Share

Bab 3

"Aku akan mempertemukanmu dengannya besok, Lin. Untuk hari ini, biarlah kita fokus menata hati." 

Mas Gilang pergi meninggalkanku sendiri. Ibu masih duduk tak jauh dari tempatku. 

 

"Kalau kamu memang nggak mau cerai, kamu harus siap Lin, jika nantinya suamimu lebih sering bersama madumu dibandingkan sama kamu."

 

Aku menoleh cepat. Geram rasanya mendengar kata-kata yang keluar dari bibir ibu. Bukannya memberiku semangat justru membuat hatiku makin tak karuan. 

 

"Apa maksud ibu? Kalau mau poligami ya harus adil, Bu. Bukan berat sebelah. Memangnya ibu senang kalau anak semata wayang ibu menjadi calon penghuni neraka karena ketidakadilannya pada istri-istrinya?."

 

Kutekankan kata adil di sana, biar ibu paham. Ibu mencibir, terlihat bibirnya melengkung ke bawah. 

 

"Wajar to Lin, kalau lebih sayang sama yang baru. Bukannya lebih baik begitu? Biar mereka cepat memberikan ibu cucu."

 

Lagi-lagi itu jawaban ibu. Membuatku muak. 

 

"Cucu. Cucu. Cucu lagi yang ibu pikirkan. Ibu tak pernah memikirkan bagaimana perasaanku."

 

Tangisku pecah. Sudah kucoba untuk menahannya tapi aku tak bisa. Kututup muka dengan telapak tangan. 

 

"Kamu pasti juga senang nanti jika di rumah ini ada suara bayi."

 

Tangisku mendadak terhenti. Kutoleh ibu yang masih diam di tempatnya. Menatapku dengan pandangan entah. Sulit kumengerti. 

 

"Di rumah ini?" tanyaku cepat.

 

"Kalau nggak di sini, di mana lagi dia tinggal, Lin? Memangnya Gilang punya rumah lain selain ini?" Ibu balik bertanya. Membuat mulutku kembali ternganga.

 

"Rumah Mas Gilang? Ini rumahku, Bu. Bukan rumah Mas Gilang. Ibu lupa? Ini rumah warisan dari ibuku." Sengaja kutinggikan suaraku, biar ibu tak seamnesia itu.

 

"Kamu mulai berani membentak ibu ya, Lin? Rumah warisan atau bukan yang jelas kalian sudah menikah, otomatis ini rumah Gilang juga to?" Ibu masih saja tak mau mengalah. 

 

Kutinggalkan dia sendiri, daripada emosiku makin tak terkendali. Kembali masuk kamar dengan perasaan tak menentu. 

 

Siapa calon madu yang sudah dipersiapkan Mas Gilang itu? Apakah mereka sudah sering bertemu? Mereka saling mencintaikah? Atau ... perempuan itu benar-benar Dewi? Perempuan yang selalu disanjung ibu tiap kali kami ribut soal cucu? Perempuan berlesung pipi yang pernah memaki-makiku di depan mini market sebelas tahun yang lalu? .

 

"Dasar pelakor. Tak tahu malu. Bisanya cuma menghancurkan cinta orang lain. Merebut apa yang bukan haknya." Dia menampar pipi kananku, lalu mendorongku hingga tersungkur. Sakit. Namun, jauh lebih sakit kata-kata yang dia ucapkan di depan khalayak ramai. Banyak orang menatapku sinis. Meyakini ucapan perempuan itu begitu saja, tanpa bertabayun terlebih dahulu. 

 

Belum sempat kubalas ucapan konyolnya itu, dia sengaja sudah pergi dengan motor maticnya. Membiarkanku seperti pesakitan dengan tatapan mata orang-orang, meremehkan.

 

Pelakor dia menyebutku? Hah! Hanya karena Mas Gilang menolak cintanya dan memilihku menjadi istrinya, sampai dia menyebutku pelakor di depan banyak orang. 

Apakah dia masih menunggu cinta Mas Gilang? Hingga sampai detik ini belum  juga menikah? Atau dia memang masih belum siap berumah tangga? Meski usinya tak lagi muda bahkan hampir kepala tiga? 

Ah semoga saja bukan dia. Aku tak bisa membayangkan bagaimana rumah tanggaku jika benar dia yang menjadi maduku. 

***

Weekend ini, rumah terasa sepi. Mas Gilang dan ibu masih menjemput calon maduku di kota sebelah. Sinar matahari sore menembus celah-celah jendela kamar. 

 

Biasanya, weekend seperti ini kami habiskan dengan bersantai ria di gazebo belakang. Menikmati secangkir teh sembari menunggu matahari terbenam ke peraduan. Menyaksikan burung-burung beterbangan di atas cakrawala, pulang dengan perut kenyang. 

 

Kuhembuskan napas sesak. Mungkin, tak akan ada lagi weekend yang setenang itu jika ada perempuan lain di rumah ini. Ya sudahlah, kuterima garis takdirNya jika memang ini yang terbaik untukku dan suamiku. 

 

Kucoba menjalani semuanya sekuatku, jika memang tak sanggup lagi, aku stop sampai di situ. Tak akan kupaksa hatiku meneruskannya jika memang tak lagi mampu.

 

Seandainya permintaan itu tak memendadak ini, mungkin aku masih bisa mempersiapkan semuanya jauh-jauh hari. 

 

Deru mobil Mas Gilang terdengar di halaman. Gerbang sengaja tak kututup agar dia bisa segera masuk tanpa meminta bantuanku untuk membukanya terlebih dahulu. 

 

Biasanya kepulangannya adalah hal yang paling kutunggu, namun detik ini kepulangannya justru membuat hatiku semakin kacau tak tentu. Berharap waktu berjalan lebih lambat, agar aku bisa menata hati saat bertemu calon madu. 

 

"Assalamu'alaikum, Lin," panggilan Mas Gilang dari teras. 

 

"Wa'alaikumsalam, Mas. Masuk saja pintu nggak kukunci, kok," jawabku kemudian. Masih tetap termenung di bibir ranjang. Rasanya malas sekali beranjak dari tempat ini. 

 

"Lin, ngapain di situ? Bikinkan minum untuk tamu," Suara ibu terdengar begitu dekat, sepertinya di depan kamarku.

 

Tamu katanya? Apakah aku perlu serepot itu, menghidangkan minuman dan camilan untuk perempuan pilihannya?  

 

Kubuka pintu kamar dan menutupnya kembali. Sepertinya mereka sudah ada di ruang tamu. Debar jantungku kian terasa. Aku tak boleh lemah di hadapan mereka. Meskipun nyatanya memang selemah itu. 

 

Mas Gilang duduk di samping ibu, sedangkan perempuan muda dan cantik itu duduk bersebrangan dengan mereka. Gadis cantik berjilbab merah muda dengan stelan kaos dan celana levisnya, menoleh ke arahku dengan tersenyum manis. 

 

Tersenyum manis. Iyakah? Kutaksir usianya tak lebih dari 25 tahun. Benarkah dia yang akan menjadi maduku? Benarkah dia rela menjadi orang kedua dengan usia semuda itu? 

 

Syukurlah bukan Dewi yang selalu dipuji-puji ibu. Semoga saja dia wanita yang baik, bisa diajak kerjasama membangun keluarga yang (setidaknya) bahagia. Meskipun harus berbagi suami.

 

Ah, berbagi suami? Kata-kata yang terdengar sangat menyayat hati. 

 

"Duduk, Lin. Ini Maya," ucap Mas Gilang membuatku sedikit kaget. Dia menarik pelan pergelangan tanganku untuk duduk di sebelahnya.

 

"Oh jadi ini yang menjadi pilihanmu, Mas?," tanyaku padanya. Dia mengangguk pelan. Berbisik ke telingaku, 

 

"Lebih tepatnya, dia pilihan ibu."

 

Kuhembuskan napas pelan, mencoba paham. Semua ini memang ibu yang menginginkan. Aku berkenalan dengannya, berjabat tangan dan saling menyebutkan nama masing-masing. Mas Gilang menepuk-nepuk pundakku perlahan. 

 

"Assalamu'alaikum." Suara perempuan lain membuat kami menoleh dan  menjawab salamnya bersamaan.

 

"Sudah selesai ke kamar mandinya, Wi?" tanya ibu padanya. Perempuan itu tersenyum dan mengangguk pelan. 

 

Ya, perempuan itu. Menatapku tajam dengan senyum sinisnya. Dewi? Ngapain dia di sini?

 

***

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status