Pov : VinaAku tak paham kenapa Bang Sony tega menduakan aku. Aku yang sudah membersamainya selama delapan tahun belakangan, bahkan memberikannya dua orang putera yang tanpan. Aku pun benar-benar tak habis pikir, kenapa dia sampai berinisiatif untuk menikah lagi hanya karena begitu menginginkan seorang anak perempuan. Atau itu hanya sebuah alasan padahal aslinya dia memang sudah bosan?Aku heran, mengapa Bang Sony tak pernah ada rasa bersyukurnya. Padahal selama tinggal di rumah ini, aku selalu menerima berapapun uang yang dia berikan, karena memang sudah tak pusing membayar komtrakan tiap bulan. Aku juga jarang sekali protes soal gaji dari ngojeknya yang pas-pas an. Kupikir memang segitu lah penghasilan darinya, tak kusangka jika semua memang sudah dibagi dua. Iya, dibagi dengan istri keduanya."Siapa dia, Bang?" tanyaku kemarin saat Bang Sony pulang kerja bersama seorang perempuan dengan perut buncitnya. Bang Sony hanya menunduk, sembari mempersilakan perempuan itu duduk di sofa. S
Pov : Arina Perlahan kudorong kursi roda ibu menuju ambang pintu. Aku yakin ibu mendengar semua percakapan Delima dan Mbak Vina. Terlihat dari tatapan matanya yang begitu kaget saat melihat Delima-- calon menantu kesayangannya tengah terisak di sofa. Mas Feri melirikku sembari tersenyum tipis. Rencanaku dengannya sukses besar. Mbak Vina dan perempuan di sampingnya tak tahu jika aku memang datang lebih cepat, tak sesuai ucapan Mas Feri tadi pagi saat Mbak Vina menelepon tentang kepulangan ibu. "Jadi kamu nggak tulus mencintai Feri, Del?" tanya ibu lirih saat perlahan kudorong kursi roda menuju ruang tengah, tepat kedua perempuan itu berada dan saling curhat. Sepertinya kekagetan Delima dan Mbak Vina juga belum reda, bahkan setelah aku duduk di sofa tak jauh dari mereka yang mungkin hanya sekitar dua langkah saja. "Maksud ibu apa, sih?" tanya Mbak Vina lirih. Ibu menoleh cepat ke arahnya lalu menggelengkan kepala pelan."Kamu masih tanya kenapa, Vin? Delima berarti nggak tulus menc
"Aku pulang, ya, Bu. Sekalian mau beli test pack seperti yang ibu minta. Kalau ibu butuh apa-apa sama Mbak Vina dulu aja atau bisa telepon Mbak Mirna. Aku udah minta tolong Mbak Mirna buat sesekali tengok ibu ke sini," pamitku pada ibu yang masih tiduran di ranjang. Ibu hanya mengangguk pelan. Aku dan Mas Feri sama-sama mencium punggung tangan ibu sembari berpamitan. Setelah itu melangkah ke teras rumah berdua. Mbak Vina masih sibuk menelepon entah siapa, sepertinya Bang Sony karena dia terlihat begitu murka. Ngomel-ngomel tak karuan."Ke apotek dulu ya, Mas. Kita beli test pack. Ya Allah entah gimana nanti kalau beneran hamil. Bayanginnya saja aku sudah mau nangis begini," ucapku pada Mas Feri sembari memasang seat belt. Mas Feri pun ikut berkaca-kaca menatapku beberapa saat lamanya."Memangnya kamu sudah telat haidnya, Rin?" tanya Mas Feri lirih. Dia kembali menoleh ke arahku lalu mulai menyalakan mesin mobilnya."Sudah sih, Mas. Sepuluh harian, tapi kadang juga telat kok tapi tetap
Pov : FeriKabar kehamilan Arin benar-benar membuat ibu berubah. Dia mulai perhatian pada Arin soal asupan makanan hariannya. Ibu pun sering mengingatkan Arin soal kesehatan dan istirahatnya. "Masih mual-mual, Rin?" tanyaku pada Arin yang baru ke luar dari kamar mandi. Dia terlihat begitu lemas. "Kalau nggak mau makan nasi, aku bikinkan susu aja gimana? Atau roti tawar selai kacang? Dipanggang aja mau?" Aku mulai cemas melihat Arin tak makan apa-apa dari pagi. Dia bolak-balik kamar mandi berulang kali. Bahkan air putih pun sering dia keluarkan lagi. "Mas, mau lah bikin roti panggang selai nanas aja, ya? Nggak usah banyak-banyak takut nggak abis, mubadzir. Lagipula kamu juga nggak suka selai nanas," pinta Arina kemudian. Aku pun mengangguk pelan. Kubaringkan Arina di atas ranjang lalu menyelimutinya setengah badan. Setelahnya aku keluar kamar, menuju dapur untuk membuatkan Arina roti panggang dengan selai nanas sesuai permintaannya. Aku sengaja hanya bikin dua roti panggang, kala
Pov : Arina"Rin, gimana kandunganmu? Sudah enakan atau masih sering mual?" Suara ibu terdengar begitu cemas dari seberang. Sejak tahu aku hamil, ibu mulai perhatian padaku. Berubah cukup drastis. Mungkin karena aku juga tulus merawat ibu saat dia stroke beberapa minggu lalu. Meski kini masih belum bisa menggerakkan sebagian anggota badannya, tapi kini ibu sudah mulai bisa duduk di kursi roda sendiri tanpa bantuan siapa pun. "Alhamdulillah sehat, Bu. Masih jalan sepuluh minggu, jadi masih ada mual-mual, Bu. Tapi ini aku paksa makan meski sedikit, yang penting susu sama vitamin masuk kok," balasku kemudian. "Alhamdulillah kalau begitu, Rin. Ibu khawatir kamu kenapa-kenapa aja soalnya beberapa hari ini nggak datang ke rumah." "Iya, maaf ya, Bu. Aku nggak enak badan beberapa hari ini. Jadi nggak bisa nemenin ibu di rumah. Tapi Mbak Vina mau nemenin ibu, kan?" tanyaku lagi. Ibu hanya menghembuskan napas panjang. "Vina ribut tiap hari sama Sony, sampai lupa kalau ibu dan anaknya juga
Pov : FeriAku sengaja memvideo minyak goreng yang berceceran di lantai dapur. Rencananya nanti akan kuperlihatkan pada Mas Feri agar dia lihat di cctv apa yang sebenarnya terjadi. Benar karena tumpah nggak disengaja atau karena ulah Mbak Vina yang memang tak pernah menginginkan aku berbadan dua. Aku sendiri tak paham bagaimana isi hati Mbak Vina. Iri atau memang benci. "Kamu kenapa, Rin? Ada apa di dapur kok ramai-ramai tadi?" tanya ibu yang masih berusaha duduk di atas kursi rodanya. Aku membantunya untuk duduk lalu mengajak ibu ke kamar Fian dan Fano. "Ada minyak tumpah di lantai dapur, Bu. Untung aku belum sampai sana, kalau sudah mungkin aku yang terpeleset. Fian sama Fano lari-larian, mereka yang jatuh tadi. Bahkan kepala Fian sampai kejedot tembok saking licinnya," ucapku. Ibu mendongak ke arahku sambil mengerutkan alisnya. "Minyak di lantai dapur? Kok bisa?" tanyanya heran. Aku pun hanya mengedikkan bahu. Rasanya sudah malas membahas itu, biar lah Mas Feri nanti yang menyel
Pov : Vina"Astaghfirullah, Fian ... tadi kamu demam. Sekarang malah muntah-muntah. Nggak bisa dibiarin ini. Mama antar ke klinik sekarang, ya?" ucapku begitu gugup saat melihat Fian muntah di lantai kamarnya.Aku mulai panik. Kulihat Arin berdiri di samping pintu kamar yang memang terbuka lebar. Entah mau apa dia di sana. Ah, aku tak peduli. Tiap kali melihat dia rasanya emosiku makin meninggi. Gara-gara dia juga kemarin aku mendapatkan omelan Feri. Aku buru-buru lari ke luar kamar, meninggalkan Arin begitu saja di samping pintu kamar Fano dan Fian. Dia terlihat kebingungan namun tak melayangkan pertanyaan apa pun. Diam membisu di ambang pintu tanpa pernah kutahu apa maunya perempuan itu."Fer! Feri! Gendong Fian, kita ke klinik sekarang!" Perintahku kemudian. Feri yang masih asyik nonton tivi di sofa pun buru-buru ke kamar dua ponakannya. Sementara aku buru-buru menata baju ganti kr dalam tas besar."Beneran demam, Rin." Lirih kudengar Feri berkomentar lalu menggendong Fian menuju
Pov : Vina "Asal kamu tahu, semua biaya Fian kemarin pun dari tabungan Arin karena Feri belum gajian."Ucapan ibu kemarin benar-benar membuatku kepikiran. Sebegitu peduli kah Arina padaku? Atau dia hanya sekadar cari perhatian ibu? Arina hanya ingin mencuri hati ibu dengan cara membuatku terlihat buruk di mata ibuku sendiri? Aku benar-benar tak mengerti apa dan bagaimana jalan pikiran Arina saat ini. Apa Arina merencanakan sesuatu yang buruk padaku karena ingin balas dendam atas tragedi minyak goreng waktu itu? Apa dia sudah mulai berubah dan setega itu pada kakak iparnya sendiri? Atau sebenarnya dia hanya kasihan pada Fian bukan bermaksud membantuku? Atau dia justru secara tak langsung menertawakan hidupku yang runyam? "Aaaaaaaaaaaaa Waaaaaaaa." Kepalaku benar-benar pusing dibuatnya. Aku takut jika Arina bersandiwara pura-pura baik di depanku padahal sedang merencanakan sesuatu yang akan membuat hidupku lebih hancur nantinya. Bagaimana ini? Bang Sony ... dia tak pernah mengangga