Share

Kami Yang Kau Buang
Kami Yang Kau Buang
Penulis: Lia fr

Bab 1 Infeksi Usus

"A-apa, Dok? Pe-pemotongan usus?" tanyaku tak percaya.

Betapa terkejutnya aku mendengar Anakku yang baru berusia tiga bulan harus menjalani operasi. Jantungku seketika tak bedegup, tubuhku lemas sepeti tak bertulang. Tak ku sangka MPASI dini yang dilakukan ibu tanpa sepengetahuanku dulu bakal berbuntut panjang.

"APA liat-liat? Jangan salahkan saya ya, emang dasar anak kamu saja yang penyakitan!" Ibu melotot saat aku menatapnya.

''Huh, Sabar ..., Sabar ....'' ucapku dalam hati.

kalau saja aku tidak mengingat Raffa yang saat ini sangat membutuhkanku ingin rasanya aku membunuh Ibu sekarang juga. Aku berbalik menatap suamiku, dia hanya diam tak bergeming.

"Kalau boleh tau, Dek Raffa ini sama siapa saja dirumah?" tanya dokter Danu, nama yang tertera di bajunya.

"Sama saya, Dok,"

"Apa Dek Raffa tidak ASI ekslusif?"

"Asi eksklusif, Dok!" jawabku berbohong.

"Ibu, jangan bohong kalau ASI eksklusif gak mungkin usus anak Ibu terkena infeksi!"

Aku hanya diam dan tertunduk.

"Baiklah saya tidak akan bertanya lagi. Tanpa Ibu bilang saya sudah tau jawabannya, saya cuma ingin Ibu jujur,"

"Disini saya akan menjelaskan kondisi anak Ibu seperti apa? Usus Dek Raffa terkena infeksi dan ini sudah sangat parah, harus segera dilakukan operasi. Kalau tidak, infeksinya akan menyebar dan dampaknya akan lebih fatal lagi,"ujar dokter Danu

"Lakukan yang terbaik untuk anak saya Dok!" pintaku padanya

"Kami akan berusaha semaksimal mungkin, Bu. Tapi yang namanya operasi pasti ada resikonya dan resiko terburuknya nyawa anak Ibu bisa melayang, apalagi usia pasien masih sangat muda!"

Mendengar nyawa anakku bisa melayang tubuhku seketika bergetar.

''ya Allah tolong jangan ambil nyawa anakku, aku masih ingin melihatnya tumbuh sehat, aminnn!" aku berdo'a didalam hati.

Tess tess tess! Air mataku jatuh ke telapak tangan.

Aku keluar dari ruang Dokter, dengan langkah gontai, ku pukul-pukul dadaku untuk menghilangkan sesak yang datang menyeruak. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk menolong anakku.

Sesampainya di ruang rawat inap, ku lihat anakku sedang tertidur pulas. Selang infus sudah terpasang di tangan kirinya.

Lagi-lagi air mata ku lolos begitu saja memadang wajah mungil anakku.

"Maafin Ibu Nak, Ibu lalai menjaga mu. Tidak seharusnya Ibu menitipkan mu pada Simbah, apapun alasannya," sesal ku.

Kini tangisku makin terisak membayangkan bayi mungil ku ini harus merasakan dinginnya ruang operasi dan harus merasakan tajamnya pisau operasi.

Teringat dulu saat aku menitipkannya pada ibu ....

"Bu ... titip Raffa ya, sebentar,"

"Lah, emangnya kamu mau kemana, Tia?" jawabnya ketus.

"Aku mau kekamar mandi dulu, Bu. Sebentar ..., saja,"

" Ya, sudah jangan lama-lama," jawabnya sambil menerima Raffa dalam gendongan.

Belom berapa lama aku dikamar mandi aku mendengar Raffa menangis kencang, tidak pernah dia menangis sekencang itu sebelumnya.

Buru-buru aku menyelesaikan hajatku. Aku berlari keluar untuk melihat apa yang terjadi pada anakku.

"Astaghfirullahhal'azim Ibuuu! Apa yang sudah Ibu lakukan?" teriakku

Aku melihat ibu sedang memasukkan sesuatu ke mulut Raffa dengan paksa, sedangkan anak itu sudah meronta-ronta merasa tidak nyaman.

"Apa itu, Bu? Aku langsung mengambil Raffa dari pangkuannya.

"Ini pisang, masak ini saja kamu gak tau," jawabnya santai tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Iya aku tau itu pisang, tapi kenapa Ibu kasihkan ke Raffa. Dia masih tiga bulan, Bu. Belum waktunya makan," kesal ku.

"Ya, biar Raffa kenyang lah! Gak rewel terus!"

"Bu, bayi rewel itu bukan hanya karena lapar. Bisa saja dia rewel karena gerah atau ngantuk atau popoknya basah. Banyak alasannya, Bu. Gak cuma lapar,"

"Halahh ... Kamu itu tau apa Tia? Kamu baru kemaren sore punya anak, jelas Ibu lebih berpengalaman dari kamu!

Ibu tau mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk Raffa!"

"Bu, MPASI dini itu berbahaya kenapa sih Ibu gak ngerti-ngerti," sungut ku kesal.

"Jangan sok tau kamu! Itu si Irvan suamimu dari umur tiga hari sudah Ibu kasih pisang. Nyatanya sehat-sehat saja, kan? masih hidup sampai sekarang,"

Susah memang ngomong sama ibu.

"Semoga saja gak tejadi apa-apa sama kamu nak," gumamku. Sambil berlalu pergi.

"Emangnya apa yang akan terjadi? Kalau ngomong itu yang baik-baik saja!" teriaknya.

''Maafin Ibu, Nak! Ibu menyesal ..., Sangat menyesal. Kini kamu harus menderita karena kesalahan Ibu,"

Tubuhku ambruk ke lantai. Ku tutup mulutku dengan tangan agar tak mengeluarkan suara. Aku takut Raffa terbangun mendengar suara tangisanku.

Drrtt drrtt drrtt!

Handphoneku berbunyi sepertinya ada pesan masuk dari aplikasi hijau. Ku buka handphoneku, ternyata pesan dari Mas Irvan.

["Dek, Mas pulang dulu ya nganter Ibu, nanti Mas ke rumah sakit lagi bawain salin buat kamu dan Raffa,"]

Pesan dari mas Irvan hanya kubaca, tidak kubalas. "Bagaimana bisa dia pergi tanpa melihat dulu keadaan anaknya," gumamku.

****

Tok tok tok!

"Assalamualaikum Ibu, ini dengan pasien bernama Raffa?"

"Wa'alaikumsalam Mba, iya benar,"

"Perkenalkan saya suster Ratna, saya suster jaga hari ini. Dek Raffa akan kami bawa ke ruang operasi sekarang ya, Bu,"

"S-sekarang, Mbak? tanyaku gugup.

"Iya, Bu! Dokternya sudah menunggu di ruang operasi. Bukankah lebih cepat lebih baik? Biar Dek Raffa juga cepat pulih, Bu,"

"Tapi, Ayahnya belum datang Mbak,"

"Gak papa ibunya saja yang nunggu. Tadi sudah tanda tangan persetujuan tindakan, kan?"

"Sudah, Mbak," jawabku.

"Ya sudah, Yuk!" Ajaknya.

Jujur saat ini aku sangat takut jantungku berdegup sangat kencang.

Aku mencoba menghubungi nomor telepon mas Irvan tapi gak diangkat.

"Kamu dimana sih Mas, kenapa belum datang juga," rutukku kesal.

Aku mengekor mengikuti para perawat yang membawa Raffa ke ruang operasi.

Dalam hatiku tak henti-hentinya beristighfar.

'Ya Allah, kuatkanlah anaku berikanlah kesembuhan, aku berjanji akan menjaga titipanMu lebih baik lagi, amiinnnn ...."'doaku dalam hati.

Sendiri aku terduduk didepan ruang operasi. Dadaku terasa sesak bagai ditimpa beban yang sangat berat. Seandainya aku bisa memilih, biar aku saja yang menggantikan posisi anakku didalam. Sayangnya itu tidak mungkin terjadi

Aku terus saja bersholawat dalam hati.

Untuk menenangkan pikiranku.

Dari kejauhan tampak mas Irvan berjalan ke arahku.

"Sudah ada kabar, Dek?" tanyanya seraya mendudukkan pantatnya di sebelahku.

"Belum, Mas,"

"Sudah jangan nangis lagi! Kita do'akan saja semoga operasi cepat selesai, Raffa baik-baik saja,"

"Amiiinn ...."

Kami sama-sama terdiam larut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya.

Ceklekk! Pintu ruang operasi terbuka. Aku sama mas Irvan buru-buru mendekat kearah dokter yang keluar dari ruang operasi.

"Bagaimana keadaan anak kami, Dok?" ucap mas Irvan ketika sudah berhadapan dengan Dokter.

"Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar. Tinggal nunggu Dek Raffa siuman saja,"

"Alhamdulillah ...." ucapku bersamaan dengan Mas Irvan.

"Tolong ya Bu, jadikan pelajaran jangan sekali-kali memberikan makanan pada bayi sebelum usia enam bulan. Lagian kenapa juga buru-buru, 'kan dikasih kesempatan enak gak usah pusing-pusing mikirin anak mau makan apa? Gak usah susah-susah masak cukup susuin aja terus," pesannya.

"Iya, Dok! Makasih, Dok!" jawabku singkat.

"Mari Bu, kami antar ke kamar lagi," ucap suster Ratna.

Kini kami sudah di ruang rawat inap. Aku ikut berbaring di samping Raffa. Dia masih tertidur karna pengaruh obat bius. Ku tatapi wajah polosnya, lagi-lagi air mataku mengalir begitu saja.

"Terimakasih sudah mau berjuang dan bertahan anakku," ucapku sambil kucium pipinya kiri dan kanan, keningnya, hidungnya, dagunya tak ada yang lolos dari ciuman ku. Kupeluk erat tubuhnya.

"Terimakasih ya Allah Engkau masih mempercayakan aku untuk merawatnya." Sujud syukurku kehadirat Allah SWT.

***

Tiga hari sudah Raffa dirawat pasca operasi. Luka bekas operasinya pun sudah mulai mengering. Sekarang dia sudah ceria lagi. Hanya saja masih belum boleh tengkurep. Sebenarnya kasihan apalagi saat ini dia masih senang-senangnya tengkurep tapi mau gimana lagi itu yang terbaik.

Tok tok tok!

Dokter Danu datang melihat keadaan Raffa.

"Dek Raffa gimana kabarnya hari ini?"

"Sudah baikan, Dok," jawabku bersemangat.

"Hari ini Dek Raffa sudah boleh pulang. Di rumah perbannya sering-sering diganti ya, Bu. Lukanya juga dibersihkan biar gak infeksi!"

"Alhamdulillah ... Siap, Dok!" aku sangat bahagia mendengar kabar ini.

Segera aku mengirim pesan ke mas Irvan.

["Mas, Raffa sudah boleh pulang,"] isi pesanku

["Alhamdulillah ..., iya Dek nanti Mas jemput, Mas ijin dulu sama atasan ya,"] balasnya.

Mas Irvan memang cuma dibolehin cuti sehari pas hari Raffa di operasi. Tapi malamnya dia datang.meenemaniku nungguin Raffa di rumah sakit.

****

"Pulang juga kamu anak penyakitan!" Sergah ibu yang berdiri didepan pintu sambil melipat tangan di dada.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status