rasa sakit karena tabrakan yang baru saja terjadi langsung mengambil alih tubuhnya.
“Ini dia orangnya?” tanya salah satu dari mereka begitu mendekat. Marvel menatap mereka dari kaca jendela yang pecah. Napasnya tersendat-sendat. Pandangannya semakin kabur.
“Ya, Tuan.”
“Hm, mirip sekali. Sepertinya memang dia, Keith si pengkhianat! Lalu yang di sebelahnya adalah … gadis itu?” tanyanya lagi.
“Benar, Tuan.”
Suara berat itu terdengar menghela napas. “Baiklah, kita habisi pengkhianat ini sebelum Tuan Putri. Jangan tinggalkan jejak dengan pisaumu itu, Gale!”
Marvel yang terluka parah melihat salah satunya mengeluarkan benda tajam. Pria itu hendak melawan, tetapi tubuhnya tidak ingin bekerja sama. Seraya perlahan menoleh pada Marshella yang bersimbah darah dan tidak sadarkan diri.
Kemudian, seseorang membuka pintu dan lengannya dicengkeram sesuatu yang tajam. Perih. Marvel merintih dengan napas tersengal-sengal.
“Kau harus membayar nyawa yang kau ambil dengan berkhianat pada Tuan Frederick beratus tahun yang lalu, Keith. Butuh waktu yang sangat lama untuk menemukanmu di tengah-tengah London. Untungnya tuan putri itu tidak cukup pintar dengan membawamu ke sini. Di sinilah seharusnya kita mengakhiri semuanya. Kau dan tuan putri kesayanganmu itu!” Setiap kata-kata diucapkan pria bernama Gale itu dengan mendesis dan penuh dendam.
“Gale, dia milik Tuan Frederick! Kau harus menyisakan sedikit kesadaran.”
“Ah, sayang sekali.”
Sesuatu yang tumpul membentur kepala Marvel dan suara Marshella kembali terdengar. Aku adalah Kelly dan kau Keith, pengawal seorang lord. Kita dalam bahaya, Keith. Kau dan aku.
Marvel pun tak sadarkan diri.
***
Pemberontakan York, Tahun 1489 [Marshella menyentuh kepalanya yang sakit. Seraya membuka mata dan mendapati dirinya berada di tempat yang tidak asing. Mimpi itu datang lagi. Gadis itu berdiri dan melihat dirinya masih mengenakan pakaian seperti yang biasanya, bukan tipikal pakaian yang dikenakan wanita di abad pertengahan. Artinya, ia tidak akan terlihat oleh siapa pun. Marshella mengamati sekeliling ruangan. Tidak ada siapa-siapa di sini. Perlahan, gadis berambut ikal sebahu itu meraih kenop pintu dan membukanya. Suara hiruk pikuk terdengar dari segala penjuru. Marshella menuruni tangga dan berjalan kea rah sebuah papan pengumuman di pinggir jalan, dekat keramaian. Papan pengumuman itu mengingatkannya pada majalah dinding saat sekolah dulu. Seraya membaca baris huruf yang tertulis di perkamen berwarna kecokelatan.
“Aku tidak mau menikahi Lord Frederick!” [Marshella terkejut.] Kelly nyaris berteriak pada ibunya. Ia tidak bisa menerima saat Lyana membahas surat lamaran itu setiba di benteng menara yang sudah tidak digunakan. Mereka memilih untuk beristirahat di sini sebelum melanjutkan pelarian menuju biara di kaki gunung atau memutuskan untuk kembali dan menerima lamaran itu. [Marshella sendiri bisa merasakan kegundahan Kelly.] “Kau akan aman di sana, Kelly. Lord Frederick menawarkan pengampunan atas apa yang telah dilakukan oleh ayahmu jika kau menerima lamarannya!” tekan Lyana. “Jadi, Ibu juga menuduh ayah berkhianat? Ibu tidak percaya ayah?” Kelly tidak percaya dengan sikap ibunya. “Kecilkan suaramu!” perintah ibunya berbisik. Kelly membuang muka. Lyana menghela napas. “Bu
[Marshella melihat Kelly menghampiri Keith yang berdiri di samping sumur tua. Selain pemuda itu, tak ada orang lain. Rider mengikuti dari belakang Kelly untuk berjaga-jaga.] “Apa yang kau inginkan?” tanya Kelly tidak ramah. Ia sedikit menyipitkan mata. “Jawaban, Nona.” Pemuda itu menjawab singkat. “Tuan Frederick menyuruhmu menunggu jawabanku?” tanya Kelly lagi. Pemuda itu kembali mengangguk. “Siapa namamu?” “Orang-orang memanggilku Keith, si penunggang kuda.” Pemuda bernama Keith itu tidak menunjukan ekspresi apa pun. “Baiklah, Keith si Penunggang Kuda. Sampaikan pada Tuan Frederick kalau aku mengajukan syarat untuk pernikahan ini.” “Kau tidak bisa melakukannya, Nona.” Keith menatap lurus pada Kelly. “Kenapa?” Keith diam sejenak. Kali ini, wajah dinginnya menunjukkan emosi. “Karena ini lamaran untuk menyelamatkan semua
“Mereka penjahat yang bodoh,” gumam Marshella setelah berhasil membuka semua rantai. Seraya lantas mencoba mendengar suara dari balik pintu. Hening.Marshella semakin menempelkan telinganya ke daun pintu. Lagi-lagi tidak mendengar suara apa pun. Lalu tiba-tiba kenop pintu diputas dari luar.Mata Marshella membola, tubuhnya menegang. Pintu pun dibuka seseorang dan orang itu adalah pria yang ia temui saat turun dari bus di malam sebelum Natal.“Oh, bagaimana kau bisa melepaskan diri?” Ia menoleh ke rantai di tempat tidur dan melihat kunci tergeletak di sana. “Ah, aku ke sini karena ketinggalan kunci itu,” lirihnya lalu kembali menatap Marshella.“Otakmu berpikir cepat juga, Nona Wood.” Seraya mendekat dan membuat wanita itu terdorong mundur. “Begitu sadar, kau benar-benar memanfaatkan kesempatan.” Matanya menatap tajam.&n
Siapa? Marshella menebak siapa pemilik suara itu. “Tenanglah. Saluran pembuangan ini punya banyak cabang. Kita berada di sisi tebing. Di bawah sana adalah mulut gua. Jangan bersuara jika tidak ingin suaramu menggema dan mereka tahu posisi kita.” Marshella mendengus. Siapa yang bicara di antara kita saat ini? Ingin rasanya melontarkan kalimat itu. Akan tetapi, mulutnya masih dibekap oleh orang di belakangnya. Suaranya sangat familiar, tetapi tidak mungkin orang ini adalah dia. Marshella memberikan isyarat agar pria itu melepaskan bungkaman di mulutnya. Pria itu mengerti dan segera menyingkirkan tangannya. Marshella bernapas lega. Ia pun menoleh dengan susah payah. Matanya membola. “Marvel?” Marvel meletakkan jari di bibirnya. Marshella segera menutup mulutnya sendiri. Pria itu lantas
“Don'ttrust everyoneyou meet, evensaltlooks likesugar.” -Anonymously- *** “Jadi, sekarang kau percaya padaku?” tanya Marshella setelah mereka berada cukup jauh dari kastil. “Sama sekali.” Marvel membaca papan petunjuk jalan yang baru saja mereka lewati. “Sepertinya jalan ini menuju Whitby.” “Benarkah?” Marshella ikut menoleh keluar. Namun, papan petunjuk arah sudah terlewati. “Yah, setidaknya lebih baik bertemu drakula daripada komplotan itu lagi.” Whitby memang terkenal sebagai tempat untuk ‘bertemu’ drakula atau vampire sejak sebuah novel klasik berlatar tempat itu tentang makhluk itu karangan Bram Stoker muncul tahun 1897. Marshella hanya memutar kedua bola matanya. Ada hal lebih penting yang ingin ia ketahui. “Lalu, ken
“Don'ttrust everyoneyou meet, evensaltlooks likesugar.” -Anonymously- ***** “Dari mana kau tahu ada tempat seperti ini?” Marvel mengedarkan pandangangannya ke sekeliling tebing yang mengarah langsung pada dermaga. “Apa tempat ini juga muncul dalam mimpimu?” Ada nada mengejek yang disuarakannya. Marshella menahan diri untuk tidak membalas ejekan itu. “Aku tahu dari pramuniaga di toko sepatu tadi,” jawabnya singkat. Seraya menjatuhkan diri ke atas sofa dan merapatkan jumper musim dingin yang dicuri Marvel dari wagon. Sejujurnya, dia merasa bersalah karena mengenakan jumper ini. Ia berjanji akan kembali ke toko itu dan membayarnya. “Orang tadi mengatakan kalau ada pub di atas bukit ini yang sudah tutup karena merugi. Pemiliknya sedang mencari pembeli. Ide ke sini
“The truth is rarely pure and never simple.” -Unknown- Marvel mendekati Marshella yang mengigau. Keringat dingin membasahi pelipis wanita muda itu. Bahkan kerah kemejanya sudah sangat basah. Bibirnya bergetar. “Hei, hei! Nona Wood, bangun!” Ia mengguncangkan bahu penulis muda itu dengan khawatir. Kepala Marshella bergerak ke kiri dan kanan dengan cepat. Si penulis masih terus mengigau, tubuhnya menegang. Marvel menangkupkan kedua tangannya dan mengusap berkali-kali. Ia menduga, Marshella mengalami gejala hipotermia. Seraya melepaskan jaket tebal dari tubuh dan hendak menyelimuti wanita muda itu. Saat itulah, Marshella terbangun. Ia terkejut akan kehadiran Marvel yang begitu dekat dan menarik diri ke belakang. “Jangan mendekat!” bentaknya. Matanya mengeluarkan air mata. Marvel terkejut mendapatkan reak