Pov : Bang Sony "Bang, utang kita sudah banyak banget di warung Abah Han. Aku nggak berani utang lagi. Malu, Bang. Apalagi kalau banyak orang yang belanja, masak cuma aku yang utang? Si Abah juga sering banget ngomong kenceng total utangku, sengaja biar para pembeli pada dengar. Bukannya dapat yang kubutuhkan, yang ada kupingku panas karena gunjingan," ucap Vina saat aku tiduran di karpet ruang tengah kontrakanku sembari nonton acara tivi. "Utang juga nanti bayar, kan, Vin? Kenapa harus malu? Kita nggak merampok," balasku santai. Aku masih sangat pusing karena di PHK dua bulan belakangan tanpa pesangon karena pabrik memang gulung tikar. Masih cukup beruntung karena gaji terakhirku diberikan."Aku tahu, Bang. Memang dibayar tapi nggak tahu kapan. Padahal utang kita sudah satu jutaan. Belum buat bayar kontrakannya. Gimana ini, Bang? Aku benar-benar pusing apalagi saat ini nggak ada pegangan sama sekali," ucap Vina lagi semakin membuat kepalaku pusing tujuh keliling. "Pinjam tetangga,
Pov : Arina "Bu, nanti sore Feri sama Arin mulai bawa barang-barang ke kontrakan, ibu tinggal di sini saja sama Mbak Vina, ya?" ucap Mas Feri mengawali pembicaraan pagi ini. Ibu tak terlalu kaget karena memang sebelumnya sudah mendapatkan kabar ini dari Bang Sony."Ibu ikut kamu saja lah, Fer," jawab ibu singkat. Aku yakin ibu kemakan omongan Bang Sony kemarin. Takut gaji Mas Feri aku kuasai makanya dia nggak mau berpisah dengan anak lelakinya itu. Sengaja ingin terus memata - mataiku."Ibu bilang sendiri kalau kami harus mandiri. Feri pusing lihat ibu sama Arin selalu cekcok bahkan kadang hanya hal sepele. Apalagi sekarang Arin usaha kuliner, Bu. Dia sering bikin dapur berantakan. Ibu sendiri yang suruh Arin cari kontrakan, kan?" Mas Feri kembali menatap ibu yang ada di sebelahnya, sedangkan aku duduk di seberang meja bersebelahan dengan Mbak Vina. "Ibu ikut sama kamu saja lah, Fer," ucap ibu lagi. "Ibu kenapa? Takut kalau aku mengambil semua gaji Mas Feri?" tanyaku singkat sembar
Hari ini adalah hari yang begitu membahagiakan karena sudah pindah ke kontrakan baru. Rumah yang kuharap bisa memberikan kenyamanan untuk penghuninya-- aku dan Mas Feri.Senang dan haru kini kurasakan. Aku tak pernah menyangka jika Mas Feri akhirnya bisa pergi juga dari rumah penuh kenangan almarhum bapak itu. Memilih bersamaku tanpa membawa serta ibu."Mas, kita harus beli perabotan juga, kan? Nggak mungkin kita bawa dari rumah ibu meskipun kamu yang beli semua," ucapku mengawali pembicaraan. Maklum, baru saja pindah. Peralatan masak nggak punya, peralatan tidur pun nggak ada. Yang aku bawa dari rumah ibu hanya sebatas pakaian dan beberapa benda lain yang nggak begitu berharga. Mas Feri menyeruput kopinya lalu mengambil sepotong brownies yang sudah kusiapkan di atas piring. Beruntung aku punya teko listrik, jadi lumayan bisa untuk menyeduh kopi sebelum ada peralatan dapur. "Soal itu kamu nggak perlu khawatir, Rin. Aku sudah telepon penjual perabotan, nanti siang mereka ke sini baw
Hari kedua tinggal di kontrakan baru, rasanya begitu tenang dan nyaman. Tak ada suara berisik ibu dan Mbak Vina yang selalu menyindir dan meremehkan apalagi sengaja mengajak tetangga untuk menggunjing berjamaah di teras rumah. Mas Feri pun mulai perhatian, meski tetap saja dia terkadang plin-plan tiap kali melihat ibunya menangis. Entah beneran atau sekadar settingan. Mungkin karena ibu selalu mengungkit soal kewajiban anak laki-laki setelah menikah, membuat Mas Feri terkadang bimbang dan kebingungan. Seperti kemarin saat ibu kembali mengusik tanggungjawabnya sebagai anak laki-laki satu-satunya. "Ibu sudah mengizinkan kamu menikah dengan Arina, Fer. Padahal sejak awal ibu ingin kamu menikah dengan Delima. Tapi kamu selalu bilang kalau ibu pasti akan akur dengan Arina. Kamu selalu memuji dia perempuan baik, jujur dan sayang pada orang tua. Kamu juga bilang nggak akan pernah melupakan tanggungjawabmu pada ibu karena kamu anak lelaki, tapi apa?Nyatanya sampai dua tahun pernikahan kal
Terpaksa aku buru-buru masuk ke dalam dan melangkah cepat menuju kamar. Tiba-tiba pintu kamar tertutup begitu saja dari luar. Aku sangat kaget, keringat dingin mulai menetes dari dahi. Berulang kali aku berusaha membuka pintu namun tak bisa. Entah mengapa!Aku luruh begitu saja di lantai. Tangan gemetar mengambil ponsel dari dalam tas kecil yang kubawa. Gegas kutelepon Mas Feri untuk mengabarkan keadaanku saat ini. Berulang kali kutelepon tak diangkatnya juga. Apakah akhirnya Mas Feri sudah meeting meski tanpa berkas itu? Air mataku mulai menetes di pipi apalagi saat melihat pintu kamar mulai terbuka perlahan dari luar. Kupandangi sosok itu dari bawah menuju atas. Senyum tipis itu terlukis di sana, seolah senyum penuh kemenangan. Mengerikan. Siapa lagi kalau bukan Bang Sony. Kakiku masih begitu lemas, namun berusaha kuat dan lari ke jendela dan segera membukanya, ingin lompat begitu saja dari kamar ini. Namun belum sampai jendela terbuka, Bang Sony berlari mendekat, aku pun buru-bur
Pov : Vina "Aku cuma minta kamu menjebak Arina di rumah ini dua kali, Bang! Kenapa kamu justru ke kontrakannya, ha? Pakai alasan bohong pula! Keterlaluan kamu, Bang. Kamu suka sama Arina, kan? Jujur, Bang. Jangan mengelak!" Kudorong tubuh Bang Sony kasar. Aku sangat kesal, teganya dia membohongiku. Ternyata selama ini diam-diam dia mendekati Arina di belakangku, begitu? Tega! Sudah nggak kasih nafkah layak, tinggal gratis di rumah ibuku, tapi dia malah ngelunjak. Selama ini aku diam saja saat dia nggak kasih nafkah karena masih ada Feri.Aku juga nggak terlalu menuntut saat dia hanya memberiku uang berapa rupiah saja hasil dari ngojeknya karena memang kebutuhan masih ditanggung ibu, tapi berbohong demi Arina? Benar-benar kelewatan!"Keterlaluan kamu, Bang! Kamu tahu kalau aku kesal sama Arina karena dia sudah menguasai Feri, tapi kamu diam-diam justru mendekati dia, ha?!" Kutonjok lengan kanan Bang Sony lagi. Air mataku deras mengalir, sementara Bang Sony terus memohon maaf. "Maaf,
Pov : Arina"Kata dokter, ibu kena gejala stroke, Fer. Nggak boleh kerja berat-berat dulu. Suruh banyak istirahat," ucap Mbak Vina saat aku dan Mas Feri sampai ke kamar ibu. Bang Sony nggak ada di kamar, mungkin pulang menjaga Fino dan Fian."Astaghfirullah, apa selama ini ibu kecapekan atau banyak pikiran?" tanya Mas Feri dengan wajah cemas. Ibu hanya menggelengkan kepalanya. Tak sepatah katapun terucap dari bibir ibu. Seperti ada sesuatu yang dia pikirkan dan sembunyikan.Mas Feri memijit lengan ibu perlahan. Begitu lah Mas Feri, begitu menyayangi ibu meski ibu sering kali membuatnya kesal. Namun kini aku cukup bersyukur karena Mas Feri mulai sadar, meski belum sepenuhnya. Karena kadang masih saja plinplan dalam mengambil keputusan. Masih mudah dirayu dan diracuni pikirannya."Memangnya semua pekerjaan rumah, ibu yang mengerjakan, Mbak?" tanya Mas Feri lagi. Mbak Vina sedikit tersentak mendengar pertanyaan Mas Feri barusan. Dia sedikit salah tingkah dan gugup."Eng-- nggak lah, Fer.
Pov : Vina|Alhamdulillah, bisa berlibur juga akhirnya.|Status Arina dengan fotonya di depan Monas benar-benar membuatku panas. Dia enak jalan-jalan, sementara aku di rumah kerepotan. Meski baju-baju ibu di laundry tetap saja ribet. Aku harus masak, ngurusin dua bocah, ngepel, nyuci piring, antar jemput Fano sekolah TK ditambah ibu yang selama Arin nggak ada sering minta makanan aneh-aneh. Seharusnya ibu bersyukur aku mau ribet masakin ini itu sesuai permintaannya. Bukannya berterima kasih malah bilang masakanku tak seenak masakan Arina segala. Menyebalkan bukan?"Masak apa, Vin?" tanya ibu singkat saat aku sibuk menumis kacang panjang dengan campuran tahu. Ibu melongok ke panci begitu saja lalu mundur ke belakang. Perlahan duduk di kursi makan sambil memijit lengannya sendiri. "Tadi aku masak sop ayam buat ibu kalau memang nggak suka tumis kacang," ucapku kemudian saat ibu membuka tudung saji. Ibu mengangguk pelan. "Arina sama Feri kapan pulang, Vin?" tanya ibu singkat. Entah me