Share

Enam

  Viara terbatuk-batuk saat Reon akhirnya memutuskan untuk melepaskan dia.

  "Aku tidak akan membunuhmu, tapi jika sekali lagi kau merendahkan Tuan Anderson maka aku pasti akan membunuhmu. Aku akan melakukannya, meski itu tidak sesuai misi yang kujalankan," geramnya.

  "Ternyata kau bisa juga berpikir di luar misimu itu. Kukira kau hanya bisa patuh dan tidak bisa membuat keputusan sendiri," ucap Viara dengan suara yang masih sedikit serak. Gadis itu mengusap lehernya yang masih menampilkan bekas memerah akibat cekikan tersebut.

   Reon tidak menanggapi perkataan Viara. Ia kemudian malah bangkit berdiri. 

   "Kau akan pergi sekarang?" tanya Viara.

   "Aku pergi setelah mengantarmu ke tempat aman."

   "Tempat aman? Apa masih ada tempat aman untukku? Para penjahat itu selalu saja menemukan kita, bukan?" 

   Reon terpekur sesaat. Dia juga merasakan hal yang sama. Kemanapun mereka pergi, dengan mudah ditemukan oleh musuh. Ia kemudian bergegas menghampiri Viara.

   "Buka pakaianmu!" perintahnya.

   "A-pa ... apa-apaan kau ini? Jangan macam-macam, ya!" sahut Viara sambil mendekap tubuhnya erat.

   "Siapa yang mau macam-macam? Aku hanya mau memeriksa, mungkin ada pelacak di tubuhmu."

   "Kau tidak perlu melakukannya!"

   "Apa kau ingin dibunuh oleh mereka? Jika ingin hidup, maka cepat buka pakaianmu!" 

   Karena Reon terus memaksa, Viara akhirnya menampar pria itu dengan cukup keras.

   "Kau ini ...!" geram Reon kesal sambil memegang pipinya yang memerah.

"Apa kau mengira aku tertarik melihat tubuhmu itu? Ingatlah, aku berasal dari masa depan. Di masaku itu, kau mungkin sudah menjadi nenek-nenek."

    "Itu di masa depan, tapi saat ini tentu berbeda!" sahut Viara sambil tetap memeluk erat tubuhnya sendiri.

    "Sudahlah, toh hidup matimu juga bukan urusanku. Setelah mengantarmu, kita tidak akan bertemu lagi."

    Viara tertegun. Dia baru saja bertemu Reon, tetapi pria itu telah menyelamatkan dirinya dan menjadi orang terdekat saat ini. Meski begitu, Viara memaklumi keadaan pria itu. Reon tentu juga ingin pulang dan bertemu orang terdekatnya. Namun, secercah kesedihan tetap saja menyeruak di benak gadis itu.

    "Jadi ke mana kita? Apa ada tempat aman yang terpikir olehmu?" tanya Reon menghentikan lamunan Viara.

    "Kita mungkin bisa ke kantor polisi."

***

    "Ada pembunuhan lagi?" tanya Wahyu kepada Ardi. Ardipun sontak mengangguk. 

    "Benar, seorang lelaki paruh baya yang tinggal di pinggiran kota. Ia teetembak di sebuah rumah kosong. Saya sudah ke sana dan melihat bahwa itu mirip dengan peristiwa yang menimpa Vino."

    Wahyu menyentuh dagu tanda tengah berpikir. Hari masih pagi dan ia sudah mendapat informasi tentang peristiwa itu. Ia sejenak berpikir mungkin kota yang telah menjadi rumahnya selama puluhan tahun, telah menjadi sarang mafia hingga orang bisa sembarangan membunuh orang lain.

    "Jangan terlalu cepat menyimpulkan, ini mungkin kasus yang berbeda," ujar Wahyu akhirnya. Ardi mengangguk.

    "Lalu bagaimana dengan Viara? Apa belum ditemukan keberadaan gadis itu?" 

    Kali ini Ardi menggeleng. Wahyu menghela napas panjang. Ada sesuatu dengan kasus ini, seorang adik tidak mungkin menghilang begitu saja saat kakaknya tewas terbunuh.

    'Mungkin sesuatu telah terjadi pada gadis itu,' duga Wahyu. Beberapa saat kemudian terdengar suara telepon berdering, Ardi segera mengangkat. Pria itu hanya diam saat mendengar suara di seberang. Bermenit setelahnya, ia meletakkan kembali gagang telepon pada tempatnya.

     "Ada apa?" tanya Wahyu saat melihat raut wajah anak buahnya tersebut yang terlihat bingung.

     "Telepon dari forensik, kata mereka ...." Ardi berhenti berkata-kata, wajahnya menunjukkan keraguan. Wahyu menatap pria itu.

     "Ada apa? Katakan saja!"

     "Mereka menemukan jejak DNA milik Viara dari rambut di rumah kosong. Ada roti dan obat di sana, sepertinya milik gadis itu, mungkin ia sempat berada di sana. Dan peluru yang ditemukan pada tubuh korban juga sama dengan peluru yang ada pada Vino."

     Wahyu diam tepekur.

"Apa kau yakin?" tanyanya setelah beberapa saat.

    "Itu adalah laporan forensik ...."

    "Kalau begitu, kita harus menemukan gadis itu secepatnya. Dia adalah kunci dari kasus ini!"

***

    Viara dan Reon berkendara menggunakan bus menuju kota. Perjalanan di menjelang siang tersebut semula berjalan lancar. Namun semua itu tidak bertahan lama.

    Sebuah mobil hitam berjalan cepat dan mendului bus tersebut. Mobil kemudian segera menghadang bus, sehingga kendaraan besar berwarna putih biru itu berhenti mendadak. Para penumpang bus tersentak ke depan, bahkan ada yang nyaris terjatuh. Mereka kemudian segera menggerutu dan memaki sang sopir serta kenek bus. 

    "I-tu bukan salahku, hanya saja ada mobil berhenti di depan kita," jelas sang sopir dengan nada ketakutan pada penumpang yang menghampiri dengan marah. Orang-orang tersebut kemudian melihat ke arah mobil hitam yang berhenti di depan bus. Mereka kebingungan saat melihat orang-orang berpakaian serba hitam keluar dari mobil tersebut.

    "Ada apa ini? Siapa mereka? Apa mereka penjahat?" tanya seseorang.

    "Lihatlah tampilan mereka, mereka seperti anggota mafia, mungkin mereka berniat merampok bus ini," sahut yang lain. Orang-orang tersebut kemudian menjadi panik dan ketakutan.

    Tidak lama pintu bus dibuka dari luar dan orang-orang berpakaian hitam tersebut bergegas masuk. Salah seorang dari mereka mendekat pada seorang lelaki berkumis yang tengah menelepon dengan ponsel. Segera ponsel itu dirampas paksa dan dibanting hingga pecah.

    "Kalian jangan mencoba berbuat macam-macam. Kami tidak kemari untuk mencelakai kalian, tapi ada orang yang sedang kami cari," kata seorang berambut kelabu yang berwajah persegi. 

    Ia kemudian menunjukkan foto dari Viara yang berukuran sebesar buku tulis. 

"Apa kalian pernah melihat gadis ini?"

    Semua terpaku hingga seorang pria yang berjaket putih menjawab,

"Aku melihatnya, dia berada di bus ini tadi!"

    "Antar aku pada mereka!" 

    Si pria berjaket putih mengangguk dan mengantar orang-orang tersebut ke tempat Reon dan Viara duduk. Namun kursi tersebut ternyata kosong.

    "Di mana mereka?" 

    "A-ku ... aku tidak tahu, ta-di mereka ada di sini," jawab si pria berjaket putih tersebut dengan suara bergetar. Ia sungguh ketakutan dan ketakutan itu semakin menjadi saat melihat lelaki berambut kelabu tersebut mengeluarkan pistol dan langsung menembak kepala wanita yang berada di samping pria berjaket putih itu.

    Hal itu membuat semua semakin ketakutan. Sang pria berjaket putih duduk di lantai bus sambil menekuk lutut. Tubuhnya gemetar hebat. Bercak darah dari sang wanita yang menjadi korban mengotori wajah dan pakaiannya.

    "Jika kau berkata tidak benar, maka akan ada yang menanggung akibatnya," ujar si rambut kelabu. Ia kemudian menembak seorang lelaki tua tepat di jantungnya. Lelaki malang tersebut merosot jatuh dengan darah membanjir di lantai bus tersebut. Para penumpang yang lain semakin ketakutan. Mereka hanya bisa duduk dalam diam dengan tubuh gemetar.

    "Kau harus ingat, kau yang telah membunuh mereka," ujar si rambut kelabu pada pria berjaket putih. Pria itupun hanya mengangguk lemah.

    

    

    

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status