Share

Bab 7 Saling Emosi

"Alara." Suara Arga terdengar rendah tanda memeringati. Namun aku tak peduli.

"Begini Bu Alara, Pak Arga ini sedikit kesulitan ejakulasi bila yanpa sang istri.

Beliau juga nyaris tak pernah masturbasi." Jelas Dokter Antoni.

"Serius? Beneran ada lelaki yang tak pernah col_"

"Alara!!!" Suara Arga semakin meninggi.

"Sulit dimengerti, tapi kenyataannya memang begini," tutur Dokter Antoni.

Aku tersenyum penuh arti, lalu menatap Arga yang berdiri kaku diambang pintu.

"Saya tahu pikiran kamu, Alara!" Sentaknua panik.

"Udah nggak usah malu-malu. Aku tahu kamu butuh bantuanku." Kemudian aku turun dari brankar pemeriksaan, lalu berjaan menghampiri.

" Tidak, saya bisa sendiri!" Ucapku.

Dia lalu dengan wajah bersemu, sementara aku tertawa ditemani Dokter Antoni.

Seeninggal Arga, aku memperhatikan Dokter Antoni yang tengah mengotak-atik komputernya. Tatapanku tertuju pada beberapa formulir yang terdapat di meja kerjanya. Beberapa sampulnya bertuliskan Suragate mother dan invitro Fertilization.

Atau yang biasa kita kenal dengan metode kehamilan ibu pengganti dan bayi tabung.

Merasa ada pertanyaan yang ganjal sejak menjalankan segala prosesi medis ini, sebagai orang awam aku berinisiatif untuk bertanya.

"Dok!" Panggilku.

Dokter Antoni mengalihkan pandangannya dari layar komputer, kemudian menatap kearahku.

"Ya," jawabnya.

"Sebenarnya program ibu pengganti ini apa, sih, Dok?" Apa masih sama dengan metode bayi tabung? Bukannya keduanya sama-sama perlu tindakan medis?" Lirihku penasaran

Dokter Antoni tersenyum.

Kali ini dia benar-benar menghadap kearahlku.

"Saya jelaskan sedikit, yah, Bu. Untuk seorang perempuan bila harus memilih antara rahim dan indung telur, jelas indung telur yang harus dipertahankan. Karena produksi hormon itu dari indung telur, bukan dari rahim.

Jadi, bila ada indikasi penyakit yang mengharuskan seorang perempuan diangkat rahimnya. Masih ada kemungkinan untuk punya anak selama indung telurnya sehat.

Nah, indung telur yang bagus ini bisa kita gunakan untuk pinjam rahim dengan metode bayi tabung. Jadi secara ilmiah anak yang tumbuh di rahim anda nanti tetap anak kandung Pak Arga dan Bu Naya. Hanya di titipkan di rahim Bu Alara." Jelas Dokter Antoni.

Aku mangut-mangut tanda mengerti pemaparan yang Dokter Antoni lontarkan juga cukup sederhana dan mudah dipahami. Jadi, intinya proses proses surogasi ini masih berhubungan dengan bayi tabung. Hanya metode yang dilakukan berbeda.

Kemudian aku tertegun lama, lalu teringat percakapan dengan Arga saat menandatangani kontrak terakhir kali.

"Pernikahan yang terjadi hanya setatus. Tak akan ada kewajiban untuk menjalankan rumah tangga suami istri pda umumnya. Papa dan Mama adalah orang yang cukup paham, mereka ingin nasab cucunya jelas di mata hukum dan agama.

Jadi bagaimanapun setatus anak itu nanti, saya hanya bisa menyerahkannya pada takdir tuhan.

"Selebihnya bisa ibu tanyakan langsung pada Pak Arga." Ucapan Dokter Antoni berhasil menyentakku dari lmunan.

"Ngomong-ngomong tentang Arga saya baru ingat, kok dia lama banget, ya, Dok. Biasanya lima sampai enam menit kelar," cetusku saat melihat jam melingkar dipergelangan tangan,"

Dokter Antoni hanya tersenyum kecil. Menanggapi asumsi ngawurku.

"Tadi, kan saya sudah bilang kalau pak Arga kesulitan Ejakulasi, bila tanpa sang_" Dokter Antoni menghentikan kalimatnya.

"Iya, iya, tahu. Tapi, nggak sampe setengah setengah jam juga kali." Potongku sembari mendengkus kesal.

"Iya juga, sih." Akhirnya dokter Antoni sepaham denganku.

"Ya udahlah. Biar saya periksa dulu, siapa tahu dia nggak kuat liat auratnya sendiri." Aku beranjak dari hadapan Dokter Antoni yang terlihat masih sibuk dengan komputer dan data hasil pemeriksaanku.

" Eh, tak usah, Bu. Saya bisa minta asisten saya yang pergi." Ucapnya.

"Nggak perlu, Dok. Kelamaan biar saya aja yang pergi," potongku lagi.

"Eh, baiklah," Dokter Antoni pun menurut.

Tanpa basa-basi lagi, aku keluar dari ruang pemeriksaan menuju ruang martubrasi yang ada di pojok kanan koridor ruangan praktik Dokter Antoni.

Sejak kutempelkan daun telinga ke permukaan pintu untuk memastikan apakah masih ada kehidupan di sana. Namun, yang terjadi pintu tiba-tiba terbuka dari dalam. Dan tubuhku menabrak bidang yang berdiri menjulang di hadapan.

"Sejak kapan kamu berdiri di sana?" Ujarnya dingin.

Aku membenahi posisi, lalu menegakkan tubuh sembari memasang tampang datar, padahal perasaan sudah tak karuan karena kedapatan menguping tindakan tak senonoh seseorang, sepeerti orang mesum kurang kerjaan.

"Baru aja. Dokter Antoni yang minta aku buat nyusulin kamu, karena kelamaan di dalam. Takutnya pingsan," dalihku tak sepenuhnya benar.

"Saya butuh waktu." Jawabnya dengan datar.

" Aku tahu, kalau nggak gitu, ngapai sampai setengah jam di dalam." Tanyaku penasaran.

Arga tak menjawab dan hanya menatap dengan raut yang sulit. diartikan.

" Tapi, berhasil, kan?" Tanyaku kemudian.

Dia memalingkan pandangan, lalu menyembunyikan sebelah tangan kebelakang tubuhnya. Kurasa di sana terdapat gelas kecil yang diberikan Dokter Antoni untuk menampung sample benihnya.

"Ya." Hanya satu kata dengan datar.

"God!" Aku mengacungkan ibu jari kehadapannya.

"Kalau nggak berhasil, tawaranku yang tadi masih berlaku," cibirku dengan senyuman.

"Tidak perlu," jawabnya ketus, dan berlalu dari hadapanku.

Mengedikkan bahu, menatapnya yang berjalan lebih dulu, Namun. Baru beberapa langkah melaju, sesuatu yang menyembul dari balik saku belakang celananya menggangguku.

"Tunggu!" Panggilku.

Langkah Arga terhenti, dia menoleh menatapku. Sinis.

"Apa," jawabnya.

"Bukannya itu dalemanku?" Ucapku cepat.

Matanya melebar, lalu buru-buru menyembunyikan benda itu.

"Sembarangan, ini sapu tangan saya."ucapnya gerogi.

"Nggak mungkin, udah jelas itu kancutku! Pantesan habis pemeriksaan kucari-cari dari tadi nggak ketemu. Untung masih ada g-string set lingerie yang bisa kupake." Lirihku yakin.

Wajah Arga menggelap, dia membuang muka lalu membentakku.

"Tutup mulutmu, Alara! Atau kusumpal dengan ini," Uacapnya dengan emosi dan raut wajah yang memerah.

"O,ow. Arga ketahuan nyolong kancut orang, hayolo. Diam seperti cupu, bergerak menggasak dalaman!" Cibirku.

"Diam, Alara!" Teriaknya.

"Kenapa cuma wadahnya? Padahal isinya bisa aku kasih buat kamu." Ejekku.

"Diem, Alara!" Emosinya semakin menaik.

"Nggak usah malu-malu aku tahu kamu mau." Ucapku dengan senyum kecil.

"Alara!!" Ucapnya.

"Kita udah sah, Arga. Naya pasti ngerti." Rayuku.

"Tidak." Tolaknya.

Aku tertegun saat mendengar suara Arga meninggi. Di rumah sakit, sembari menunggu hasil, suaranya menggema sembari menunggu hasil ini.

"Berhenti bersikap murahan! Kalau seperti ini kamu semakin menjelaskan siapa dirimu." Ujarnya dengan emosi.

"Pelacur," sambarku.

"Kenapa nggak langsung aja sebut begitu?" Lanjutku.

Dia terdiam.

"Aku tahu siapa diriku, Arga. Kamu nggak perlu menjelaskan itu, semua orang udah tahu." Uacapku sedih.

"Maaf. " Dia tertunduk nada suaranya melembut.

"Dunia sudah terlalu keras, Arga. Jadi, jangan terlalu kaku. Emangnya yang punya masalah cuma kamu." Ujarku dengan rasa kesal.

"Masih marah." Tanyanya.

Kupalingkan pandangan saat Arga menghampiriku di ruang tunggu.

"Menurut situ?" Ucapku cepat.

Jujur aku masih kesal walaupun tak terlalu mengambil ucapannya. Setelah menjadikan dalamanku menjadi pantasi seksualnya seharusnya berterima kasih bukannya balik marah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status