Share

Chapter #2 Kamar 22

“Temui aku akhir pekan ini di Hotel Castle York, Kamar 22. Jangan beritahu siapa pun. Marshella Wood.”

 ***/***

Undangan penuh makna. Pesan itu terselip di dalam lembaran draft kerja sama projek antara penerbit novel fantasi Ice Flower karangan Marshella Wood, Purple Publisher dan Dawson Group.

Ini adalah projek penentu bagi Marvel. Jika dia berhasil, perusahaan Dawson Group akan menjadi miliknya. Itulah janji Gregory Dawson, sang kakek. Demi itu semualah Marvel rela mengambil projek di production house yang ditawarkan sang kakek.

Belum tiga hari dari waktu yang sudah diberikan, penulis muda itu sudah memberikan jawaban. Lalu karena pesan singkat itu, Marvel mengendarai Porsche dari London ke York tanpa memberitahu siapa pun.

“Kamar hotel?” Marvel menyunggingkan senyuman.

Tidak ada ruginya juga menghabiskan waktu bersama wanita itu di hotel. Anggap saja seperti wanita lainnya yang ia temui setelah clubbing. Marshella tidak terlihat seperti wanita murahan, tetapi ia akan tahu begitu sampai di kamar itu.

“Dia terlihat tidak menyukaiku tempo hari, lalu sekarang ingin bertemu di hotel.” Senyumnya tak berhenti tersungging membayangkan apa yang akan mereka lakukan nanti di kamar hotel nan jauh dari London itu.

Namun, baru satu jam bersama Marshella Wood, Marvel bisa menilai kalau penulis muda itu tidak waras. Marshella terlalu tenggelam dalam dunia fiksi fantasi karyanya sendiri.

“Kau tidak percaya kata-kataku?”

Bola mata sebiru samudera itu menatap tajam pada pria berjaket kulit yang sedang mengerutkan dahi. Ekspresinya penuh harap atas jawaban apa yang akan dilontarkan Marvel Dawson.

“Pak Dawson.”

“Panggil saja Marvel. Bukankah kita sudah sepakat?” potong Marvel.

“Marvel,” ulang Marshella. “Aku mengatakan yang sebenarnya.”

Penulis itu kembali menatap dalam pada bola mata Marvel. “Kau dan aku sudah terhubung seperti yang kuceritakan dalam novelku. Kita sudah ditakdirkan untuk bertemu lagi setelah kematian datang berabad-abad yang lalu.”

Hening.

Hanya lima detik kemudian, suara tawa memenuhi ruang kamar.

“Jadi, kau mengundang orang yang sangat sibuk sepertiku ke kamar hotel murahan hanya untuk membuatku mendengar cerita dongengmu itu?” tanya Marvel di sela tawa penuh ejekannya.

Seraya menghela napas dengan kecewa. “Sayang sekali, ternyata penampilanmu yang seksi tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya,” ujar lelaki itu lagi. Ia meraih gagang cangkir cokelat panas. “Padahal aku sudah membayangkan kita akan melakukan hal yang lebih seru di kamar ini.”

Marshella merona malu.

“Aku pikir kau mengundangku ke sini dan memintaku untuk merahasiakan pertemuan kita, itu semua karena ingin melakukan tawar menawar denganku. Tentu saja aku akan membayar tinggi untuk ini.”

Matanya turun ke kemeja tebal yang dikenakan Marshella. Dua kancing paling atas dibiarkan begitu saja. Tanktop putih terlihat dari baliknya, menyatu dengan kulit. “Tawar menawar yang akan membuat kita berdua sama-sama puas,” seringainya nakal.

Gadis dua puluh satu tahun itu buru-buru berbalik dan berujar, “Aku tidak mengundangmu ke sini untuk berbuat yang aneh-aneh, Marvel.” Ia meraih syal merah dan mengalungkannya ke leher. Menutupi keindahan yang baru saja diintip Marvel.

Marvel tersenyum melihat sikap malu-malu yang ditunjukkan penulis itu. Ia kembali menyesap cokelat panas dari cangkir. Pria itu lantas bersedekap tangan di depan dada dan menyandarkan punggung ke kursi rotan. Suara derit terdengar.

“Kalau begitu undanganmu salah. Seharusnya kita bicara bisnis di kantor dan melakuan sesuatu yang manis di hotel. Bukan begitu?” selorohnya tanpa meninggalkan intonasi menggoda.

“Lalu kenapa kau datang ke flat-kuflat adikku untuk membicarakan bisnis?” tukas Marshella.

Ujung bibir Marvel terangkat. “Kau tahu caranya berdebat, tapi setidaknya aku tidak datang sendiri, kan?”

Marshella menggigit bibir bawahnya. “Itu … aku hanya memikirkan tempat yang paling aman untuk membahasnya.” Marshella memperbaiki kaca matanya.

“Lalu, tempat itu adalah hotel?” Lagi-lagi Marvel tertawa mengejek.

“Hei,” panggilnya. Suara bariton nan lembut membuat Marshella terhenyak. “Kau mungkin terlalu sering menghabiskan waktu untuk mengarang cerita fantasi. Dongeng pengantar tidur tentang putri seorang bangsawan dan prajurit. Kisah cinta kasta tertinggi dan terendah yang mengundang bencana.”

Marvel menghentikan kata-katanya. Ia berdiri dan berjalan mendekati Marshella. “Tapi, aku lebih suka mendengar dongeng tentang seorang wanita muda yang penuh gairah, memenuhi undangan pria kaya ke hotel mewah. Lalu keduanya melakukan sesuatu yang lebih membuat adrenalinku membuncah. Kau punya cerita seperti itu, Nona Pendongeng?” Seraya menunduk dan mendekatkan wajah pada wajah Marshella.

Marshella merasakan wajahnya memanas.

“Marvel. Aku mengajakmu ke sini bukan untuk melakukan sesuatu yang kau bilang manis.” Wajah gadis itu bersemu merah. Ia segera mengalihkan pandangan dan berjalan ke sisi jendela.

Terdengar helaan napas penuh kebosanan dari Marvel. “Kalau begitu, kita bicara bisnis saja. Aku sudah jauh-jauh datang ke sini untuk memenuhi undanganmu. Setidaknya, aku mendapatkan sesuatu. Bagaimana tawaranku?”

“Lalu saat datang ke York ini, apa kau tidak merasa ada sesuatu yang berbeda?” Marshella tidak mengindahkan pertanyaan pewaris Dawson Group itu. Matanya memindai jauh ke luar jendela kaca yang gelap. Hanya lampu di puncak menara kastil berwarna merah yang memberi penerangan.

Ia menyewa kamar di lantai empat. Di bawah sana, jalanan York sudah sepi. Ini sudah terlalu larut. Wisatawan akan lebih memilih untuk menikmati makan malam di hotelnya daripada berkeliaran menjelajahi kastil-kastil di York.

“Sesuatu yang terasa seperti menyedot semua tenagamu,” imbuh Marshella. Ia masih mengamati suasana sepi di luar sana hingga tak menyadari Marvel telah berdiri di belakangnya. Pantulan lelaki itu terlihat di kaca jendela.

“Ya. Aku merasakannya, Nona Wood. Kalau kau berkenan, aku bisa benar-benar menyedot tenagamu. Jika itu yang kau maksud.” Marvel berbisik tepat di telinga Marshella.

Gadis itu terkejut dan lagi-lagi segera menjauh. Namun, ia sempat mendapati senyum seringai lelaki itu dari sudut mata.

“Tolong jaga sikapmu, Tuan Marvel!” Marshella memperingatkannya dengan menggunakan sapaan sopan.

“Orang yang memanggilku ‘Tuan’ biasanya pelayanku dan aku bebas melakukan apa saja pada mereka,” tukas Marvel dengan santai.

Marshella terdiam. Ia hanya menatap lelaki di depannya dengan pandangan penuh kekecewaan. Ia tidak menyangka kata-kata yang menurutnya tak bermoral itu keluar dari bibir pria ini.

Ekspresi gadis itu membuat Marvel mengernyitkan dahi. “Kenapa?” tanyanya.

“Aku mendapat penglihatan dari mimpi. Awalnya kupikir itu hanya mimpi biasa sampai akhirnya aku terus bermimpi yang sama. Aku pun menuliskannya dan mimpi itu berganti ke mimpi lainnya. Itulah yang ada di dalam novelku. Begitu seterusnya sampai aku ceritanya seperti yang ada dalam novelku.”

Marvel mendengus bosan.

“Lalu, kau datang beberapa hari yang lalu. Malamnya, aku kembali bermimpi. Kau ada di mimpiku.”

“Ya, banyak wanita yang bermimpi tentangku. Lalu apa yang kita lakukan di mimpimu itu? Apa kita menikmati ranjang yang panas?”

Wajah Marshella kaku. “Aku serius.”

“Aku hanya serius dalam dua hal, wanita dan uang. Pelayananku untuk mendapatkan keduanya tidak main-main,” seringai Marvel.

“Lalu bagaimana dengan hidup dan matimu?” tukas Marshella.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status