"S-sherly...." Andi dan Laras sama-sama terkejut melihat kehadiran Sherly.
Mereka terlalu fokus pada Agni, sampai lupa dengan sahabat Agni yang merupakan juara Taekwondo tingkat nasional itu.
"Iya, ini gue. Kenapa, kaget? Nggak pernah liat cewek cantik dan bahenol kayak gue?" Tanya Sherly jenaka.
"Bu-bukan gitu, Sher. Ta-tapi...." Ucapan Laras terhenti, saat melihat telapak tangan Sherly terangkat di depannya.
"Stop! Gak usah drama. Ck, emang bener kata orang, ya. Jodoh itu cerminan diri. Emang pas banget sih kalian, si brengsek emang cocoknya sama si murahan." Sherly mengarahkan telunjuknya kearah Andi dan Laras, sambil menggeleng pelan.
"Untung aja sahabat gue cepat sadar. Kalo nggak 'kan, kasihan. Dia yang cantik dan suci malah di selingkuhin sama cowok mokondo kayak lo." Sherly menatap Andi dengan penuh penghinaan.
"Dan buat Lo, penyesalan terbesar dalam hidup gue adalah kenal sama perempuan murahan kayak lo. Manusia nggak punya hati, yang tega nusuk sahabatnya sendiri cuman buat laki-laki kayak dia. Rendahan banget, Lo. Cuihh..." Sherly meludah dengan jijik.
Belum puas, Sherly menoleh pada kedua orang tua Laras. Orang yang selalu memperlakukan Agni seperti anak mereka sendiri. "Dan buat Tante dan Om Prayoga, aku nggak nyangka Tante dan Om juga turut andil nyakitin, Agni. Bener-bener nggak punya hati. Kalau itu mertua Agni, aku nggak akan kecewa, karena mereka emang bukan manusia. Tapi, Tante dan Om? Nggak tau lagi...." Sherly benar-benar menunjukkan raut penuh kekecewaan.
Gina Prayoga sudah ingin menjelaskan, kalau mereka tidak tau kalau Andi adalah suami Agni. Namun, dia tidak bisa. Terlalu banyak mata yang melihat mereka saat ini. Wanita paruh baya itu hanya bisa mengucapkan maaf, dengan gerak bibir pada Sherly.
Suara Sherly yang sangat keras, berhasil membuat semua orang tercengang. Bisik-bisik mulai menyebar seperti lebah. Membuat pasangan Prayoga itu merasa sangat malu.
"Ya udah, deh. Nggak penting juga. Kalau gitu gue pulang dulu. Gue doain kalian selalu menderita, dan keluarga kalian nggak pernah bahagia sampai mau memisahkan. Amin," ucap Sherly dengan tulus.
Membuat Laras dan Rani mengepalkan tangan mereka.
Sherly yang sudah akan berbalik, menghentikan langkahnya. "Oh iya, gue lupa. Gue punya hadiah buat kalian berdua," ucap Sherly sambil membuka clutch di tangannya.
Mereka yang memang ingin Sherly cepat pergi dari sana, memperhatikan clutch milik Sherly. Hingga beberapa saat tidak ada apapun yang dikeluarkan dari sana. Hanya Sherly sajalah yang mengangkat wajahnya dengan senyum manis, yang terlihat sedikit menyerahkan bagi Andi dan Laras.
"Gue lupa, kalau hadiahnya ada di tangan gue," ucap Sherly sambil memamerkan gigi putihnya.
Andi mengangkat sebelah alisnya, pasalnya tidak ada apapun di tangan Sherly. "Hadiah apa?"
"Ini...." Sebelum semua orang bisa menyadari apa yang terjadi, sebuah bogem mentah telah mendarat di batang hidung Andi.
Bukk
Andi mengadu kesakitan, sementara para wanita menjerit, terkejut dengan tindakan Sherly.
"Itu hadiah dari, gue. Minta terima kasih dong," ucap Sherly dengan menunjukkan watados¹ nya.
Laras membelalakkan matanya. "SHERLY! Kamu benar-benar keter—"
Plak
Ucapan Laras terhenti, saat tangan Sherly mendarat mulus di pipinya. Saking kerasnya tamparan Sherly, wajah Laras sampai menoleh kesamping. Darah segar bahkan menetes dari sudut bibir Laras.
"Banyak omong, Lo. Itu hadiah dari gue. Nggak usah minta terima kasih." Wajah tanpa dosa milik Sherly tidak berubah sama sekali. "Gue balik, bye...."
Ditengah tatapan kengerian dari orang-orang di ruangan itu, Sherly melangkah dengan santai, bahkan dia bergaya seperti tengah melangkah di panggung runway.
....
Saat turun dari pelaminan, Agni segera melangkahkan kakinya keluar dari Hotel itu. Dia bahkan tidak menghiraukan suara Sherly yang terus memanggil namanya. Tujuannya saat ini hanya pergi dari sana. Agni tidak ingin menghirup udara yang sama dengan para pengkhianat itu.
Agni terus memacu langkahnya dengan kepala tertunduk. Pada belokan menuju tempat parkir, dia tidak sengaja menabrak dada bidang seorang pria.
Tercium aroma Musk yang menenangkan, aroma yang sedikit familiar bagi Agni. Namun, Agni yang saat ini dalam keadaan buruk tidak mengangkat wajahnya, dia terus menunduk. "Maaf," ucap Agni kemudian pergi.
Meninggalkan sang pria yang tengah terpaku di tempatnya. Netra sepekat malam milik Pria itu terus mengikuti langkah Agni, hingga menghilang bersama mobil Sherly.
"Tuan." Suara pria di sampingnya, mengalihkan pandangan pria itu dari mobil Sherly.
"Pulang," ucap pria itu setelah lama terdiam.
Bawahannya ingin menyela, karena mereka baru saja sampai dan belum menyapa kedua mempelai, tetapi ia menelan semua kata-katanya mengingat tempramen Tuannya yang tidak biasa.
Pria dingin itu hanya mengangkat sebelah tangannya sebagai tanda tidak ingin dibantah. Kemudian berjalan kearah mobilnya. "Minta Reinhart untuk mengikuti mobil itu," ucap pria itu lagi.
"Baik," ucap bawahnya sembari menunduk.
***
Setelah meninggalkan Hotel, topeng yang sedari tadi Agni kenakan akhirnya pecah juga. Air mata yang telah mati-matian ia tahan mengalir dengan deras.
Agni sudah berusaha menguatkan hatinya agar tidak menangis. Namun, hal ini sangat menyakitkan baginya. Orang yang dia kira akan selalu membawa kebahagiaan, nyatanya orang itulah yang memberikan luka terbesar.
....
Andi adalah cinta pertamanya, orang yang mengajarkan Agni tentang artinya cinta. Pria pertama yang mengajaknya berkomitmen dan dengan berani menggenggam tangan Agni di depan orang tuanya.
Mereka telah menjalin hubungan sejak Agni masi duduk di bangku sekolah menengah atas. Andi yang saat itu menjadi mahasiswa di salah satu universitas ternama di ibu kota, mengajak Agni berpacaran setelah pertemuan tidak sengaja mereka di kedai ice cream.
Cinta pada pandangan pertama, menjadi alasan Andi mengajaknya untuk menjalin hubungan. Saat kedua orang tuanya berpulang karena kecelakaan, Andi dengan lantang mengatakan akan menjaga Agni selamanya. Hal yang membuat seorang gadis SMA yang naif, menggantungkan harapan padanya. Akan tetapi, semua yang di ucapkan Andi dulu terdengar seperti omong kosong bagi Agni kini.
Melihat sahabatnya yang belum berhenti menangis, Sherly segera menepikan mobilnya. “Nangis Tha, keluarin semua unek unek lo. Tapi, setelah ini, lo jangan lagi ngeluarin air mata, buat bajingan itu. Ingat, ada Aska yang nungguin Lo di rumah,” ucap Sherly.
Kata-kata Sherly benar-benar menyentuh titik sensitifnya. Agni langsung mengeluarkan semua yang ia pendam sejak tadi. “Aku nggak nyangka dia setega itu Sher. Entah sudah berapa tahun mereka bermain di belakangku. Me-mereka sampai punya anak segede itu. Bahkan Laura sama Aska umurnya cuman beda setahun Sher,” ucap Agni dengan disertai isakan.
Agni masi tidak habis pikir dengan kelakuan Andi dan Laras. Jika anak mereka saja hampir seusia Aska putranya, lantas sudah berapa lama mereka membohonginya?
Pertanyaan itu yang sejak tadi berputar di kepala Agni.
Pantas saja Laras memandangnya dengan penuh ejekan, dia memang terlihat seperti orang bodoh.
Agni selalu mempercayai suaminya, dia juga selalu memberikan dukungan pada Laras untuk tidak menyerah pada cintanya.
Akan tetapi, suaminya malah berkhianat, dan sahabat yang dia dukung menjadi duri dalam rumah tangganya.
‘Sungguh miris’ batin Agni
Melihat Agni yang sudah mulai tenang, Sherly kembali melajukan mobilnya.
Saat memasuki kediaman Agni, mereka melihat mbok Inem—ART Agni, tergopo - gopo kearah mobil Sherly.
“Tolong nyah, tolong... Itu, den Aska demam tinggi sejak tadi,” ucap Mbok Inem, dengan suara sarat akan kepanikan.
Mendengar apa yang dikatakan mbok Inem, Agni segera berlari masuk ke rumahnya.
“Si mbok kenapa nggak hubungin, saya?” Tanya Agni.
“Sudah nyah, tapi telepon nyonya tidak aktif,” kata mbok inem lagi.
Ah iya, Dia terlalu memikirkan para pengkhianat itu, hingga tidak mengaktifkan teleponnya. Sungguh ceroboh.
***
“Anak ibu mengalami demam biasa. Setelah demamnya turun, bisa langsung dibawa pulang,” Ucap dokter yang menangani Aska.
"Terima kasih, Dok."
Ucapan dokter membawa angin segar bagi Agni, seolah-olah tali transparan yang sejak tadi menghimpit dadanya telah terlepas.
Setelah menghadapi kejadian yang membuat emosinya terkuras sejak tadi, Agni seperti tidak mampu berdiri di atas kakinya lagi. Dia jatuh terduduk di kursi tunggu ruang perawatan Aska.
“Apa rencana lo buat kedepanya? Lo nggak ada niat buat rujuk sama bajingan itu kan?” tanya Sherly.
Agni menggeleng, "Aku juga nggak tau Sher. Selain karena aku nggak punya keluarga, aku juga nggak punya pekerjaan. Aku bingung mau pergi kemana bersama Aska. Tapi, satu hal yang pasti, aku nggak mau rujuk sama Mas Andi,” ucap Agni.
Agni memang tidak bekerja lagi. Dulu, ia pernah bekerja di salah satu Bank swasta di ibu kota. Namun saat Andi mendapatkan promosi jabatan, Andi memintanya untuk berhenti bekerja, dan Agni menuruti keinginan suaminya itu.
Ucapan Agni membuat Sherly membuang nafas lega. Sherly tidak akan ikhlas jika sahabatnya itu kembali bersama Andi. Menurutnya, Agni terlalu berharga untuk disia-siakan oleh Andi. Sherly berjanji pada dirinya sendiri, ia akan memastikan pria itu meyesal karena telah membuang serbuk berlian hanya demi serbuk marimas.
....
Tanpa disadari oleh kedua wanita itu, seseorang tengah memantau gerak gerik mereka. Senyum kemenangan menghiasi bibir tipis pria itu. “Akhirya kita bertemu lagi,” Gumamnya lebih untuk dirinya sendiri.
Pria itu tetap berdiri di tempatnya. Netra sepekat malam itu, tengah menatap intens pada Agni.
Tidak ingin kehilangan jejak lagi, pria itu segera mengeluarkan telepon genggamnya kemudian melakukan panggilan.
"Rumah sakit Pertiwi, poli anak. Awasi dia," ucap pria itu dengan suara dingin. Tanpa menunggu jawaban dari orang di seberang telepon, pria itu langsung mematikan panggilan. Kemudian berlalu dari sana dengan langkah ringan.
....
¹. Watados : kepanjangan dari Wajah Tanpa Dosa.
Berbanding terbalik dengan kesuraman yang terjadi di rumah sakit, Suasana di ballroom hotel bintang lima ibu kota itu masih sangat meriah. Setelah tadi pihak keluarga dikejutkan dengan kedatangan Agni, kini keadaannya telah kembali normal. Andi dan Laras sudah di rawat oleh tim medis yang di panggil Rani. Batang hidung Andi, sepertinya sedikit retak. Setelah acara berakhir, mereka berencana pergi ke Rumah sakit untuk Rontgen. Sementara Laras, wanita itu sudah memperbaiki make up nya, MUA yang mereka sewa sedikit repot karena harus menutup lebam di pipi Laras dan hidung Andi. Untungnya semua bisa teratasi, jadi pestanya kembali di lanjutkan. Meskipun ada beberapa orang yang masih diam-diam membahas masalah ini, termasuk pihak keluarga besar Laras. Khususnya Kedua orang tua Laras. Dua orang paruh baya itu sangat marah atas kejadian ini. Pasalnya selama ini mereka tidak tahu bahwa putri yang mereka bangga banggakan ternyata tidak lebih dari seorang perebut
Dua tahun kemudian. Hari masih sangat pagi, bahkan matahari pun masih malu-malu untuk menunjukkan wujudnya. Kesunyian masih membayangi rumah minimalis bercat putih, bergaya American klasik dengan hamparan taman yang indah itu. Para penghuni rumah masih nyaman berteman dengan bantal dan selimut. Namun, tidak demikian dengan seorang Wanita cantik bertubuh mungil, yang tengah berkutat dengan bahan makanan di dapur mini miliknya. Agni yang tengah menikmati aktifitasnya di depan penggorengan, dikejutkan dengan suara kursi bar yang ditarik. “Pagi, Tha.” Sapaan dari Sherly sabatnya, membuat Agni mengalihkan pandangan. “Pagi Sher, tumben jam segini udah bangun,” Ucap Agni sembari melihat jam dinding yang tergantung di dinding dapur. Agni merasa sedikit heran, pasalnya sahabatnya itu sangat jarang bangun sepagi ini. Apalagi saat ini, waktu bahkan belum menunjukkan pukul 6 pagi. Merupakan sebuah keajaiban jika saha
Agni tercekat mendengar ucapan Sherly. Informasi penting yang ingin disampaikan oleh sahabatnya itu ternyata tentang kemalangan yang menimpa mantan suaminya. Sherly yang melihat perubahan pada wajah Agni segera berucap, "Maaf ya, Tha. Gue bener bener nggak ada maksud buka luka lama Lo, gue cuman mau berbagi aja kok, serius," Ucap Sherly sembari mengangkat dua jarinya membentuk huruf 'V'. Agni hanya membalasnya dengan senyum. Ada rasa iba yang menyusup ke dalam hati Agni, tetapi segera ia tepis. Mereka telah memiliki jalannya sendiri. Andi dan Laras yang memilih jalan ini, Agni tidak harus peduli tentang hal apapun tentang mereka. “Ekhm.. Aku nggak apa-apa kok Sher, cuman kaget aja tadi. Aku turut prihatin sama keadaan mereka. Cuma, mau gimana lagi, kami sudah punya jalan masing-masing." Agni mencoba menenangkan Sherly. "Mmm, ya udah, aku bangunin Aska dulu ya, Sher.” lanjut Agni. Kemudian berlalu dari sana. Saat sampai di depan
“Maaf..” Agni kembali mengucapkan kata itu sembari sedikit membungkuk. Karena tidak mendapatkan respon dari Pria itu, Agni langsung memutar troli miliknya, bermaksud untuk melanjutkan kegiatan belanja. Namun, troli itu di pegang dengan erat oleh sebuah tangan kekar. Agni mengehentikan langkahnya, lalu melihat kearah tangan itu. Sebuah jam bermerek dengan harga fantastis melingkar di pergelangan tangan Pria itu. Mata Agni melihat ke lengan kekar itu, terlihat jas yang di jahit khusus tengah membungkus tubuh atletis milik Pria itu. Saat Agni semakin mengangkat wajahnya, matanya bertemu pandang dengan tatapan dingin yang sangat familiar baginya. "Lili putih," gumam pria itu. Terdengar sedikit tidak jelas, karena itu Agni mengangkat sebelah alisnya. "Maaf?" Tapi tidak ada jawaban, pria itu masih berdiri seperti arca hidup didepan Agni. “Maafkan Aku, Tuan. Aku tidak sengaja tadi," ucap Agni lagi. Namun, seperti tadi,
Agni yang tengah berkutat dengan adonan tepung, dikejutkan dengan keributan yang berasal dari arah kafe. Sepertinya seseorang tengah marah, entah karena apa. Tanpa membuang waktu lagi, Agni bergegas ke depan. Bahkan tanpa melepas apron yang menggantung di tubuhnya. Dari jauh, samar Agni mendengar suara keras seorang wanita yang menyebut-nyebut pelayanan dan cheesecake. Tidak ingin terus menebak, Agni mempercepat langkahnya. Saat memasuki area kafe, ia melihat seorang wanita berbadan tambun tengah marah sembari memukul counter kasir. Anisa yang berada dibalik counter kasir terlihat sangat ketakutan. “Ada apa ini?” Tanya Agni. Suara Agni membuat perhatian semua orang yang tengah menonton kejadian itu, tertuju padanya. Seolah mendapat ‘mangsa’, wanita berbadan tambun itu bergegas kearah Agni sembari mengarahkan telunjuknya. Membuat Alen yang kebetulan berada di samping Agni menjadi siaga. “Akhirnya keluar juga kamu. Kamu kan, pemilik tempat ini?” mendapa
Agni masih terpaku di tempatnya, ia membutuhkan banyak waktu untuk dapat memahami semua yang baru saja terjadi. ‘Siapa orang-orang ini, dari mana mereka berasal?’ Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, yang sejak tadi muncul di kepalanya. Agni yang terlalu larut dalam lamunannya tentang identitas Pria-pria asing itu, tidak menyadari kedatangan Sherly. Hingga tepukan di bahunya membuat ia terkejut, “kenapa bengong, Tha? Lagi mikirin apa?” Tanya Sherly. Agni hanya menggelengkan kepalanya. “Nggak lagi mikirin apa-apa kok, Sher.” Sherly yang mendengar perkataan Agni, hanya menganggukkan kepalanya. “Ya udah, kalo gitu.” “Eh iya, Tha. Tadi pas gue sampai depan Kafe, Gue denger ada keributan ya, keributan apa?” Tanya Sherly mengalihkan pembicaraan. Agni mengangguk, “iya, tadi ada orang iseng yang bilang kalo Cake yang dia beli disini itu busuk,” ucap Agni. “Terus? Udah di laporin ke polisi?” Tanya Sherly lagi, dan d jawab dengan gelengan kepala o
Setelah mendengar apa yang dikatakan bawahannya, sudut bibir Samudera terangkat membentuk seringai tipis, “Menarik.” Hal yang membuat Jonatan—Asisten pribadi Samudera bergidik. Sebagai orang yang telah mengikuti Samudera sejak usia muda, bahkan mereka tumbuh bersama sejak kecil, Jo bisa menebak maksud dari seringai tuannya itu. Jonatan dan Samudera telah bersahabat sejak kecil, Selama beberapa generasi keluarga Jo mengabdi pada keluarga Aditama. Sampai saat inipun, Ayahnya masih menjadi penasihat hukum keluarga Aditama. Bisa dibilang Jo dan sang Ayah adalah tangan kanan dan kiri Samudera. “Jo....” Jonatan yang telah mengerti maksud Tuannya, segera meminta para Pria berbadan kekar itu untuk meninggalkan ruangan. Setelah memastikan ruangan telah kosong, Jo segera menyampaikan laporannya, “Saya telah menyelidikinya, Tuan. Wanita itu bukan berasal dari sini. Bisa dipastikan bahwa ia sengaja datang ke kota ini hanya untuk me
Malampun tiba. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit dari villa pribadi miliknya, Samudra akhirnya sampai pada kediaman kedua orang tuanya. Sebuah mansion mewah bergaya Timur Tengah menyambut kedatangannya. Kedua orang tuannya memang sangat menyukai budaya Timur Tengah. Terlihat dari eksterior rumah ini yang tiap jendela dan lorong berbentuk kubah berornamen. Juga terdapat motif berwarna pada kaca patri yang menghias bingkai jendela tersebut, semakin menambah kentalnya unsur Timur Tengah pada rumah itu. Saat keluar dari mobilnya, Samudra sedikit mengerutkan kening, ketika mendapati dua mobil yang terlihat asing baginya. Apa orang tuanya sedang kedatngan tamu, atau mobil itu adalah koleksi terbaru adik laki-lakinya? Samudra mengendikan bahu tidak peduli, kemudian melangkahkan kakinya kearah pintu utama. Dia disambut oleh kepala pelayan tua yang telah mengabdi selama puluhan tahun pada keluarga mereka. “Selamat datang Tuan muda,” uca