Lintang tersenyum geli tidak sadar merasa lucu dengan ekspresi kaget Rani. Dika ikut senyum geli. Entah Rani lupa atau bagaimana. Hati memang tidak memungkiri dalam keadaan kalut dan bingung."Ran, kamu lupa beneran atau gimana?" tanya Lintang heran."Lupa apanya sih, Lin?" Rani menggaruk kepala."Dika, kamu gak perlu ke Jakarta. Serius aku gak papa kok, Dik," tolak Rani merasa sangat tidak enak.Dika sengaja senyum-senyum sendiri menggoda Rani. Lintang ikut geli menahan tawa. Benar. Rani bingung sekali hingga lupa kalau Dika bekerja di kota Jakarta. Merintis karir dari nol seperti Adi. Namun, mereka beda perusahaan. Dika juga sudah mempunyai rumah sendiri dan belum menikah."Ran, aku 'kan kerja di Jakarta. Jadi, nanti kalau kamu butuh sesuatu ada aku. Kalau suamimu macam-macam sama kamu tinggal hubungi aku saja."Rani masih bengong masih berusaha mengingat. Dalam hitungan beberapa detik kembali ingat dan merasa sangat malu. Bersembunyi di belakang punggung Lintang. "Maaf ya, Dik? Ak
"Kamu ganti baju terus kita makan. Nduk, Bapak kangen sekali sama kamu," ucap Bapak terharu masih tidak percaya bisa makan dengan putri tercinta."Iya, Pak. Rani, juga kangen sekali sama Bapak." Rani menahan air mata yang menumpuk di pelupuk mata.Langkah kaki berlalu meninggalkan Bapak sendirian di meja makan. Termenung dengan keraguan dan kecurigaan yang berputar mengelilingi kepala. Sekilas teringat kembali pesta pernikahan Rani yang sederhana tapi sangat membuat Bapak bahagia. Tidak menampik banyak yang terharu melihat putri semata wayangnya duduk berdampingan dengan pria yang menjadi jodohnya. Tidak terasa senyuman bahagia dan bangga tersungging di bibir tua renta itu."Bapak, maaf kalau sedikit lama. Rani, mandi dulu tadi." Pandangan Rani menyapu semua makanan di meja makan."Iya, Rani. Biar kamu tambah ayu dan segar. Ayo, makan sini!" Bapak melambaikan tangan dari meja makan."Wah, semua kesukaanku. Bapak, yang masak?" tanya Rani sedikit heran.Jauh dari Rani membuat Bapak leb
Napas Rani memburu sangat cepat. Semakin lama dada terasa sesak. Menutup telepon lalu menarik napas panjang perlahan. Memukul kepala berulang kali sangat kesal dan emosi."Apa hebatnya perempuan itu hingga kamu bisa memilih dan betah jauh dari aku? Mas, kemarin aku terima dan masih ada keinginan mengalah. Lama-lama melihat kamu lebih memilih wanita itu sangat membuatku naik pitam! Aku tidak terima kamu perlakukan seperti ini!" Rani menutup jendela kamar sangat kencang.Bapak tersentak kaget mendengar suara keras dari kamar sebelah. Meletakkan koran perlahan lalu mengayunkan kaki ke dekat pintu. Kembali duduk di ranjang tidak jadi mengetuk pintu kamar putrinya."Ada apa dengan Rani? Suara apa tadi? Apa masalah rumah tangga mereka berat?" gumam Bapak seraya mengambil ponsel di atas meja kecil sudut.Bapak melihat layar ponsel cukup lama. Jemari tangan meraba ponsel dari depan hingga belakang. Menyalakan ponsel yang berukuran sedang. Kembali diletakkan di atas meja dengan gusar."Aku tid
"Bilang kok, Pak. Kok kaget sih, Pak?" Rani ikut bingung."Kasihan kalau sampai terlambat. Kamu udah perjalanan pulang ke Jakarta dan dia di sini sama siapa nanti?" kekeh Bapak."Ih, Bapak. Pasti selalu godain aku. Ran, Bapak mulai iseng nih."Rani merapikan hijab lalu mengambil tas yang sudah disiapkan di kamar. Hati sangat gelisah menanti kehadiran suami. Entah Adi akan bersikap baik atau sebaliknya."Lintang, ayo masuk ke kamar! Sebentar ya, Pak?" Rani menarik tangan sahabatnya hingga hampir terjatuh.Senyuman mengembang di wajah lintang. Melambaikan tangan ke Bapak sedikit menunduk. Lintang dari dulu juga sangat dekat dengan Bapak Rani. Bahkan, terkadang menginap di rumah Rani tidak hanya sehari atau dua hari.Dari kecil hanya tinggal bersama kakek dan nenek. Bisa bertemu Rani membuat Lintang bahagia bisa mengenal sosok seorang Bapak lagi."Ran, suamimu sampai mana?" tanya Lintang sangat pelan. Tidak enak kalau Bapak sampai dengar."Perkiraan sudah mendarat di bandara. Jarak banda
Lintang gugup melepas tangan Rani sedikit membanting ke bawah. Bapak hanya membatin tidak berani bertanya lebih jauh. Sekali lagi merasa bukan ranahnya."Bukan apa-apa. Ran, aku pamit dulu, ya? Aku bakal kangen banget sama kamu, Ran." Lintang mengecup pipi kanan kiri sahabatnya lalu berlalu begitu saja. "Lintang, gak pamit sama Bapak?" tanya Bapak mengikuti dari belakang."Lihat temanmu itu! Kayak gitu kamu jadikan teman? Heran aku sama kamu." Adi bergidik seraya memasukkan barang ke dalam mobil yang sudah dipesan.Rani cuek dan tidak merespon suami. Melewati sangat acuh mengejar sahabatnya yang sudah mulai menaiki sepeda."Lintang! Tunggu!" "Iya, ada apa?"Bapak ikut bingung menoleh ke belakang. Sementara Adi membuang muka sangat jengkel dan masih belum bisa menerima disindir habis-habisan. "Dasar, perempuan kurang ajar! Pantas saja cerai," batin Adi tidak sadar tangan mengepal."Lin, aku ada bingkisan permen buat anakmu. Tolong kasihkan, ya? Pasti nanti senang sekali." Rani melet
Menoleh kembali ke belakang. Mengingat kembali sosok perempuan yang tidak sengaja ditabrak. Ingatan terlempar pada bekas noda merah di kemeja suami."Rani! Hay, Rani! Aku tanya sama kamu!" Adi mengibaskan tangan depan wajah istri."Iya, aku lihat. Terus ada apa, Mas?" balik tanya sengaja menampakkan muka judes.Adi menggaruk kepala belakang mulai salah tingkah. Menatap Rani cukup lama. Tampak sekali malu dan gugup."Ya Allah, jangan-jangan perempuan tadi...""Oh, itu tadi ada karyawan ku ngeluh ada perempuan yang menabrak gitu jadi telat masuk ke dalam ruangan rapat."Rani sengaja memasang muka percaya semua ucapan Adi. Dalam hati tentu saja tidak. Seorang istri pasti sangat peka dan menyadari ada yang tidak beres."Ya sudah, kita pulang ke rumah sekarang ya, Pak."Selama perjalanan pikiran Rani tambah terbebani dengan sosok perempuan di toilet kantor. Postur badan lebih tinggi daripada Rani. Parfumnya sangat wangi dan sekilas kulitnya putih. "Kenapa tadi aku gak lihat wajahnya? Sekil
"Mas Adi?"Rani panik menaruh kemeja di keranjang baju. berpura-pura melanjutkan kembali mengambil beberapa baju yang kotor. Sedikit melirik ke arah luar kamar."Kamu ngapain? Ayo, makan! Aku sudah lapar sekali.""I-iya, nanti aku menyusul.""Sekarang! Nanti kamu gak makan. Ayo, cepat!" Adi menarik tangan istrinya.Mereka menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Rani menoleh belakang masih kepikiran kemeja suaminya. "Ini enak sekali. Padahal cuma daging ayam tetapi kamu bisa mengolah ayam ini jadi enak sekali." Adi lahap menyantap ayam bumbu pedas.Sementara istrinya menyantap makanan perlahan. Acuh dan tidak peduli mendengar pujian yang dilontarkan suami."Ya Allah, aku gak bisa berhenti memikirkan kerah baju itu. Ada noda merah atau tidak, ya?" Rani tidak bisa nyaman duduk di dekat suami. Pikiran Rani negatif bercabang ke arah yang tidak jelas.Piring Rani masih penuh makanan. Adi memerhatikan isi piring istrinya. Masih tersisa banyak. Sekali lagi berusaha menepis perasaan tidak
"Apa? Syarat apa? Lewat pintu ini harus pakai syarat?" Rani mengangkat dua alis ke atas merasa heran dengan tingkah suami.Adi belum juga menurunkan tangan ke bawah. Bibir tersenyum diiringi satu kedipan mata sengaja menggoda istrinya. Sebaliknya, Rani justru merasa sedikit ketakutan dan geli."Tidak berat kok. Oh, iya ngomong-ngomong kita ini udah suami istri 'kan?" tanya Adi sengaja memancing perkara."Iya, terus kenapa?" balik tanya tanpa menatap suami.Adi memegang kedua pundak Rani dengan mata terpejam. Sudah tidak sabar bercinta dengan istri sendiri. Menantikan sejak lama karena Rani sangat jual mahal. Dari dulu sama sekali tidak tertarik dengan paras Adi. "Kalau gitu ayo dong, Sayang." Adi memeluk Rani dari depan. Semakin lama tambah kencang hingga Rani susah bernapas."Lepas! Aku bilang lepas, Mas! Minggir!" Teriak Rani mendorong suami hingga hampir terjatuh.Tidak sengaja punggung membentur pintu. Rani menutup mulut dengan netra melebar. Berlari menghindari Adi sejauh yang i