Pov : Vina "Aku cuma minta kamu menjebak Arina di rumah ini dua kali, Bang! Kenapa kamu justru ke kontrakannya, ha? Pakai alasan bohong pula! Keterlaluan kamu, Bang. Kamu suka sama Arina, kan? Jujur, Bang. Jangan mengelak!" Kudorong tubuh Bang Sony kasar. Aku sangat kesal, teganya dia membohongiku. Ternyata selama ini diam-diam dia mendekati Arina di belakangku, begitu? Tega! Sudah nggak kasih nafkah layak, tinggal gratis di rumah ibuku, tapi dia malah ngelunjak. Selama ini aku diam saja saat dia nggak kasih nafkah karena masih ada Feri.Aku juga nggak terlalu menuntut saat dia hanya memberiku uang berapa rupiah saja hasil dari ngojeknya karena memang kebutuhan masih ditanggung ibu, tapi berbohong demi Arina? Benar-benar kelewatan!"Keterlaluan kamu, Bang! Kamu tahu kalau aku kesal sama Arina karena dia sudah menguasai Feri, tapi kamu diam-diam justru mendekati dia, ha?!" Kutonjok lengan kanan Bang Sony lagi. Air mataku deras mengalir, sementara Bang Sony terus memohon maaf. "Maaf,
Pov : Arina"Kata dokter, ibu kena gejala stroke, Fer. Nggak boleh kerja berat-berat dulu. Suruh banyak istirahat," ucap Mbak Vina saat aku dan Mas Feri sampai ke kamar ibu. Bang Sony nggak ada di kamar, mungkin pulang menjaga Fino dan Fian."Astaghfirullah, apa selama ini ibu kecapekan atau banyak pikiran?" tanya Mas Feri dengan wajah cemas. Ibu hanya menggelengkan kepalanya. Tak sepatah katapun terucap dari bibir ibu. Seperti ada sesuatu yang dia pikirkan dan sembunyikan.Mas Feri memijit lengan ibu perlahan. Begitu lah Mas Feri, begitu menyayangi ibu meski ibu sering kali membuatnya kesal. Namun kini aku cukup bersyukur karena Mas Feri mulai sadar, meski belum sepenuhnya. Karena kadang masih saja plinplan dalam mengambil keputusan. Masih mudah dirayu dan diracuni pikirannya."Memangnya semua pekerjaan rumah, ibu yang mengerjakan, Mbak?" tanya Mas Feri lagi. Mbak Vina sedikit tersentak mendengar pertanyaan Mas Feri barusan. Dia sedikit salah tingkah dan gugup."Eng-- nggak lah, Fer.
Pov : Vina|Alhamdulillah, bisa berlibur juga akhirnya.|Status Arina dengan fotonya di depan Monas benar-benar membuatku panas. Dia enak jalan-jalan, sementara aku di rumah kerepotan. Meski baju-baju ibu di laundry tetap saja ribet. Aku harus masak, ngurusin dua bocah, ngepel, nyuci piring, antar jemput Fano sekolah TK ditambah ibu yang selama Arin nggak ada sering minta makanan aneh-aneh. Seharusnya ibu bersyukur aku mau ribet masakin ini itu sesuai permintaannya. Bukannya berterima kasih malah bilang masakanku tak seenak masakan Arina segala. Menyebalkan bukan?"Masak apa, Vin?" tanya ibu singkat saat aku sibuk menumis kacang panjang dengan campuran tahu. Ibu melongok ke panci begitu saja lalu mundur ke belakang. Perlahan duduk di kursi makan sambil memijit lengannya sendiri. "Tadi aku masak sop ayam buat ibu kalau memang nggak suka tumis kacang," ucapku kemudian saat ibu membuka tudung saji. Ibu mengangguk pelan. "Arina sama Feri kapan pulang, Vin?" tanya ibu singkat. Entah me
Pov : Vina Rencana pertama untuk membuat Feri dan Arina pulang ternyata manjur juga. Mereka yang tadinya masih ada jatah liburan tiga hari lagi, mendadak akan pulang lebih cepat setelah aku sengaja memberi kabar bahwa ibu sakit. Benar saja, ibu memang sakit setelah jalan-jalan dengan Delima kemarin. Mungkin dia kecapekan hingga tensinya sedikit naik. Kuminta ibu untuk tiduran di ranjang lalu klik. Foto dengan caption ibu kambuh lagi pun sudah terpasang di status whatsapp. |Mbak, ibu beneran sakit? Kambuh lagi tensinya?| Pesan dari Arina yang kuyakini dia begitu mengkhawatirkan ibu. Senyumku mengembang seketika. |Iya. Gara-gara kamu pelit dan perhitungan. Kamu sengaja bujuk Feri supaya nggak ngajak ibu jalan-jalan ke Jakarta, ibu jadi kepikiran, kan? Padahal ibu pengin banget lihat Monas! Untung saja Delima pengertian, dia ngajak ibu jalan ke kebun binatang sama aku dan anak-anak. Lumayan daripada nggak sama sekali||Ya Allah, Mbak. Mas Feri nggak ngajak ibu juga ada sebabnya. Taku
Pov : Feri Bingung. Dilema. Nggak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi aku ingin melihat ibu bahagia tapi di sisi lain aku juga ingin membuat Arina bahagia. Aku nggak mungkin tega jika kebahagiaan ibu nanti di atas luka dan tangisan istriku sendiri. Urusan anak sudah aku jelaskan berulang kali pada ibu, jika itu HAK mutlak Allah yang kita tak bisa mendikte apalagi memaksa kehendakNya. Jika memang aku dan Arina diizinkan memiliki anak, pastilah esok atau lusa DIA akan menitipkan malaikat kecil itu di rahim Arina, namun jika tidak? Bisa dengan jalan lain yang tak menyakitkan untuk keduanya, untuk ibu dan Arina tentunya. Bukan dengan jalan menikahi perempuan lain hanya untuk mendapatkan buah hati. Ibu baru saja pulang ke rumah setelah tiga hari di rumah sakit. Dia masih belum sembuh benar sepertinya, namun ingin lekas pulang karena tak betah dengan selang infus yang menancap di tangannya. Kedatangan Delima membuat Arina menatapku beberapa saat lamanya, hingga dia pamit padaku untuk
"Tadi siang bahas apa sama ibu dan Delima, Mas? Kamu beneran mau nikah siri sama mantan tunanganmu itu?" tanyaku sedikit serak saat menyiapkan makan malam. Mas Feri menghembuskan napas perlahan lalu menatapku beberapa saat lamanya. Dia pun mengulum senyum lalu menarik kursi ke belakang, memintaku untuk duduk di sampingnya. "Aku nggak mungkin mengecewakanmu lagi dan lagi, Arina. Percaya lah. Ibu memang memaksaku untuk menikahi Delima. Aku sudah menolaknya, tapi ibu minta sebuah perjanjian," ucap Mas Feri dengan wajah ditekuk. "Perjanjian, Mas? Perjanjian apa?" tanyaku kaget. Perjanjian apalagi coba? Ada-ada saja pakai acara perjanjian segala. "Ibu bilang, jika kamu tak setia maka aku harus mau menikahi Delima. Maafkan ibu, Arin. Ibu terlalu berambisi memiliki cucu, jadi sikapnya akhir-akhir ini makin tak menentu. Ah entahlah. Aku sudah berusaha menenangkan dan menjelaskan betapa setianya kamu, namun nyatanya sia-sia. Ibu masih tetap memintaku untuk menikah dengan Delima jika kamu k
Kamu Arina, kan?" tanya laki-laki di hadapanku itu lagi sembari mengingat-ingat. Senyumnya mengembang seketika saat melihatku menganggukkan kepala."MasyaAllah, Om. Nggak nyangka bisa ketemu di sini," ucapku dengan senyum lebar. Laki-laki bertubuh tinggi dan sedikit gemuk itu pun berbinar bahagia. Aku dan Om Hermawan memang sudah bertahun-tahun nggak ketemu sejak beliau dan keluarga kecilnya pindah ke luar negeri. Aku sendiri tak pernah menyangka jika akhirnya dipertemukan di sini, di kantor tempat Mas Feri bekerja. Sudah cukup lama Mas Feri bekerja di kantor ini, tapi entah mengapa baru kali ini aku bertemu dengan Om Hermawan.Ketiga orang di sampingku melirik sekilas, tampak begitu jelas di wajah mereka yang cukup kaget karena aku mengenal laki-laki yang kupastikan usianya lebih dari 60 tahun itu."Arina, ayo ke ruangan Om. Ada beberapa hal yang mau Om tanyakan sama kamu selama ini," ucap Om Hermawan lagi. Aku hanya sedikit membungkukkan badan lalu tersenyum tipis.Om Hermawan ada
Pov : Feri Meeting hari ini selesai sudah. Perkenalan dengan direktur baru terpaksa ditunda karena Pak Alfin belum siap ke kantor hari ini karena dia masih ada sedikit urusan. Kemungkinan besok Pak Alfin baru masuk kantor, memperkenalkan dirinya sebagai direktur baru pengganti papanya-- Pak Hermawan.Syukur lah, biar aku siapkan dulu berkas-berkas yang akan kulaporkan dan membutuhkan tandatangannya. Jadi besok saat meeting semua sudah siap tersedia. Ponselku berdering saat aku baru saja menyandarkan tubuh ke kursi kerja. Mbak Vina menelepon. Kulirik jam di tangan menunjuk angka sepuluh lebih lima belas menit. Tumben sekali dia menelepon jam-jam segini, biasanya dia cukup tahu waktu, menelepon saat jam makan siang atau sebelum jam masuk kantor. Entah apa yang akan ditanyakan atau dilaporkannya padaku. "Assalamu'alaikum, Fer. Kamu di mana?" tanya Mbak Vina sedikit gugup. "Wa'alaikumsalam, Mbak. Aku di kantor lah jam segini. Kenapa, Mbak? Ada masalah dengan ibu? Tumben jam segini tel