Share

Bab 5. Pernikahan Kontrak

"Memang begitu prosudernya, Bu. Kami harus memeriksa kondisi rahim secara menyeluruh sebelum melakukan tindakan selanjutnya." Ucapnya lembut.

Dia sangat ramah menanggapi. Aku bahkan dibuat heran melihatnya untuk orang yang lama di luar negri tetapi sangat pasih berbahasa Indonesia.

"Sudah turuti saja," sahut Arga dengan entengnya.

"Turutu, turuti, palamu! Walaupun hobi ngangkang, tapi sedikit banyaknya aku juga masih punya rasa malu," ujarku sedikit kesal.

Dokter Antoni terkekeh geli.

"Tidak apa-apa, Bu. Ini hal biasa bagi saya rileks saja!" Katanya dengan tenang.

Akhirnya aku merebahkan diri, gugup sendiri, saat Dokter Antoni mulai memeriksa entah di mana harus kusimpan muka beserta semua rasa malunya saat dia mengobok-obok dalamanku.

"Aw, apa itu, Dok?" Reflek aku terlonjak.

"Cuma alat, Bu!" Dia mengacungkan alat menyerupai catok Roll Rambut tersebut." Katanya yakin.

"Oh, tolong pelan-pelan, dong, dok. Jangan asal sodok!" Ucapku merasa kesal.

"Alara!" Arga yang sejak tadi duduk jauh si kursi duduk akhirnya ankat suara.

"Apa? Kalau nggak pemanasan dulu sakit tahu!" Ucapku meringis.

Sementara Dokter Antoni itu hanya terkekeh geli.

"Maaf, yah, Bu." Katanya dokter Antoni sopan.

***

"Hasil pemeriksaan ada IUD tembag yang tetaham krang lebih 4-5 lima tahun, saya sudah lepas tadi. Selebihnya kondisi rahim dan jalan lahir sangat sehat dan terawat." Jelas Dokter Antoni.

"Oh, jelas. Tiap bulan perawatan."ujarku singkat.

"Alara..." Arga menegurku lagi.

"Apa sih?" Aku tersenyum tipis.

"Jaga ucapanmu!" Katanya sedikit emosi.

"Iya, iya. Maaf." Ucapku dengan lembut.

"Kita tunggu sebulan setelah masa ovulasi, setelah kitu kita langsung mulai pembuahan dan proses pemindahan pada rahim ibu pengganti." Jelas Dokter Antoni.

Siang berganti petang, saat kupikir Arga akan mengantarku ke unit apartemen yang di janjikan, dia justru membelokkan kendaraan ke komplek elite. Berhenti disebuah rumah yang paling besae di sana, lalu membawaku masuk ke dalamnya.

"Aku akan membawamu menemui istriku!" Katanya dengan tatapan lurus.

Langkahku terhenti tiba-tiba. Akhirnya aku akan tahu siapa wanita yang memilih pelacur di antara sekian banyak wanita baik-baik di luar sana, seorang istri yang rela berbagi suami hanya untuk mewujudkan satu-satunya harapan keluarga di tangan seoran wanita hina.

Arga mendorong pintu ganda yang terpampang dihadapannya. Setelah patahan kayu itu terbuk, alih-alih wanita sehat yang berdiri menyambut kami. Yang kulihat justru wanita lemah yang terbaring tak berdaya di atas ranjang besarnya.

Berbagai alat medis melekat bersama dengan penutup kepala dan pakaian kuterka tak pernah terbuka, selain di hadapan suaminya.

Maria Inaya. Gadis yang kupikir sempurna karena hampir memiliki segalanya. Anak dari pemilik yayasan panti asuhan di mana aku bernaung dulu. Lima belas tahu kami habiskan waktu bersama, berbagai banyak hal, bersenda-gurau. Sampai kusadari dunia kita berbeda, kasta membatasi kita.

Masih ingat dalam ingatan ketika dia pamit untuk melanjutkan study di luar Negri. Menangis di pelukanku. Dan bebisik di telinga, bahwa kita saudara. Aku tak mengerti maksudnya, dan tak pernah mendapat jawaban akan pertanyaan yang ambigu. Hingga sepuluh tahun berlalu tak pernah mendengar kabarnya.

Sampai Akhirny Arga datang dan memberi penawaran itu.

"Setahun lalu Naya dinyatakan koma setelah melakukan prosedur pengamgkatan rahim akibat tumor ganas yang menyerangnya. sebelum rahimnya benar-benar diangkat dokter berhasil mengawetkan tiga sel sempel telurnya.

Satu sudah saya gunakan tanpa sepengetahuannya, tapi berakhir gagal. Hanya tersisa dua.

Sebelum harapan kita benar-benar sirna, saya mengingat sebelum jatuh koma Naya pernah menitipkan pesan. dia pernah meminta saya untuk mencarimu awalnya saya sampai ragu, sangat ragu. Satu tahun bahkan sudah berlalu dan saya masih belum bisa juga mendapatakan jawaban itu tapi, entah kenapa, seminggu terakhir ini saya merasa benar-benar yakin padamu sebelum yang Naya katakan sebelum koma, selain tuhan mungkin kamulah satu-satunya harapan kami." Ceritanya jelas.

***

Hanya ada dua pertanyaan, yang menggelayut dalam benak

Saat kulihat sosok yang terbaring koma di atas ranjangnya, yaitu istri macam apa yang merelakan suaminya menikahi seorang wanita yang seringkali orang anggap hina karena pekerjaan yang digelutinya?

Calon ibu apa yang mengharapkan benihnya tumbuh di dalam rahim yang seringkali disinggahi cairan nista para lelaki durjana?

Aku hanya bisa tertawa saat pertama kali dia datang, menawarkan sesuatu yang lebih berharga dari intan permata. Menceritakan ketidak berdayaan istrinya.

Dan keputusasaan menghadapi masa depannya

Dia menjanjikan komitmen yang dibalut kesepakatan pernikahan kontrak setahun yang bernilai miliyaran untuk mengandung anak yang kelak akan mewarisi banyak harta dari kedua keluarga kaya yang diuji dengan ketidaksuburannya.

"Bisa kita mulai saja?" Pertanyaan dari lelaki berpeci, seketika membuyarkan lamunanku. Sudah sebulan sejak pertama Arga membawa penawaran itu.

Aku masih di sini, di ruang ruangan yang sama di mana wanita itu terbaring koma disaksikan dua keluarga yang membuktikan bahwa pernikahan ini sah di mata hukum agama tanpa paksaan dan tanpa cinta demi kesepakatan

Bersama. Kumihat lelaki yang sebentar lagi menjadi suami dari dua wanita berbeda mengusap wajah, mengangguk pelan.

Dia menatapku sejenak, kemudian menjabat tangan pria paruh baya yang diketahui sebagai seorang penghulu.

"Saya nikahkan dan kawinkan anda saudara Arga Pratama dengan Alara Andarista Binti Boni dengan maskawin, tunai!" Ucap Penghulu tersebut.

"Bagaimana para saksi sah?" Lanjutnya.

"Sah!" Semua serentak.

***

Ditepi ranjang aku menatap jenis lelaki ketiga. Seorang anak tunggal dari seorang anak kaya raya yang sayangnya menikahi sorang wanita yang tak sempurna. Segala cara di lakukan agar benih tumbuh menjadi seorang anak yang sudah mereka dambakan sejak lama.

Kalau dia mengizinkanku menikahiku, kenapa dia nggak mengizinkanmu menyentuhku? Bukan lebih mudah melakukannya dengan cara alami daripada teknologi yang memakan banyak waktu dan biaya?" Pertanyaan itu tercetus begitu saja, saat kulihat dia beranjak hendak pergi setelah menjelaskan segala hal aturan kontrak ini.

Arga berbalik menatapku.

"Naya tak pernah melarang menyentuhmu, Alara. Sayalah yang memutuskan untuk tak melakukan itu. Ini satu-satunya kesempatan kami untuk punya anak dengan DNA kami sendiri." Ucapnya jelas.

Aku tersenyum miring mendengarnya.

"Mungkin satu-satunya kesempatan dia, bukan kesempatan kamu. Dokter bilang kamu sehat, berarti tanpa dia kamu masih bisa punya anak dari wanita lain. Harusnya dia nggak egois, karena aku tahu setia lelaki pasti butuh.

Khususnya kamu yan udah lebih dari setahun nggak menerima hak itu." Lirihku.

"Jangn salah paham, saya menikahimu atas persetujuannya. Tanpa dia pernikahan ini mungkin tak akan pernah terjadi. Kami hanya ingin anak yang kamu kandung nanti jelas nasabnya, jelas siapa Ibu dan Bapaknya.

Dengan atau tanpa pernikahan saya sudah berkomitmen tak akan pernah mengkhianati Naya. Dengan menyentuhmu sudah pengkhianatan bagi saya. Jadi tolong mengerti. Jangan pancing saya. Anggap kamu bekerja untuk saya, dan kamu dibayar untuk itu. Jadi, tolong ikuti saja aturan saya." Katanya dengan semua ketetapannya.

Aku memalingkan muka, lalu tertawa sebenarnya apa yang dia kata masih terbilang biasa, tapi entah mengapa mendengar langsung dari mulutnya malah menimbulkan rasa yang sulit untuk mengerti.

"Oke, kalau kamu punya aturan, aku pun demikian. Membayar atau dibayar kita sama-sama punya hak dan kewajiban!" Aku menantangnya.

Arga terdiam.

"Aku tidak akan memancing, tapi kalau kamu terpancing berarti imammu lemah, kayakinanmu goyah. Kita lihat saja sampai kapan sabarmu berubah jadi pasrah!" Lanjutku.

Kutarik selimut, lalu terbaring dalam posisi menyamping, dari sudut mata kulihat dia beranjak pergi dan menutup pintu dengan hati-hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status