Share

Dua

   "Apa kalian sudah gila?" tanya Viara dengan suara keras.

"Kakakku tidak mungkin melakukan itu. Kalian pasti salah orang. Kakakku bukan pembunuh!"

   Pintu kembali dibuka dari luar dan Reon bergegas masuk. Wajahnya tampak sarat dengan emosi. Aldrich segera menghalangi rekannya itu, tetapi Reon sontak mendorong menjauh.

   Reon menunduk di hadapan Viara. Tatapan matanya tajam menusuk manik mata Viara. 

  "Kakakmu adalah pembunuh. Dia sudah membunuh banyak orang. Dia bahkan menghabisi keluargaku!"

  Meski ketakutan, kepala Viara kembali menggeleng.

"Tidak, itu tidak mungkin, kakakku bukan orang seperti itu. Ia tidak akan membunuh orang!"

  "Terserah kau mau bicara apa, yang pasti kakakmu harus mati!"

  "Kakakku tidak mungkin membunuh. Dia tidak bersalah. Kalian yang sudah salah menuduh!"

  "Kau pikir kami hanya menuduh sembarangan?"

  Viara menggeleng sambil terisak. Gadis itu tetap saja mengatakan hal yang sama dengan suara tersendat. Tangan kanan Reon terangkat, hendak menampar gadis di depannya itu.

  "Reon!" seru Aldrich sambil mencekal tangan rekannya itu.

"Jangan terbawa emosi. Dia tidak tahu apa-apa."

  Reon melangkah mundur. Mata hitamnya masih tetap menatap Viara. Gadis tersebut balas menatap dengan mata nanar.

  "Dia tidak tahu bahwa kakaknya adalah orang jahat. Kita diberitahu orang terdekat kita adalah pembunuh, kita juga pasti tidak akan percaya," lanjut Aldrich lagi. Reon hanya diam dan mengangguk. Aldrich kemudian merangkul bahu pria itu dan mengajak keluar dari tempat tersebut.

   Saat pintu kembali tertutup, Viara menghela napas perlahan. Air mata mengalir perlahan. Ia kemudian menggeleng. Ini bukan waktunya untuk menangis. Ia harus mencari cara untuk menolong Vino.

***

   Vino melangkah pelan. Ia tadi baru saja pulang saat melihat selembar kertas tergeletak di lantai ruang tamu rumahnya. Ada yang meminta dia datang ke tempat yang terpencil itu jika ia ingin menyelamatkan Viara. Tentu saja Vino memenuhi permintaan itu. Setelah kehilangan orang tua, ia tidak ingin juga kehilangan adiknya.

   "Kau sudah berada di sini," tegur sebuah suara yang tidak lain adalah suara Aldrich. Di sampingnya berdiri Reon bersama Viara.

   "Kak, beritahu mereka. Beritahu mereka kau tidak bersalah. Beritahu mereka semua hanya salah-paham!" seru Viara.

   Vino mengangguk. Ia perlahan melangkah mendekat.

"Tenanglah, Ara. Tidak akan terjadi apa-apa."

   Ia mengalihkan tatapan pada Aldrich.

"Katakan padaku, ada apa ini?"

   "Kau tidak perlu tahu. Kau hanya harus mati!" geram Reon sambil mengarahkan pistol ke arah pria berkacamata tersebut.

   Wajah Viara semakin pias. Ia semakin kalut memikirkan cara untuk menyelamatkan sang kakak.

  "Reon, kita harus bertanya ...." 

  Kata-kata Aldrich belum selesai saat terdengar suara tembakan. 

  "Kakak!" teriak Viara sambil menangis. Di depan ketiga orang tersebut, sosok Vino ambruk bersimbah darah. Meski begitu tembakan yang ternyata berasal dari kejauhan tersebut tidak berhenti.

   "Kita harus pergi dari sini!" seru Aldrich sambil menarik tangan Viara. Gadis itu menggeleng dan bersikeras hendak mendekati tubuh Vino yang tergeletak di tanah. Tampak air mata bercucur deras di wajah Viara, sementara Vino menoleh pada adiknya itu dan menggeleng lemah. Sebutir peluru kemudian juga menembus tubuh Aldrich. 

   "Aldrich!" teriak Reon saat melihat rekannya itu juga jatuh dengan  darah mengalir keluar di pinggang belakangnya.

   "Pergi, cepat pergi dari sini!" teriak Aldrich sambil mengeluarkan pistol dari saku. Ia kemudian kembali menyuruh Reon membawa Viara pergi dari situ. Reon masih tetap diam. Begitu pula Viara. Mereka menunduk di balik rerumputan tinggi yang berada di sekeliling mereka seiring desing peluru yang terus menerpa.

   "Reon, kau harus pergi dari sini. Bawa dia bersamamu!" perintah Aldrich lagi.

"Aku akan tetap di sini untuk menghalangi mereka!"

   Reon menggeleng.

"Kita bisa pergi bersama."

  "Reon, apa kau lupa janjimu untuk menurut padaku? Kau harus patuh dan pergi dari sini!"

  Reon tetap saja menggeleng. Viara yang tengah menatap pria itu menyadari ada kecemasan di wajah Reon.

  "Aku akan tetap di sini. Aku juga akan melawan mereka!" tegas Reon. Aldrich menggeleng. Ia sekali lagi menegaskan agar Reon pergi dari sana bersama Viara.

  "Permasalahan ini jadi kacau. Semua akan percuma jika kita bertiga mati di sini. Pergilah lebih dulu. Kamu juga tahu aku sangat hebat. Aku pasti bisa lolos dari mereka dan menemukan kalian," bujuk Aldrich kemudian.

   Reon masih tampak keberatan, tetapi karena Aldrich terus mendesak, Reon akhirnya setuju.

   "Kau harus baik-baik saja dan menemukan kami!" ucap Reon akhirnya. Aldrich hanya mengangguk. Wajahnya terlihat pucat, tetapi seulas senyum tersungging di bibirnya yang juga nyaris seputih kertas.

    Reon meraih tangan Viara. Gadis itu sempat berpikir untuk menolak. Ia juga ingin tahu keadaan Vino. Pilihan untuk pergi dengan Reon juga buruk menurut dia, apalagi pria itu telah menculik dan nyaris membunuh kakaknya. Akan tetapi, ketika pikiran sehatnya kembali, ia tahu saat ini lari adalah pilihan terbaik, meski itu bersama Reon sekalipun.

    Keduanya berlari sambil menunduk untuk menghindari terjangan peluru, bergegas menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari situ. Rasa nyeri teramat sangat membuat Viara mengernyitkan kening. Saat menoleh, ia melihat rembesan darah segar di pundak kanannya. Ia dan Reon kemudian segera masuk ke dalam mobil. Tidak lama mobil tersebut dinyalakan oleh Reon dan melaju cepat menembus gelapnya jalan di malam hari.

***

   Viara membuka matanya yang terpejam. Ia tidak sadar entah sejak kapan ia jatuh tertidur. 

   'Mungkin sebenarnya aku tidak sadarkan diri karena luka kemarin,' gumamnya dalam hati sambil melirik pundak kanannya. Darah tampak masih merembes di sana.

   "Tidak parah, mungkin hanya tergores saja," ucap Reon yang ternyata masih duduk di sampingnya. Mobil yang dikendarai kini berhenti di tepi pantai yang tampak sepi. Pria itu kemudian mengulurkan kotak obat. 

   "Sebaiknya segera obati lukamu," suruhnya. Viara hanya mengangguk kemudian menerima kotak obat tersebut. Reon kemudian bergegas keluar dari mobil, meninggalkan Viara seorang diri.

   Sungguh merepotkan harus mengobati dan membalut luka seorang diri. Andai saja Vino ada bersamanya, kakaknya itu pasti akan segera turun tangan mengobati sambil menggerutu. Ingatan tersebut membuat air mata mengalir di wajah Viara. Kakaknya kini mungkin bahkan sudah tiada.

   'Mengapa semua ini terjadi pada kami? Semua baik-baik saja, kemudian ....'

   Viara menggeleng. Semua baik-baik saja sampai ia bertemu dengan dua orang yang mencari kakaknya, Reon dan Aldrich.

***

   Reon menatap lurus ke arah pantai. Hari telah berganti pagi dan sinar mentari juga semakin cerah. Ia tidak mengerti dengan yang sebenarnya terjadi. Semua seharusnya berjalan lancar. Namun kini ia bahkan tidak tahu di mana Aldrich berada dan nasib dari rekannya itu. Mungkin ia salah telah meninggalkan Aldrich seorang diri.

    Sikapnya berubah waspada saat menyadari ada orang yang hendak menyerang dari belakang.

    

   

   

   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status