"Sebenarnya saya malu, makanya bertindak berlebihan sepeerti tadi. Semoga kamu bisa mengerti posisi saya seperti ini." Arga menunduk dalam dengan tangan yang dia remas bergantian, seketika aku simpati dan mencoba melupakan apa yang terjadi."Oke, anggap yang tadi nggak pernah terjadi nggak usah diperpanjang." Ucapku mencoba lebih tenang.Mengingat posisi Arga aku mulai mengerti, pasti tak mudah menjalani semua ini tanpa didampingi sang istri yang saat ini masih terbaring tak sadarkan diri."Mr, Arga. Ms, Alara. The result is already!" Dokter bule yang menemani Dokter Antoni tadi tiba-tiba datang menginterupsi. Aku yang tak mengerti apa yang dia katakan hanya bisa menatap Arga dengan dahi bertautan."Hasilnya udah keluar, Alara," terang Arga yang membuatku bangkit. ***"Enberio berhasil dibuahi! Saat ini kita hanya perlu melakukan proses permindahan pada rahim ibu pengganti." Dokter Antoni menunjukkan pada kami hadip penggabungan benih dari balik komputer.Bisa kulihat Arga mengusap
"Nggak ada yang minta Bu Riska untuk membandingkan mereka. Naya dan Alara punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. " Bu sarah menimpali, ucapannya berkelas sekali. Terlihat siapa yang lebih mengedepankan adab dibanding ilmu di sini.Bu Riska tak menjawab lagi. Dia lekas pamit dan menarik suaminya pergi.Sepeninggal kedua mertuanya, kulihat Arga memutar tubuh menghadapku. Sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya."Alara, kamu itu apa-apaan," tanyanya."Bagus, Nak." Sentak Bu Sarah yang membuatku dan Arga terlonjak seketika. "Sekali-kali Bu Riska itu emang harus diladeni biat nggak seenaknya." Lirih Bu Sarah tersenyum tipis. "Mama nggak usah ngompor-ngomporin!" Pak Arman memperingati Istrinya. "Kenapa, sih, Pak? Emang kenyataannya, kok. Kadang Mama nggak suka dengam gaya bicara besan perempuan kita. Kesannya juwama. Sering banget kalau lagi kumpul keluarga dia ngomongin hal-hal yang nggak berguna, bahkan mamerin hartanya." Ucap Bu sarah."Biasanya yang begitu OKB, B
"Alara!" Panggilan Arga membuyarkan konsentrasiku.Roy sialan. Akhir-akhir ini sepertinya aku memang harus membatasi diri dengan mahluk tulang lunak itu sebelumnya dia benar-benar berhasil mencuci otakku."Eh, iya ada apa?" Entah kenapa aku gelagapan sendiri."Kita makan malam sama-sama di bawah." "Emang Nila masak?" Pertanyaan konyol itu terlontar begitu saja."Maksundnya?" Arga mengernyitkan dahi tak mengerti. "Biasanya, kan kita nge-gopud." "Nge-gopud?" Dia tampak terkejut.Aku mengangguk mengiyakan."Hooh, bentar!" Aku berlari kecil menuruni tangga, lalu menemukan Nila yang tengah menyeruput mie instan dalam pancinya."Nge-gepud apa hari ini kita Nil?" Tanyaku."Ng, itu, anu..." Nila merasa gugup."Jadi selama ini kamu nggak pernah masak?" Suara Arga menggelegar di belakangku."Uhuk!" Nila tersedak, hingga mie yang tengah ia seruput keluar dari hidungnya. Tak bisa kubayangkan betapa perihnya itu. Sementara itu, Arga berjalan cepat membuka kulkas, dia geleng-geleng saat melih
"Paketnya, Bu!" Dia menyodorkan sebuah kotak sedang yang bobotnya ringan kehadapanku."Terimakasih, Bu." Katanya berlalu pergi.Untuk siapa paket ini ditujukkan dia berlalu begitu saja.Meskipun sempat kebingungan, akhirnya aku mengedikkan bahu dan kembali menutup pintu. Terlihat nama penerima yang tertera adalah Amelia, sementara pengirimannya tak menyebutkan nama dan hanya menulis nomor ponsel. "Nil!" "Ya, Mbak?" Tampak terlihat Nila berlari tergopoh-gopoh dari arah kamar mandi."Maaf, habis buang hajat tadi." Ucapnya dengan napas tersengal-sengal."Oh, beol. PNesan nggak nyaut dari tadi ke" aku memutar bola mata. Lalu menyodorkan pada Nila paket yang kuterima tadi. "Ini ada yang kirim paket buat Amelia, dari Singapura kayanya, ngomong-ngomong siapa Amelia?"Hadeuh. Tuh, tukang paket kayaknya salah kirim lagi. Seminggu lalu juga nyasar ke sini."Punya tetangga sebelah, nanti biar saya yang anterin." Lanjutnya."Oh, ya udah. saya mau keatas lagi kalau begitu." Ucapku dengan melan
"Bu Amelia?" Tanyaku hati-hati.Dia menatapku lama, sebelum tersenyum dan mengangguk mengiyakan."Ada paket nyasar tadi." Aku menyodorkan kotak paket yang di bawa."Oh, iya. Makasih banyak." Dia tersenyum sumringah sembari mengambil alih paketnya."Sama-sama. Sekalian kenalin, saya Alara. Baru pindah sebulan lalu." Kuulurkan tangan setelahnya.Dia menyambut uluran tanganku setelah meletakkan paketnya di bawah. Tampak sopan dan ramah sekali.Kami bejabat tangan. Menatap langsung kedalaman masing-masing."Saya Amelia. Lain kali mampir, ya. kebetulan kami cuma tinggal berdu sama suami. Itupun beliau pulan tiap enam bulan sekali." Ucapnya lembut."Loh, emang suaminya kerja apa, Bu? Maaf kalau saya lancang." Tanyaku."Suami saya pelaut, Mbak. Nahkoda kapal." Jawabnya dengan senyum kecilnya."Wah, pantesan. Siap-siap. Saya nanti sering mampir. Kalau begitu saya pamit dulu, yah." Pamitku padanya."Iya, iya, Mbak. Sekali lagi terimakasih, ya. Aneh memang, paket saya sering banget nyasar." Kat
"Sebenarnya saya lebih suka main tarik-menarikan Lingerie." "Uhuk, ohok, huek!" Batuk Arga semakin parah saja, dia bahkan lari sampai ke wastafel terdekat."Lah, batuk, pak haji?" Cibirku."Diam, Alara," sentak Arga.Aku terkekeh geli saat saat mendengar Arga saat meneriakiku.***Tak terasa hari yang di nanti Nila akhirnya tiba juga. Dimna hari yang selama ini di nantikan yaitu pulang kampung. Dan cuti untuk sementara waktu. Membawa oleh-oleh yang sejak sipersiapkan jauh-jauh hari."Ingat pesan-pesan saya, ya, Mbak. Untuk menjadi istri yang berbakti h- hmmpt." Kujepit mulut Nila dengan jari."Iya, iya, sana pergi. Nila menenepis tanganku dengan bibir mengerucut lima senti."Jadi, ngusir? Ya udah, deh. Pamit, ya, Pak, Mbak. Ucap Nila sembari menyalami tangan Alara dan Arga."Ya, hati-hati," sahut Arga sembari membantu memasukkan tas Nila kedalam taksi.Lambaian tangan kami mengiringi kepergian Nila. Setelahnya kutatap Arga senyum dengan penuh arti."Berhenti menatap saya dengan eks
Kemudian aku masih di tempat, di ruangan kerja Arga, sementara Arga yang yang berada di kamar sebelah entah apakah yang dia cari. Aku menyusulnya untuk mengetahui apa yang dia lakukan tiba-tiba suara barang terjatuh di belakang, menginterupsiku. Terlihat Arga membawa sebuah kotak yang kuketahui sebagai laci lemari berisi banyak berkas warna-warna. Kuhampiri lelaki itu, lalu membantunya membereskan berkas-berkas Naya yang tercecer di lantai. Perhatianku teralihkan, saat melihat sebuah kertas data dari panti asuhan Tali Asih. Nama Alara Andaresta tersenat di sana. Lahir di jakarta, dia puluh lima tahun silam. Dari Ibu muda bernama pendek Luna.Terdapat pula hasil tes DNA dari sepuluh tahun lalu atas namaku. Tes tersebut menunjukkan kecocokkan DNA yang hampir seratus persen sama dari ibu dan ayah..."Jangan ganggu privasi Naya!"Belum sempat membaca seluruhnya, Arga sudah lebih dulu merebut berkas itu.***Seperti yang dilakukan tempo hari. Diam adalah cara paling efektif untuk mengui
Lekas aku membuka pintu."Ada yang bisa dibantu, Bu?" Bu Melani menggeleng pelan, lalu tersenyum kecil."Nggak, kok, Mbak. Saya cuma mau anterin ini. Kebetulan saya membuat soto betawi." Dia menyodorkan mangkuk dengan dua pegangan itu ke hadapanku."Aduh, saya jadi gak enak, Bu. Makasih banyak, ya. "Iya, sama-sama. Semoga suka, ya." "Eh, ngomong-ngomong Ibu udah makan?" Tanyaku."Udah, barua aja saya selesai makan." Jawabnya pelan."Sendiri?" Perempuan itu mengangguk."Suami saya baru pulang nanti sebulan lagi, Mbak."ujarnya."Ya, ampun kalau ngerasa kesepian gabung ke sini aja, Bu. Saya juga cuma berdua dengan suami. Asisten rumah tangga saya lagi pulang kampung." Ajakku dengan senyuman."Makasih banyak tawarannya, MbK Alara. Boleh, deh nanti sesekali saya mampir." Ucapnya mengiyakan."Siap, Bu. Pokonya ditunggu."Selesai berbincang-bincang singkat dengan Bu Amelia tadi, aku bergegas kembali untuk menawari Arga soto betawi. Namun, tepat saat aku meletakkan mangkuk tersebut di h