Agni tercekat mendengar ucapan Sherly. Informasi penting yang ingin disampaikan oleh sahabatnya itu ternyata tentang kemalangan yang menimpa mantan suaminya.
Sherly yang melihat perubahan pada wajah Agni segera berucap, "Maaf ya, Tha. Gue bener bener nggak ada maksud buka luka lama Lo, gue cuman mau berbagi aja kok, serius," Ucap Sherly sembari mengangkat dua jarinya membentuk huruf 'V'.
Agni hanya membalasnya dengan senyum. Ada rasa iba yang menyusup ke dalam hati Agni, tetapi segera ia tepis. Mereka telah memiliki jalannya sendiri. Andi dan Laras yang memilih jalan ini, Agni tidak harus peduli tentang hal apapun tentang mereka.
“Ekhm.. Aku nggak apa-apa kok Sher, cuman kaget aja tadi. Aku turut prihatin sama keadaan mereka. Cuma, mau gimana lagi, kami sudah punya jalan masing-masing." Agni mencoba menenangkan Sherly. "Mmm, ya udah, aku bangunin Aska dulu ya, Sher.” lanjut Agni. Kemudian berlalu dari sana.
Saat sampai di depan pintu kamar milik Aska, Agni menghentikan langkahnya. Dia sempat ragu untuk masuk kedalam, Agni tidak ingin menunjukkan raut iba di wajahnya pada sang putra.
Bohong jika ia mengatakan kata-kata Sherly tadi tidak mempengaruhinya. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasa kasihan pada keluarga baru mantan suaminya itu. Jika hal ini terjadi dulu saat mereka masih bersahabat, ia pasti akan menemani dan menghibur Laras. Namun, semuanya sudah tidak sama lagi.
Menyadari pikiran absurd nya, Agni segera menggelengkan kepalanya dengan keras. ‘mereka orang jahat,' batin Agni.
Saat merasa cukup tenang, Agni memutar handle pintu kamar Aska, kemudian masuk kedalam kamar putranya itu. Di dalam kamar yang di dominasi warna biru Dongker itu, putranya masih nyaman bergelung di dalam selimut bermotif tokoh Superhero bertopeng kelelawar miliknya.
Aska memang sangat menyukai Pria kelelawar itu. Setiap kali mereka menonton serial itu, putranya selalu berkata akan menjadi superhero, agar bisa menjaga Agni. Hal yang membuat Agni tersenyum sendiri jika mengingatnya. Aska masih sangat kecil, tetapi cara berpikirnya sudah seperti orang dewasa.
Agni bukannya tidak menyadari, jika putranya dewasa sebelum waktunya. Akan tetapi ia menolak untuk percaya hal itu. Bagi Agni, Aska tetaplah Bayi kesayangannya.
Merasa bahwa ia telah lama berdiri di ambang pintu kamar putranya. Agni segera melangkah masuk, sampai kesamping ranjang Aska, menundukkan kepalanya kemudian memberikan kecupan pada pipi putranya itu. “Sayang.. Sayang bangun, udah pagi,” bisik Agni.
Aska yang merasa tidurnya di ganggu membuka sedikit matanya, “Bunda..” Suara serak khas bangun tidur yang terdengar kekanakan terdengar.
“Aku masih ngantuk, Bun. Lima menit lagi, ya,” ucap Aska Mencoba menawar.
Namun, dijawab dengan gelengan oleh Agni, “Nanti Abang terlambat. Bangun sekarang ya, udah di tungguin sama Aunty Sherly.”
Dengan sedikit enggan, bocah Lima tahun itu mengangguk, kemudian segera beranjak turun dari ranjangnya.
“Seragamnya udah bunda siapin ya, Bang. Bunda tunggu di ruang makan!” Ucap Agni dengan suara sedikit keras. Mengingat putranya yang saat ini ada di dalam kamar mandi. Kemudian keluar dari kamar Aska.
...
Sherly yang melihat kedatangan Agni, segera bertanya, "Aska udah bangun?"
"Iya, lagi mandi, sebentar lagi juga datang," jawab Agni.
"Gue mau minta maaf lagi, Tha. Serius deh gue nggak ada maksud apapun pas cerita soal mereka," Ucap Sherly.
Raut penyesalan sangat nampak pada wajahnya. Ia menyadari bahwa topik tentang Andi dan Laras masih menjadi momok menakutkan bagi Agni. Namun, dengan bodohnya dia malah membahas mereka.
"Nggak apa-apa Sher, sungguh. Aku hanya merasa sedikit iba pada mereka, itu saja."
Setelah mendengar ucapan Agni, Sherly akhirnya bisa menghembuskan nafas lega.
....
Suara langkah kaki kecil, menghentikan obrolan Agni dan Sherly, mereka langsung mengalihkan pandangan pada Aska yang telah rapih dengan sergam Taman Kanak Kanak miliknya.
"Widihhh... Ganteng banget ponakan Aunty. Pasti udah punya pacar kan? Atau banyak yang ngincar? Ayo ngaku..." Sherly mencoba menggoda bocah tampan itu. Namun, tidak di gubris oleh Aska.
Sherly tidak merasa terganggu sama sekali, dia sudah hafal dengan tabiat Aska yang dingin. Entah dari mana Aska mendapatkan sifat itu, mengingat Andi dan Agni yang murah senyum pada siapapun.
Agni yang melihat interaksi Aska dan Sherly hanya menggelengkan kepalanya. Hal seperti ini sudah menjadi 'makanan sehari-hari' bagi Agni.
"Jangan godain dia lagi, Sher. Ayo Bang, makan dulu." Agni menengahi mereka berdua, sebelum sang putra mengeluarkan kalimat sarkas yang menyakitkan miliknya.
"Habis ini Abang di antar sama Aunty ya, Bunda mau langsung ke Swalayan buat beli bahan kue dan kopi buat Kafe." Agni mencoba memberikan pengertian pada putranya.
"Iya, Bun." Aska menjawab sembari tersenyum kearah Ibunya. Senyum mahal yang hanya ditujukan pada Agni.
***
Setelah melepas kepergian putranya dan Sherly, Agni bergegas mengendarai mobil miliknya kearah Swalayan terbesar di kota itu. Mobil ini merupakan bagian dari harta Gono gini dari perceraiannya dengan Andi kala itu.
Waktu itu Agni tidak ingin menerimanya, namun karena paksaan dari sang ayah mertua yang mengatakan bahwa Aska membutuhkan mobil. Akhirnya Agni menerima mobil ini. Ada sejumlah uang juga, yang Agni gunakan untuk membuka usaha miliknya.
Saat mobilnya sampai pada pelataran parkir, Agni bergegas turun. Kemudian melangkah kedalam Swalayan.
Setelah mengambil troli belanja, Agni segera larut dalam kegiatannya membeli semua hal yang ia butuhkan. Karena terlalu fokus dengan kegiatannya, Agni tidak memperhatikan langkahnya, hingga dia tidak sengaja menabrak punggung tegap seorang Pria.
"Maaf," Ucap Agni sambil menunduk.
Karena tidak mendapat respon apapun, Agni segera mengangkat wajahnya. Terlihat seorang Pria tampan, dengan netra sepekat malam, hidung yang mancung, serta rahang kokoh, tengah menatapnya dengan dalam.
Agni terpaku. Tampan.
Hanya kata itu yang mampu mengambarkan penampilan Pria yang ada di hadapan Agni saat ini.
“Maaf..” Agni kembali mengucapkan kata itu sembari sedikit membungkuk. Karena tidak mendapatkan respon dari Pria itu, Agni langsung memutar troli miliknya, bermaksud untuk melanjutkan kegiatan belanja. Namun, troli itu di pegang dengan erat oleh sebuah tangan kekar. Agni mengehentikan langkahnya, lalu melihat kearah tangan itu. Sebuah jam bermerek dengan harga fantastis melingkar di pergelangan tangan Pria itu. Mata Agni melihat ke lengan kekar itu, terlihat jas yang di jahit khusus tengah membungkus tubuh atletis milik Pria itu. Saat Agni semakin mengangkat wajahnya, matanya bertemu pandang dengan tatapan dingin yang sangat familiar baginya. "Lili putih," gumam pria itu. Terdengar sedikit tidak jelas, karena itu Agni mengangkat sebelah alisnya. "Maaf?" Tapi tidak ada jawaban, pria itu masih berdiri seperti arca hidup didepan Agni. “Maafkan Aku, Tuan. Aku tidak sengaja tadi," ucap Agni lagi. Namun, seperti tadi,
Agni yang tengah berkutat dengan adonan tepung, dikejutkan dengan keributan yang berasal dari arah kafe. Sepertinya seseorang tengah marah, entah karena apa. Tanpa membuang waktu lagi, Agni bergegas ke depan. Bahkan tanpa melepas apron yang menggantung di tubuhnya. Dari jauh, samar Agni mendengar suara keras seorang wanita yang menyebut-nyebut pelayanan dan cheesecake. Tidak ingin terus menebak, Agni mempercepat langkahnya. Saat memasuki area kafe, ia melihat seorang wanita berbadan tambun tengah marah sembari memukul counter kasir. Anisa yang berada dibalik counter kasir terlihat sangat ketakutan. “Ada apa ini?” Tanya Agni. Suara Agni membuat perhatian semua orang yang tengah menonton kejadian itu, tertuju padanya. Seolah mendapat ‘mangsa’, wanita berbadan tambun itu bergegas kearah Agni sembari mengarahkan telunjuknya. Membuat Alen yang kebetulan berada di samping Agni menjadi siaga. “Akhirnya keluar juga kamu. Kamu kan, pemilik tempat ini?” mendapa
Agni masih terpaku di tempatnya, ia membutuhkan banyak waktu untuk dapat memahami semua yang baru saja terjadi. ‘Siapa orang-orang ini, dari mana mereka berasal?’ Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, yang sejak tadi muncul di kepalanya. Agni yang terlalu larut dalam lamunannya tentang identitas Pria-pria asing itu, tidak menyadari kedatangan Sherly. Hingga tepukan di bahunya membuat ia terkejut, “kenapa bengong, Tha? Lagi mikirin apa?” Tanya Sherly. Agni hanya menggelengkan kepalanya. “Nggak lagi mikirin apa-apa kok, Sher.” Sherly yang mendengar perkataan Agni, hanya menganggukkan kepalanya. “Ya udah, kalo gitu.” “Eh iya, Tha. Tadi pas gue sampai depan Kafe, Gue denger ada keributan ya, keributan apa?” Tanya Sherly mengalihkan pembicaraan. Agni mengangguk, “iya, tadi ada orang iseng yang bilang kalo Cake yang dia beli disini itu busuk,” ucap Agni. “Terus? Udah di laporin ke polisi?” Tanya Sherly lagi, dan d jawab dengan gelengan kepala o
Setelah mendengar apa yang dikatakan bawahannya, sudut bibir Samudera terangkat membentuk seringai tipis, “Menarik.” Hal yang membuat Jonatan—Asisten pribadi Samudera bergidik. Sebagai orang yang telah mengikuti Samudera sejak usia muda, bahkan mereka tumbuh bersama sejak kecil, Jo bisa menebak maksud dari seringai tuannya itu. Jonatan dan Samudera telah bersahabat sejak kecil, Selama beberapa generasi keluarga Jo mengabdi pada keluarga Aditama. Sampai saat inipun, Ayahnya masih menjadi penasihat hukum keluarga Aditama. Bisa dibilang Jo dan sang Ayah adalah tangan kanan dan kiri Samudera. “Jo....” Jonatan yang telah mengerti maksud Tuannya, segera meminta para Pria berbadan kekar itu untuk meninggalkan ruangan. Setelah memastikan ruangan telah kosong, Jo segera menyampaikan laporannya, “Saya telah menyelidikinya, Tuan. Wanita itu bukan berasal dari sini. Bisa dipastikan bahwa ia sengaja datang ke kota ini hanya untuk me
Malampun tiba. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit dari villa pribadi miliknya, Samudra akhirnya sampai pada kediaman kedua orang tuanya. Sebuah mansion mewah bergaya Timur Tengah menyambut kedatangannya. Kedua orang tuannya memang sangat menyukai budaya Timur Tengah. Terlihat dari eksterior rumah ini yang tiap jendela dan lorong berbentuk kubah berornamen. Juga terdapat motif berwarna pada kaca patri yang menghias bingkai jendela tersebut, semakin menambah kentalnya unsur Timur Tengah pada rumah itu. Saat keluar dari mobilnya, Samudra sedikit mengerutkan kening, ketika mendapati dua mobil yang terlihat asing baginya. Apa orang tuanya sedang kedatngan tamu, atau mobil itu adalah koleksi terbaru adik laki-lakinya? Samudra mengendikan bahu tidak peduli, kemudian melangkahkan kakinya kearah pintu utama. Dia disambut oleh kepala pelayan tua yang telah mengabdi selama puluhan tahun pada keluarga mereka. “Selamat datang Tuan muda,” uca
Suara denting sendok menjadi pengiring makan malam keluarga saat itu. Ah, bukan keluarga, karena ada orang luar yang turut bergabung. Sudah menjadi peraturan tidak tertulis dalam keluarga Aditama, bahwa saat makan tidak ada yang diijinkan untuk berbicara. Karena itulah suasana sunyi yang sedikit mencekam mengiringi makan malam mereka saat ini. Bahkan si kembar Mario dan Marcelline yang biasanya banyak bicara, tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Aura sang kakek benar-benar membuat mereka tercekik. Orang yang terlihat biasa-biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa adalah Samudra. Ia sudah biasa dengan acara makan ala militer seperti ini. Saat para pelayan menyingkirkan makanan berat dan diganti dengan dessert, barulah kedua remaja itu bisa menarik nafas lega. Karena itu berarti, saat ini mereka bisa berbicara sesuka hati mereka di meja makan. "Celline ingin buah, kak. Kak Sam bisa bantu kupasin?" Celline mulai menunjukkan sikap manjanya pa
“Cucuku bukan pemandu wisata!” Suara tegas dari Ratna Aditama berhasil melunturkan senyum di bibir Tasya. Suara Ratna memberikan efek yang lebih besar daripada sikap Samudra tadi, ruang makan itu mendadak hening. “Aku tidak bermaksud seperti itu, Bu,” Ucap Lautan, setelah mendapatkan kembali suaranya. Melalui matanya ia mengucapkan maaf tanpa suara pada keluarga Lorens. Ia tidak punya maksud apa-apa, hanya memenuhi keinginan putri dari sahabatnya yang ingin berkeliling bersama putranya. Namun, melihat respon sang ibu, Lautan menelan kembali semua keinginannya itu. “Kalau Sam nggak bisa, nggak apa-apa kok Om. Nanti aku minta tolong sama teman lamaku saja,” ucap Tasya. Dia masih menyunggingkan senyum, namun jauh di bawah meja, kuku jarinya tengah menekan kuat telapak tangannya. Menahan geram karena Ratna menggagalkan rencananya. “Harusnya memang seperti itu, kamu itu bukan bagian dari keluarga ini. Apa kata orang nanti, jika melihat kepala keluarga Adit
Hari masih pagi, namun Agni telah sibuk berkutat dengan tepung dan loyang. Di dapur Kafe miliknya, Agni dan buk Atik—salah satu pegawainya, tengah sibuk mempersiapkan pesanan pelanggan.Disela kesibukannya di Kafe Agni memang masih menerima pesanan kue untuk acara-acara tertentu, seperti ulang tahun atau acara resmi lainnya, dan kali inipun mereka tengah sibuk menyelesaikan pesanan pelanggan, yang harus diantarkan pukul 12.00 siang nanti.Agni dan Buk Atik yang tengah sibuk dengan pekerjaan mereka, dikejutkan dengan dering telepon genggam milik Agni. Terlihat nama Ibu Mawar disana. Agni sedikit mengerutkan kening, tidak biasanya guru putranya itu menghubungi Agni pada jam pelajaran seperti ini.Tidak ingin terlarut dalam rasa penasarannya, Agni segera menekan ikon hijau pada gawainya itu.“Halo selamat pagi, Bu Mawar.”“Selamat pagi, Bu Agni. Maaf mengganggu, saya ingin mengabarkan bahwa.....”Suara Mawar disebe