Share

Bab 4. Nekad Yang Kuat.

"Silahkan tanda tangan di sini!" Katanya.

Aku tertegun saat melihat pria berusia tiga puluh dua tahun itu menyodorkan dokumen bersampul jingga.

Sebuah kontrak kerja sama yang akan mengikat kita dalam sebuah kesepakatan tertulis.

Saat ini aku dan Arga sudah berada di sebuah kafe untuk membicarakan tentang penawaran tempo hari.

"Saya tak ingin ada rahasia jadi orangtua saya maupun orangtua istri saya juga akan mengetahui tentang kesepakatan ini. Dalam setahun kita bukan hanya terikat sebagai rekan kerja, tapi juga suami istri." Jelasnya.

Dahiku mengernyit dibuatnya.

"Jadi akan ada pernikahan nantinya?" Potongku begitu saja.

Lelaki berjambang tipis itu mengangguk pelan.

"Hanya setatus tak ada kewajiban untuk menjalankan rumah tangga sebagai suami istri pada umumnya. Papa dan Mama adalah orang yang cukup paham mereka ingin setatus dan nasab cucunya jelas di mata hukum dan agama.

Meskipun keluarga istri saya sempat menentang, mereka akhirnya bersedia setelah saya beritahu bahwa kesepakatan ini murni keputusan anak mereka." Katanya menjelaskan.

Kuhela nafas lega, tapi di satu sisi terasa ada yang menghimpit dada setelah lima tahun, aku kembali dihadapkan dengan komitmen dan pernikahan walaupun hanya sementara.

"Uang muka akan saya sertakan sebagai mahar dalam bentuk dolar, sisanya setelah kontrak kita selesai." Ucapnya tegas dan jelas.

Aku mengangguk pelan, lalu mulai meraih bolpoin untuk membubuhkan tanda tangan.

"Sebentar!" Serunya.

"Ya," kagetku.

"Apa kamu tidak akan membacanya dulu?" Tanyanya.

"Nggak perlu, wajahmu udah cukup meyakinkan. Kalaupun ada salah satu pihak yang melanggar, aku tinggal bawa kabur anak kalian." Jawabku jelas.

***

Setelah tanda tangan kontrak selesai. Secara resmi aku dan Arga terikat kesepakatan. Sembari mengemasi barang, tak henti aku terus memikirkan apa yang akan terjadi di depan.

Apakah keputusan yang ku ambil sudah benar? Apakah Nani dan Ibu Nita akan baik-baik saja setelah kutinggalkan. Apakah jalan yang kutempuh tak lagi menempatkanku di ambang tebing jurang? Apakah akan benar-benar keluar dari lingkaran setan seperti yang pria itu katakan?

"Alara?" Panggilan itu menyentak lamunanku dari segala pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban.

Diambang pintu kulihat wanita paruh baya itu sudah berdiri miring menopang tubuh ringkihnya. Dari hari kehari kuperhatikan semakin kurus kering. Akibat penyakit gagal ginjal yang sudah menderanya selama tiga lebih dari tiga tahun.

"Ya, Bu." Jawabku terkejut.

"Kenapa kamu harus kerja jauh keluar pulau? Apa nafkah anak Ibu yang kasih tiap bulan masih kurang?" Tanyanya serius.

Dia beranjak dan duduk di tepi ranjang sementara aku mematung di bawah lantai mencengkeram sehelai pakaian yang hendak dimasukan ke dalam koper.

Memang tak ada yang salah dengan pertanyaan yang Bu Nita lontarkan tetapi sesak yang ditinggalkan semakin terasa menekan. Ini adalah konsekuensi yang memang harus diterima bila menyembunyikan kebenaran dengan kebohongan yang di mulai harus ditutup dengan kebohongan. Kebohongan lain yang akhirnya berakibat fatal.

"Alara nggak sanggup, Bu." Aku masih terjaga memunggungi.

"Pernikahan Alarandan anak Ibu memang sudah tidak bisa dipertahankan. Istri manapun nggak ada yang tahan kalau lima tahun ditinggal tanpa kepastian." Jawabku dengan terus terang.

Keheningan mencekam membuatku sadar bahwa Bu Nita sedang berfikir keras sekarang.

"Setidaknya Andre masih bertanggung jawab, Alara buktinya dia masih kirim kita uang tiap bul_" ucapannya terhenti.

"Tutup mulut Ibu kalau nggak tahu apapun!" Sontak aku berbalik dan menatapnya tajam.

Bu Nita tertegun dalam keterkejutannya, aku yakin responnya akan lebih ektreme kalau kukatakan bahwa anak yang dia banggakan sudah menggugat cerai di hari yang sama saat dia melemparku ke neraka dunia, hingga terpaksa memberi kehidupn layak untuk dia dan cucunya dari tiap tetes cairan hina yang keluar dari tubuh manusia penzina.

"Apa maksud kamu?" Pertanyaan itu terlontar dari mulutnya setelah sekian lama.

"Semuanya udah berakhir, Bu. Saya bukan manusia suci aplagi wanita berhati bidadari. saya cuma mau bebas dari segala ikatan yang selama ini mencekik leher saya." Bisa kulihat pupil mata Bu Nita bergetar.

"Kamu egois, Alara!" Ucapnya merasa sewot.

Aku tersenyum miring sembari mengangkat dua koper yang sudah di siapkan.

"Ya memang saya egois." Jawabku dengan tegas.

Aku berlalu melewati yang membatu, sampi kusadari ada tubuh mungil yang entah sejak kapan sudah berdiri diambang pintu.

***

"Pokonya kabarin gue begitu sampe!" Tuntut Roy, begitu kami mengurai pelukan. Sejak berangkat ke bandara tak henti dia menangis dan memeluku sesekali.

"Oke, lebay banget, sih lu. Perasaan kita masih ada di Indonesia, cuma nyebrang pulau bukan nyebrang galaxi." Candaku.

"Kampret!" Roy menoyor kepalaku.

"Momen begini, lu bisa aja bercanda." Serunya.

"Hidup udah terlalu serius, jadi di bikin asyik aja," kutinjau pelan bahu bakarnya.

"Tuh, Mi. Liat si Alara. Nggak ada sedih-sedihnya mau pisah sama kita." Roy merajuk pada Tante Alesha yang berada disampingnya.

"Dih, ngadu." Seruku.

" Udahlah Mami tahu betul giman tabiat Alara. Dari semua yang Mami kenal cuma anak ini yang paling pintar menyembunyikan perasaan." Kata Tante Alesa tersenyum tipis.

Aku tersenyum kecil lalu kembali memeluknya.

"Udah, ah, kelamaan bikin si ganteng menunggu." Ucapku tersenyum.

Tante Alesha merelau pelukan kuikuti arah pandangannya yang menatap Arga dibelakang. Terlihat beberapa kali lelaki itu memeriksa Arloji.

"Roy, Tan! Titip Bu Anita sama Nani, ya!" Kata ku sambil melambaikan tangan.

Tante Alsha mengangguk, sementara Roy mengacungkan buku tabunganku yang dititipkan padanya. Semua uang yang Arga berikan beserta kupunya kuserahkan untuk biaya oprasi Bu Anita dan kepeluan Nina setahun ke depan.

"Sip. mereka aman di tangan yang tepat." Ucapku dengan melihat mereka dari kejauhan.

***

Menempuh kurang lebih satu jam empat puluh menit perjalanan dari jakarta ke batam, aku dan Arga tiba di salah satu kota indrustri tersebut tepat pukul sebelas siang tak perlu menunggu, kami sudah di jemput oleh seorang sopir mengguanakan mobil mewah.

Sembari menyusuri kota yang katanya lebih maju dari kota kepulauan Riau itu sendiri, Arga mulai menjelaskan tentang tujuan kami.

Tujuan pertama adalah rumah sakit yang bersiri di pusat Kota Batam, rumah sakit bertarap internasional yang sudah dilengkapi terkologi terkini.

Arga membawaku menemui seorang dokter muda yang umurnya bisa ku taksir pertengahan tiga puluhan. Berdarah tiongkok. Dokter Antoni namanya.

Dokter Antoni yang biasanya praktik di Singapura, sengaja didatangkan ke Indonesia atas permintaan keluarga Arga. Mereka pernah bekerja sama untuk melakukan proses bayi tabung pada istrinya di singapura satu tahun yang lalu.

Tapi usaha tak pernah berhasil mengingat kondisi sang istri yang tak memungkinkan untuk melakukan tindakan tersebut.

"Silahkan naik ke sini, Bu! Lepas celana dalamnya, lebarkan kaki, dan tumpukkan di tempat penyangga."perintah Dokter Antoni.

Aku mengernyitkan dahi saat dokter tersebut menuntunku untuk naik ke branker khusus.

"Harus lepas CD juga?" Kataku malu-malu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status