Share

Bab 3. Ketidakberdayaan.

Aku melerai pelukan, menatap mata Roy dengan tajam.

"Satu-satunya penyesalan gue adalah pernikahan, Roy. Seandainya gue nggak menggantungkan harapan kepada seorang pecundang, setidaknya masa depan gue masih bisa diselamatkan." Penyesalanku.

Alara Adelista adalah nama yang orangtuaku berikan, dan membuangku di panti asuhan dibandingkan yang lain. Aku di buang hanya sepekan dilahirkan. Di tempat penampungan anak terlantar aku tumbuh besar dan mengenal dunia yang terbatas.

Pendidikan hanya berhenti sampai SMP. Karen pihak panti mengalami keterbatasan biaya, padahal aku tahu ada oknum yang korup dan memutar dana yang dikirim pemilik yayasan atau para penyumbang.

Tak perlu kujelaskan bagaimana ku lewati hari-hari ditempat penampungan dengan oknum yang mata hatinya dibutakan dunia.

Hingga di titik terendah.

Kehidupan saat aku menerima uluran tangan dari lelaki yang menjanjikan kehidupan layak setelah pernikahan akan tetapi nyatanya, setahun setelah dia menciptakan indahnya cinta dan kehidupan setelahnya pernikahan, aku tak menyangka bahwa neraka dunia sedang menanti setelahnya.

Semuanya masih terekam jelas dalam ingatan, meski lima tahun telah berlalu, saat dia lepas genggaman tanganku dan melemparku ke dasar yang terdalam.

Demi rupiah yang tak seberapa dia gadaikan diri istrinya disebuah pusat pelacuran masih lekat dalam ingatan, nyeri bercampur jijik, ketika pertama kali aku merasakan tubuh dijamah orang yang tak dikenal. Ketika tangis tak lagi terdengar, dan teriakan dibekap oleh bantal. Yang kurasakan setelahnya adalah sebuah pelukan dari Tante Alesha.

Hari-hari yang kulewati setelahnya tak kalah kejam. Tiap langkah yang kutapaki tak ubahnya duri yang menikam. Aku hanya bisa pasrah menerima takdir yang sudah digariskan.

***

"Da, nasi padangnya, bungkus tiga yah," pesanku.

"Yang biasa, mbak,?" Tanyanya.

"Iya. satu paru, satu babat, dan satu lagi ayam." Kataku.

"Siap." Jawabnya.

"Sembari menunggu pesanan siap, di depan warung uda Una aku duduk di bangku sebelah pria tua yang sialnya ku kenal sebagai tetangga.

"Orseran sepi hari ini neng? Tumben pulang cepat." Ucapnya.

Kurapatkan jaket yang membungkus pakaian terbuka di dalam sana.

"Bukan urusan bapak." Sinisku.

Dia tersenyum sinis sambil menyesap kembali rokok yang terselip di sela jarinya.

"Kalau harga tetangga, bisa berapa kira-kira?" Katanya sinis.

Mata itu menatapku dari atas ke bawah.

Kupejamkan mata lalu menghbuskan nafas panjang setelahnya.

Memng sulit menjelaskan pada lalat-lalat bahwa bunga lebih berharga daripada sampah, terkadang lalat-lalat ini hanya peduli tentang apa yang menarik di matanya, bukan bagaimana konsekuensinya.

"Inget umur, Pak. Kasian bini yang tiap hari nunggu di rumah," jawabku sekenannya.

" Munafik.

Belum saja lo di usir sama warga.

Aku tertawa pelan, satu lagi hal yang ku benci dari para lelaki yang tak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Terkadang mereka bukan hanya menyerang fisik, tapi juga mental.

Beberapa warga didaerah sama yang mengenalku sebagai PSK kerapku melontarkan kalimat sama bila aku tak mau memenuhi keinginan mereka.

"Ini jakarta, Pak. Di sini saya punya rumah dan nggak pernah minta makan dari belas kasihan warga. Lagian tempat ini bukan punya nenek moyang bapak. Punya hak apa usir-usir saya." Sindirku jelas.

"Goblook, nggak be_" dia m nghentikan kalimatnya.

"Mbak Alara pesannya sudah siap," panggil Uda Una menyelamatkanku dari mulut comberan aki-aki yang haus belaian wanita.

Aku mengambil kantong keresek yang disodorkan dan mebayar pas jumlah harga yang sudah kuhapal di luar kepala, lalu bergegas meninggalkan warung nasi di mana lelaki tua itu berada.

"Lama-lama lo bakal kena tulahnya, Alara! Hidup nggak selalu adil buat para pendosa." Ucapnya mengeluarkan kekesalan.

Aku menghentikan langkah, lalu menatap nyalang kearahnya.

"Sejak kapan hidup adil buat para pendosa? Bukannya hidup yang memaksa mereka buat bertahan di tengah kerasnya dunia?" Jawabku membuatnya diam tanpa kata lagi.

Tua bangka itu kehabisan kata dari balik kaca aku lihat Uda Una hanya bisa menatap dengan mata sayunya. Isyarat itu seolah memerintahkanku untuk bergegas pergi dan tak perlu meladeni pria tak tahu diri ini.

***

"Ma," sekejap tarikan tangan mungil itu berhasil menarikku dari semua ingatan menyakitkan.

Kutatap wajah bocah berumur tujuh tahun yang dengan lahap menyantap ayam goreng dan nasi padang yang kubawa.

"Ya, sayang." Jawabku cepat.

"Papa kapan pulang? Kata Nenek ini tahun ke lima Papa nggak pulang. Nani pengen lebaran tahun ini kita kumpul bersama." Ucap s kecil sambil melahap makanannya.

Bagai palu godam yang mengahantam aku hanya bisa terbungkam pertanyaan yang kerap kali keluar dari bibir mungil itu, yak ubah membuatku kelabakan.

Tak seperti caraku memaki dunia yang kejam, mulutku terlalu kelu untuk mengungkapkan kebenaran pada bocah yang hanya tahu makan dan jajan.

Aku terlalu pengecut untuk mengatakan dengan lantang bahwa bajingan yang dia panggil Papa mungkin tak akan pernah kembali mungkin bajingan yang sudah melemparku ke jurang dengan segudang beban tengah menikmati kebahagiaan dengan istri barunya yang kaya.

"Nggak apa-apa, sayang.

Di sana, kan Papa cari uang, buat jaja dan sekolah Nina. Buat berobat Nenek buat belanja Mama, kita doakan saja semoga Papa baik-baik saja." Ucapku terpaksa berbohong.

Aku memanas ketika melihat wanita tua membawa segelas air dan duduk di sebelahku. Mengusap kepala cucunya penuh sayang.

Ingin sekali meneriakan bahwa kehidupan mereka yang layak bukan berkat si bajingan, tapi berkatku.

Namun aku terlalu pengecut untuk menorehkan luka

Di mata wanita tua persakitan dan bocah tujuh tahun yang selama ini sudah kuanggap sebagai anak kandung sendiri.

"Aku permisi ke kamar sebentar!" Ucapku beranjak pergi.

Akhirnya aku memilih beranjak dari kursi ruang tamu menuju kamar. Menutup rapat pintu dihadapan dan menumpahkan tangis dibaliknya.

Sejauh ini aku sudah berusaha kuat menjalani tiap kehidupan.

Berbagai hinaan dan cercaan tak pernah membuatku gentar.

Namun, saat melihat wajah-wajah tak berdosa akuenggantungkan harapan pada seorang bajingan yamg telah meninggalkan. Aku tak berdaya.

Mereka adalah titik lemah yang membelenggu dalam semggar. Merekalah yang embuatku terpaksa menjalani pekejaan yang tak kuinginkan.

Kalu saja di beri kesempatan, yang kuharapkan hanyalah kebebsan.

"Semua orang punya pilihan, lo cuma perlu nunggu kapan kesempatan datang."

"Seandainya kamu diberikan lagi satu kesempatan, akankah kamu bersedia keluar dari lingkaran setan."

Tiba-tiba aku teringat ucapan Roy dan si tampan dalam waktu yang bersamaan.

Sejenak kuseka air mata, yang berguguran, lalu bangkit untuk meraih ponsel yang bergeletak diatas kasur bersaan dengan itu kurogoh mantel yang semula kukenakan dan menemukan kartu nama lelaki bernama Arga.

Dering mengalun beberapa kali sampai suara yang bisa menggetarkan iman itu akhirnya terdengar.

"Halo," sapanya.

"Halo, ganteng. Ini Alara. Cewek seksi dan bahenol yang tadi. Bisa ketemu besok pagi." Ucapku dengan suara jelas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status