Share

Tiga

   "Apa kau sudah gila?" teriak Reon sambil berkelit menghindar. Ternyata orang yang diam-diam berniat menyerang dirinya tidak lain adalah Viara. Gadis itu tidak menggubris, ia tetap saja terus saja menyerang dengan sebuah tongkat besi.

   "Hentikan!" teriak Reon sekali lagi. Ia segera mencekal besi berukuran panjang tersebut dan menariknya hingga terlepas dari genggaman tangan Viara. Tindakan tersebut membuat gadis itu tersentak dan nyaris terjatuh. Reon sendiri segera melempar sejauh mungkin batang besi yang kini berada di tangannya. 

    Viara segera berjongkok dan memeluk lututnya sambil menangis. Ia merasa begitu kecewa dan marah pada dirinya sendiri karena tidak berhasil membalas dendam untuk Vino.

    "Kak, ka-u pasti kecewa padaku. Kak, ma-afkan aku. Aku adalah adik yang buruk. Seharusnya kau tidak mempunyai adik sepertiku," ucapnya kemudian dengan suara tersendat.

    "Jadi kau begitu marah karena kakakmu, tapi kenapa malah menyerangku?" tanya Reon. Kepala pria itu menunduk, menatap Viara sambil bersidekap. 

    Viara bergegas bangkit berdiri. Matanya masih terlihat nanar, meski begitu ia justru tampak marah.

    "Semua ini terjadi karenamu. Ka-kakku ... Yang terjadi pada kakakku, itu semua terjadi karena dirimu!" gertaknya.

    "Mana bisa itu menjadi salahku? Bukan aku orang yang telah membunuh kakakmu!"

    "Kau ...!"

    "Memang benar aku ingin membunuh kakakmu. Aku sangat ingin membunuhnya, tapi aku telah kehilangan kesempatan itu!"

    Viara tertegun.

"Lalu siapa mereka? Mengapa mereka mengincar kakakku?"

    "Mana aku tahu? Orang-orang itu, aku bahkan tidak mengenal mereka. Mungkin mereka sama sepertiku, juga memiliki dendam yang dalam pada kakakmu itu!"

    "Itu tidak mungkin. Kakakku orang yang baik!"

   "Kalau begitu, mengapa begitu banyak orang ingin membunuhnya?"

   Viara terpaku. Ia merasa seperti ini begitu mengetahui tentang Vino, tetapi ternyata mungkin ada hal yang tidak pernah ia tahu.

***

    "Bagaimana hasilnya?" tanya lelaki yang memberi tugas pada Aldrich dan Reon.

    "Maaf, Tuan Anderson, kami belum berhasil menghubungi mereka. Namun mereka adalah yang terbaik, mereka pasti akan berhasil," jawab lelaki lain yang berusia lebih muda. 

    Lelaki yang dipanggil Tuan Anderson tersebut berdiri dari duduknya sambil menggenggam tongkat di tangannya dengan erat. Seulas senyum tersungging di wajah yang telah mulai berkeriput.

    "Jika terjadi masalah, maka sebaiknya kita mencari jalan untuk melenyapkan mereka," ucapnya sambil menepuk bahu lelaki di hadapannya tersebut.

***

    Reon dan Viara duduk diam di dalam mobil sambil menatap ke arah lautan lepas. Ombak masih saja bergulung meski tidak setinggi tadi. Mentari juga telah semakin benderang memancarkan cahayanya.

    Viara tidak habis pikir setelah mendengar apa yang diceritakan Reon padanya. Pria tersebut seolah tengah membacakan sebuah kisah dongeng untuknya.

    "Jadi kau berasal dari masa depan?" tanya gadis itu setelah Reon berhenti bercerita.

    "Benar, lebih tepatnya aku dan Aldrich. Kami ditugaskan untuk membunuh kakakmu."

    Viara mendengkus keras.

"Kau berharap aku akan percaya itu? Semua hanya kegilaan kalian. Hal-hal seperti perjslanan waktu tidak mungkin ada. Kalaupun benar dari masa depan, kakakku tidak mungkin menjadi orang yang menyebabkan kematian banyak orang!"

    Reon menoleh dan menatap tajam gadis itu.

"Jika kakakmu itu orang baik, mengapa orang-orang itu membunuhnya?"

    "Mungkin mereka juga gila sepertimu!" sahut Viara dengan nada berapi-api. Matanya yang kembali berlinang air mata menatap balas pada Reon.

    "Dasar bodoh. Semua kejadian ini sudah memperlihatkan bahwa kakakmu bukan orang baik. Orang baik seperti apa yang ingin dibunuh oleh banyak orang?"

    "Sudah cukup!" gertak Viara sambil membekap erat kedua telinganya. Sedu sedannya semakin terdengar jelas.

    "Sebaiknya kau mulai menerima kenyataan kalau kakakmu memang adalah orang jahat," gumam Reon. Viara tidak menyahut, ia masih saja terus menangis. Perasaan tidak rela karena sang kakak dianggap sebagai penjahat terus berkecamuk dalam dirinya.

     Reon tidak lagi berbicara. Pandangan mata pria itu menatap lurus ke depan. Suara deru mobil membuatnya bersikap waspada. Tidak hanya satu, melainkan cukup banyak mobil yang mendekat.

     "Kita pergi dari sini!" ucap Reon sambil memasang sabuk pengaman. Viara masih tetap menangis tanpa peduli perkataan Reon. Reon segera melepas kembali sabuk pengamannya dan memasangkan sabuk pengaman pada gadis itu.

     "Hentikan tangismu. Kita pergi sekarang!" seru Reon lagi kemudian segera menyalakan dan memacu mobilnya.

***

    Mobil-mobil berwarna hitam metalik tersebut segera memburu mobil yang dikendarai Reon dan Viara. 

    "Siapa mereka? Kenapa mengejar kita?" tanya Viara.

    "Tampaknya mereka orang yang sama dengan yang membunuh kakakmu. Mereka mungkin ingin membunuh kita juga!"

    "Itu tidak mungkin. Kenapa mereka melakukan itu?"

    "Apa kau tahu yang dilakukan kakakmu?"

    "Aku sudah mengatakan padamu, kakakku tidak bersalah. Kami berdua tidak melakukan kejahatan apa pun hingga pantas diburu seperti ini!"

     Kaki kanan Reon menginjak pedal gas semakin dalam. Jalan di depan berkelok curam, tetapi pria itu tetap saja melajukan mobil dengan cepat. Di belakang, mobil-mobil berwarna hitam juga terlihat mengikuti dan melaju semakin cepat.

  "Kau pasti benar-benar sudah gila. Kenapa kita tidak berhenti dan mencoba berbicara pada mereka?" teriak Viara.

  Baru saja gadis tersebut selesai berbicara, terdengar bunyi suara tembakan berulangkali. Suara kaca belakang mobil yang pecah terdengar begitu keras.

   "Kau masih ingin berbicara dengan mereka? Mereka akan langsung membunuh tanpa bertanya saat ada kesempatan!" seru Reon.

   "Aku sungguh tidak mengerti semua ini. Hidupku semula baik-baik saja. Kenapa semua jadi seperti ini?"

   "Tidak ada yang baik-baik saja jika keluargamu adalah pembunuh."

   "Vino bukan pembunuh!" 

   Reon tidak lagi menanggapi karena tembakan semakin gencar dilepaskan musuh. Salah satu peluru kemudian mengenai ban belakang dari mobil Reon, menyebabkan mobil tersebut melaju tanpa kendali. Viara menjerit saat menyadari mobil melaju pada jurang curam. 

   "Buka pintumu dan segera melompat keluar!" perintah Reon pada gadis itu. Viara menggeleng ngeri.

   "Jika menolak, maka kau akan mati dengan tubuh hancur. Cepat lakukan sekarang!"

   Viara masih terlihat ragu. Sempat terlintas di pikirannya bahwa mungkin ini yang terbaik, jika kematian menjemput, maka ia akan bisa bertemu orang tua dan kakaknya. Pikiran tersebut menghilang saat Reon membuka pintu dan mendorong ia keluar dari mobil yang masih melaju.

    Tubuh ramping Viara jatuh menggelinding di tanah kasar dan berbatu. Wajah gadis itu kemudian mengernyit perih saat merasakan luka-luka gores di tangan. Sekujur tubuh juga terasa ngilu. Celana jeans panjang yang dikenakan juga sobek. Hal itu membuat lutut juga perih oleh luka. 

    Viara masih terus berbaring di tanah. Rasa sakit yang mendera sekujur tubuh membuat ia seolah tidak sanggup untuk bangun. Ia kemudian tersentak saat mendengar suara ledakan keras. 

    'Apakah itu mobil kami tadi? Reon, bagaimana nasib dia?' tanya Viara dalam hati.

'Apa dia juga sudah mati?'   

     

    

     

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status