Share

Bab 2

"Beri aku waktu tiga hari, Mas. Aku ingin istikharah dulu, minta yang terbaik padaNya. Karena baik menurutku belum tentu baik menurutNya. Pun sebaliknya." 

Ucapanku pada Mas Gilang tiga hari yang lalu. Dia mengangguk pelan, mengiyakan. Dia tampak menyugar rambutnya kasar, frustasi. Lalu membanting tubuhnya di atas sofa.

 

Matanya berkaca-kaca menatapku. Aku sengaja melengos, tak ingin kutunjukkan kepedihanku ini di hadapannya. Meskipun aku yakin, dia tahu aku benar-benar rapuh. 

 

Wajah ibu terlihat kesal, karena aku tak memberikan jawaban saat itu juga. Namun aku tak peduli, masuk kamar dan membenamkan wajahku di bantal. 

 

Hampir dua malam aku tak bisa memejamkan mata, rasanya terlalu takut menghadapi pagi. Waktu seolah berputar begitu cepat. Biasanya, saat aku gundah gulana seperti ini, Mas Gilang selalu hadir di sisi. Mengusap pelan rambutku dan memberiku bermacam nasehat yang membuatku lebih tenang. 

 

Namun, sejak keributan itu dia memilih tidur di kamar tamu. Seolah tak ingin mengganggu, membiarkanku sendiri, memilih apa yang terbaik untukku dan untuknya. 

 

Mataku sembab karena terlalu sering menangis. Banyak hal yang aku pikirkan. Jika aku bercerai, aku tak punya keluarga satupun yang bisa kuajak berkeluh kesah. Apakah aku yakin bisa menghadapi ini sendiri? Atau apakah aku harus bisa membuka hati untuk cinta yang baru? Kurasa semakin sulit, aku justru trauma. Takut jika nantinya akan mengalami sakit yang sama. 

 

Namun, jika aku membiarkan suamiku menikah lagi, akankah dia bisa adil membagi cintanya? Sekalipun dia sudah berulang kali berjanji akan adil, semudah itukah aku mempercayai ucapannya? Dulu dia pernah berjanji tak akan membuatku kecewa dan tak pernah ingin mengkhianati cintaku, namun nyatanya waktu membuktikan bahwa dia ingkar. Dia tak lagi ingat janji-janjinya itu!

 

Hari ini, mau tidak mau, siap tidak siap aku harus menentukan pilihan. Pilihan tersulit selama hidupku. 

Tok ... tok ... tok ...

"Lin, buruan keluar. Kami sudah menunggumu di ruang tengah" Suara ibu mertua kembali membuyarkan lamunan. Aku melangkah tak bersemangat keluar kamar. Mendapati ibu mertua dan Mas Gilang di sofa ruang tengah dengan gusar, menungguku.

 

Kutatap mata Mas Gilang, entah kenapa dia tak berani menatap balik kedua mataku. Kini dia menunduk, seakan menghitung waktuku siap berbicara. 

 

"Mas ...." Dia mendongak. Sudut matanya basah. 

 

Rasanya aku ingin segera berhambur ke pelukannya, menumpahkan segala rasaku di dadanya yang bidang untuk saling menguatkan. Tapi tatapan sinis ibu mengurungkan niatku. Kenapa ibu? Kenapa aku seperti pendatang baru di rumahku sendiri? 

 

"Mas, apa kamu yakin akan membawakanku adik madu? Seandainya aku tak mau bercerai denganmu?" 

 

Pertanyaanku membuatnya menghembuskan napas kasar. Diam dan berpikir sejenak. 

 

"Sudahlah Lin, jangan buat bingung suamimu. Tak ada satu pun laki-laki yang tak menginginkan keturunan. Mereka pasti ingin memiliki buah hati. Paham kamu?"

 

Ibu kembali mengeluarkan komentarnya. Aku tak peduli. Tak pernah menanyakan bagaimana pendapatnya. Aku sedang bicara dengan suamiku, bukan dengan dia. 

 

"Apakah kamu yakin bisa adil jika memiliki dua istri? Adil dalam membagi nafkah lahir dan batin?" tanyaku lagi. 

 

Mas Gilang masih tetap menunduk. Aku yakin, sebenarnya dia nggak ingin situasi ini terjadi, hanya saja dia tak mampu menolak permintaan ibunya. 

 

"Mas ...." Kupegang pundaknya pelan. Dia menatapku dengan pandangan yang tak bisa kujelaskan lewat kata-kata. Memegang punggung tanganku dan menepuknya perlahan. 

 

"Jangan banyak drama, Lin. Cepat kau katakan pilih dimadu atau cerai? Jangan pengaruhi suamimu dengan akting tangismu itu" Ibu bersungut-sungut kesal.

 

Apa peduliku? Harusnya dia yang diam. Nggak perlu terlalu ikut campur urusan rumah tanggaku, aku dan anaknya yang menjalani bukan dia. Rasanya makin berkurang rasa hormatku padanya. 

 

"Maafkan aku, Lin," ucap Mas Gilang terbata. Dia melepaskan tangannya dari punggung tanganku. Kembali menunduk dalam diam.

 

"Baiklah kalau memang itu keinginanmu, Mas. Aku sendiri yang akan memilihkan seorang madu untukmu."

 

Kalimat terberat itupun meluncur dari bibirku. Entah apa yang kupikirkan, yang pasti aku belum bisa berpisah dengannya saat ini. Setidaknya, biarlah aku harus mempersiapkan hatiku terlebih dahulu. 

 

Permintaannya kali ini begitu mendadak, terlalu buru-buru hingga aku tak memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan hatiku. 

 

"Nggak perlu, Lin. Ibu sudah menyiapkan calon istri untuk suamimu"  Ibu kembali menimpali. Dengan senyumnya yang meyakinkan. 

 

Masih bisa dia tersenyum di saat anak dan menantunya meneteskan air mata karena permintaannya?!

 

Mas Gilang bergeming. Dia menyandarkan punggungnya ke sofa. Menatap langit-langit rumah dengan pandangan hampa. 

 

Apakah dia hanya pura-pura menangis agar seolah ikut terluka dengan pilihan ini? Ataukah memang sebenarnya dia tak yakin bisa adil dalam berpoligami? 

 

Entahlah ... detik ini, aku tak mampu menyelami hatinya. Aku tak bisa menebak-nebak jalan pikirannya lewat sorot matanya. 

 

"Biar Lina yang memilihkan calon istri untuk suamiku, Bu," ucapku datar. Tatapan ibu begitu sinis tak terima. 

 

"Memangnya kamu yakin, bisa memilihkan calon istri yang subur? Yang bisa cepat memberikanku cucu?" Ibu kembali protes. 

 

Dia tak pernah memikirkan bagaimana perasaanku. Yang dia pikirkan hanyalah cucu cucu dan cucu. 

 

"Biar Lina saja, Bu," ucapku agak meninggi. Geram rasanya melihat tingkah ibu mertua yang semena-mena, seolah menganggap hatiku terbuat dari baja. 

 

"Benar kata ibu, Lin. Aku sudah memilih calon adik madu untukmu." 

 

Suara Mas Gilang menghentikan perdebatanku dengan ibu. Mulutku ternganga mendengar jawabannya. Aku kembali menelan saliva. Jantungku seolah berdetak lebih kencang dan cepat daripada sebelumnya. Tak berani kubayangkan siapa calon adik madu yang sudah dipersiapkan Mas Gilang untukku. 

 

"Siapa perempuan itu, Mas?," tanyaku kemudian. Mencoba untuk tetap tegar, meski rasanya aku terbakar api cemburu. 

 

Ya Allah, yakinkah aku dengan keputusan ini? Kenapa kini aku begitu bimbang dengan pilihanku sendiri? Jangan sampai Mas Gilang memilih Dewi untuk menjadi adik maduku. Dia belum paham siapa Dewi sebenarnya. Apalagi ibu, terlalu mudah untuk mengambil hatinya. Bahkan hanya dengan senyum tiap kali bertemu sudah menganggap orang itu baik akhlaknya. 

 

"Perempuan itu bukan Dewi kan, Mas?" tanyaku lagi. 

 

***

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Kenapa bnyk cerita lama berumah tangga tapi blm di kasih keturunan...mertuanya seperti Mak lampir menyuruh anak lakiĀ² untuk berpoligami dan lebih gilanya si anak nurut aja. Adik laki-lakiku saja sudah lama berumah tangga blm di kasih keturunan mamahku biasa aja ga mau ikut campur
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
mertua kayak gini kasih sianida ajaa ... bngsatt juga kelakuannya ... lina juga bodohhh... muakk ceritanya kayak gini ajaa thor
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
klu gilangnya yang mandul gimana
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status