Kamu Arina, kan?" tanya laki-laki di hadapanku itu lagi sembari mengingat-ingat. Senyumnya mengembang seketika saat melihatku menganggukkan kepala."MasyaAllah, Om. Nggak nyangka bisa ketemu di sini," ucapku dengan senyum lebar. Laki-laki bertubuh tinggi dan sedikit gemuk itu pun berbinar bahagia. Aku dan Om Hermawan memang sudah bertahun-tahun nggak ketemu sejak beliau dan keluarga kecilnya pindah ke luar negeri. Aku sendiri tak pernah menyangka jika akhirnya dipertemukan di sini, di kantor tempat Mas Feri bekerja. Sudah cukup lama Mas Feri bekerja di kantor ini, tapi entah mengapa baru kali ini aku bertemu dengan Om Hermawan.Ketiga orang di sampingku melirik sekilas, tampak begitu jelas di wajah mereka yang cukup kaget karena aku mengenal laki-laki yang kupastikan usianya lebih dari 60 tahun itu."Arina, ayo ke ruangan Om. Ada beberapa hal yang mau Om tanyakan sama kamu selama ini," ucap Om Hermawan lagi. Aku hanya sedikit membungkukkan badan lalu tersenyum tipis.Om Hermawan ada
Pov : Feri Meeting hari ini selesai sudah. Perkenalan dengan direktur baru terpaksa ditunda karena Pak Alfin belum siap ke kantor hari ini karena dia masih ada sedikit urusan. Kemungkinan besok Pak Alfin baru masuk kantor, memperkenalkan dirinya sebagai direktur baru pengganti papanya-- Pak Hermawan.Syukur lah, biar aku siapkan dulu berkas-berkas yang akan kulaporkan dan membutuhkan tandatangannya. Jadi besok saat meeting semua sudah siap tersedia. Ponselku berdering saat aku baru saja menyandarkan tubuh ke kursi kerja. Mbak Vina menelepon. Kulirik jam di tangan menunjuk angka sepuluh lebih lima belas menit. Tumben sekali dia menelepon jam-jam segini, biasanya dia cukup tahu waktu, menelepon saat jam makan siang atau sebelum jam masuk kantor. Entah apa yang akan ditanyakan atau dilaporkannya padaku. "Assalamu'alaikum, Fer. Kamu di mana?" tanya Mbak Vina sedikit gugup. "Wa'alaikumsalam, Mbak. Aku di kantor lah jam segini. Kenapa, Mbak? Ada masalah dengan ibu? Tumben jam segini tel
Pov : ArinaHari ini adalah hari syukuran Mas Alvin. Sejak siang aku sudah mempersiapkan timlo, nasi dan risoles untuk acara itu, persis seperti yang diperintahkan Om Hermawan tempo hari. Acaranya berlangsung malam hari sebelum isya. Aku pun mengantar pesanan Om Hermawan dengan Mas Feri setelah salat ashar."Mas, kamu masih marah soal kemarin?" tanyaku singkat saat Mas Feri mulai memacu mobilnya ke jalanan beraspal yang mulai ramai dengan lalu lalang kendaraan. Apalagi ini weekend, biasa digunakan para remaja untuk jalan-jalan."Soal apa?" tanya Mas Feri singkat, tanpa menoleh. Dia begitu fokus dengan laju mobilnya. Jika ada celah yang memungkinkan untuk menyalip, sebisa mungkin dia menyalip cukup cepat."Soal Mas Alvin lah, soal apalagi," balasku. Mas Feri menoleh sekilas lalu kembali menatap jalanan di depannya."Aku lebih percaya kamu sama penjelasan Mbak Mirna kok dibandingkan laporan Mbak Vina," ucap Mas Feri kemudian, membuatku cukup lega sekarang. "Syukurlah kalau percaya sam
Pov : Feri "Feri ... pulang cepat, Fer. Vina ngamuk ini. Ibu takut dia makin meledak-ledak. Tetangga sudah banyak yang datang pula," ucap ibu gugup dari seberang. "Memangnya ada apa sih, Bu? Acara Pak Hermawan belum selesai, Arina juga masih ada kewajiban buat nungguin tempat timlo dan nasinya," ucapku lagi. "Aduh itu urusan belakangan. Kakakmu lebih gawat ini, dia teriak-teriak begini. Sudah pokoknya cepat pulang. Si Sony bikin ulah, dia sudah punya bini baru dan Vina nggak sudi dimadu," ucap ibu lagi. "Pulang cepat, Fer. Jangan banyak tanya lagi, itu Si Sony malah lebih condong ke bini barunya" Ibu mematikan teleponnya tanpa salam sepertinya dia sangat gugup. Meski aku kesal dengan sikap Mbak Vina pada Arina beberapa bulan belakangan, tapi mau gimanapun dia tetap kakakku. Dan aku wajib untuk membantunya saat ini. Mengesampingkan ego yang belakangan ini selalu merajai benakku.Aku pun pamit pada Arina, meminta dia untuk tetap tinggal sampai acara selesai, nggak enak juga kalau k
Pov : Feri"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari pintu. Kujawab salam itu lirih. Arina masuk dengan senyum manisnya, menatapku beberapa saat lalu beralih ke arah ibu yang tiduran diranjang. Ibu hanya menatapnya sekilas lalu membuang muka. Aku yakin ibu masih kesal karena kejadian kemarin malam saat melihat Arina dengan Pak Alvin di mini market. "Ibu lihat kemarin malam kamu diantar laki-laki, Rin. Ngobrol sambil bercanda di depan mini market sebelum masuk perumahan kita. Bukannya prihatin atau khawatir mertuanya masuk rumah sakit, malah asyik ketawa-ketiwi sambil jajan," ucap ibu ketus saat Arina baru sampai kamar dengan membawa beberapa buah favorit ibu. Dia melirikku sekilas lalu menghela napas."Itu Pak Alvin, Bu. Atasannya Mas Feri yang kebetulan teman kecilku," balas Arina lirih sambil tersenyum tipis menatap wajah ibu yang menoleh keheranan."Maksudmu apa?" tanya ibu singkat masih dengan ekspresi tak bersahabat."Iya, Bu. Ternyata Mas Feri bekerja di kantor Om Hermawan. Bel
Pov : VinaAku tak paham kenapa Bang Sony tega menduakan aku. Aku yang sudah membersamainya selama delapan tahun belakangan, bahkan memberikannya dua orang putera yang tanpan. Aku pun benar-benar tak habis pikir, kenapa dia sampai berinisiatif untuk menikah lagi hanya karena begitu menginginkan seorang anak perempuan. Atau itu hanya sebuah alasan padahal aslinya dia memang sudah bosan?Aku heran, mengapa Bang Sony tak pernah ada rasa bersyukurnya. Padahal selama tinggal di rumah ini, aku selalu menerima berapapun uang yang dia berikan, karena memang sudah tak pusing membayar komtrakan tiap bulan. Aku juga jarang sekali protes soal gaji dari ngojeknya yang pas-pas an. Kupikir memang segitu lah penghasilan darinya, tak kusangka jika semua memang sudah dibagi dua. Iya, dibagi dengan istri keduanya."Siapa dia, Bang?" tanyaku kemarin saat Bang Sony pulang kerja bersama seorang perempuan dengan perut buncitnya. Bang Sony hanya menunduk, sembari mempersilakan perempuan itu duduk di sofa. S
Pov : Arina Perlahan kudorong kursi roda ibu menuju ambang pintu. Aku yakin ibu mendengar semua percakapan Delima dan Mbak Vina. Terlihat dari tatapan matanya yang begitu kaget saat melihat Delima-- calon menantu kesayangannya tengah terisak di sofa. Mas Feri melirikku sembari tersenyum tipis. Rencanaku dengannya sukses besar. Mbak Vina dan perempuan di sampingnya tak tahu jika aku memang datang lebih cepat, tak sesuai ucapan Mas Feri tadi pagi saat Mbak Vina menelepon tentang kepulangan ibu. "Jadi kamu nggak tulus mencintai Feri, Del?" tanya ibu lirih saat perlahan kudorong kursi roda menuju ruang tengah, tepat kedua perempuan itu berada dan saling curhat. Sepertinya kekagetan Delima dan Mbak Vina juga belum reda, bahkan setelah aku duduk di sofa tak jauh dari mereka yang mungkin hanya sekitar dua langkah saja. "Maksud ibu apa, sih?" tanya Mbak Vina lirih. Ibu menoleh cepat ke arahnya lalu menggelengkan kepala pelan."Kamu masih tanya kenapa, Vin? Delima berarti nggak tulus menc
"Aku pulang, ya, Bu. Sekalian mau beli test pack seperti yang ibu minta. Kalau ibu butuh apa-apa sama Mbak Vina dulu aja atau bisa telepon Mbak Mirna. Aku udah minta tolong Mbak Mirna buat sesekali tengok ibu ke sini," pamitku pada ibu yang masih tiduran di ranjang. Ibu hanya mengangguk pelan. Aku dan Mas Feri sama-sama mencium punggung tangan ibu sembari berpamitan. Setelah itu melangkah ke teras rumah berdua. Mbak Vina masih sibuk menelepon entah siapa, sepertinya Bang Sony karena dia terlihat begitu murka. Ngomel-ngomel tak karuan."Ke apotek dulu ya, Mas. Kita beli test pack. Ya Allah entah gimana nanti kalau beneran hamil. Bayanginnya saja aku sudah mau nangis begini," ucapku pada Mas Feri sembari memasang seat belt. Mas Feri pun ikut berkaca-kaca menatapku beberapa saat lamanya."Memangnya kamu sudah telat haidnya, Rin?" tanya Mas Feri lirih. Dia kembali menoleh ke arahku lalu mulai menyalakan mesin mobilnya."Sudah sih, Mas. Sepuluh harian, tapi kadang juga telat kok tapi tetap