Pov : Vina"Astaghfirullah, Fian ... tadi kamu demam. Sekarang malah muntah-muntah. Nggak bisa dibiarin ini. Mama antar ke klinik sekarang, ya?" ucapku begitu gugup saat melihat Fian muntah di lantai kamarnya.Aku mulai panik. Kulihat Arin berdiri di samping pintu kamar yang memang terbuka lebar. Entah mau apa dia di sana. Ah, aku tak peduli. Tiap kali melihat dia rasanya emosiku makin meninggi. Gara-gara dia juga kemarin aku mendapatkan omelan Feri. Aku buru-buru lari ke luar kamar, meninggalkan Arin begitu saja di samping pintu kamar Fano dan Fian. Dia terlihat kebingungan namun tak melayangkan pertanyaan apa pun. Diam membisu di ambang pintu tanpa pernah kutahu apa maunya perempuan itu."Fer! Feri! Gendong Fian, kita ke klinik sekarang!" Perintahku kemudian. Feri yang masih asyik nonton tivi di sofa pun buru-buru ke kamar dua ponakannya. Sementara aku buru-buru menata baju ganti kr dalam tas besar."Beneran demam, Rin." Lirih kudengar Feri berkomentar lalu menggendong Fian menuju
Pov : Vina "Asal kamu tahu, semua biaya Fian kemarin pun dari tabungan Arin karena Feri belum gajian."Ucapan ibu kemarin benar-benar membuatku kepikiran. Sebegitu peduli kah Arina padaku? Atau dia hanya sekadar cari perhatian ibu? Arina hanya ingin mencuri hati ibu dengan cara membuatku terlihat buruk di mata ibuku sendiri? Aku benar-benar tak mengerti apa dan bagaimana jalan pikiran Arina saat ini. Apa Arina merencanakan sesuatu yang buruk padaku karena ingin balas dendam atas tragedi minyak goreng waktu itu? Apa dia sudah mulai berubah dan setega itu pada kakak iparnya sendiri? Atau sebenarnya dia hanya kasihan pada Fian bukan bermaksud membantuku? Atau dia justru secara tak langsung menertawakan hidupku yang runyam? "Aaaaaaaaaaaaa Waaaaaaaa." Kepalaku benar-benar pusing dibuatnya. Aku takut jika Arina bersandiwara pura-pura baik di depanku padahal sedang merencanakan sesuatu yang akan membuat hidupku lebih hancur nantinya. Bagaimana ini? Bang Sony ... dia tak pernah mengangga
Pov : VinaSejak kejadian beberapa hari yang lalu, Arina memang cukup berubah. Dia hanya sesekali datang ke rumah ini. Seperti begitu ketakutan saat melihatku bahkan dia hanya menengok ibu di kamar, menyiapkan obat dan makanan yang dia pesan lalu balik lagi ke kontrakannya. Aku merasa agak aneh juga melihat sikap Arina seperti itu. Biasanya dia selalu peduli padaku dan anak-anakku. Tapi sekarang dia cukup cuek. Tak menengokku di kamar bahkan sekadar menyapa pun enggak. Entah lah, apa dia memang setrauma itu? Atau ucapannya waktu itu benar, jika dia tak akan lagi peduli padaku?Untuk bertanya atau tegur sapa jelas aku nggak sudi. Aku tak terbiasa mengalah apalagi sama Arina. Sejak dulu apa pun yang kuingin selalu dia turuti, malas sekali kalau sekarang aku harus mendekatinya atau berbasa-basi. Biar lah. Dia pergi itu jauh lebih baik karena tak ada lagi yang akan membuatku kesal apalagi cemburu. "Bu, nasi gorengnya siapa yang beli?" tanyaku pada ibu saat kulihat masih ada dua bungkus
Pov : VinaPonsel di atas meja berdering. Nama Bang Sony muncul di sana. Dengan gemetar kuusap layar dan menerima panggilan telepon darinya. Apa pun yang akan dia katakan nanti aku sudah siap menerimanya. Setelah kupikir matang-matang, harusnya aku tak mendorong pelakor itu sekuat tenaga. Ada janin tak berdosa dalam rahimnya. Gimana nanti kalau dia mati? Harusnya kugetok saja kepalanya biar sadar diri kalau pelakor di mana-mana tetap mur4h karena merebut kebahagiaan perempuan lain. "Hallo, Bang." "Kamu tahu, Vin. Siska sudah melahirkan secar dan Alhamdulillah anakku perempuan. Sehat dan cantik. Jadi usahamu untuk membuat Siska keguguran gagal total!" ucap Bang Sony begitu jumawa. "Syukurlah kalau dia nggak kenapa-kenapa," balasku singkat."Kenapa? Kamu kaget dan iri karena Siska bisa memberikanku anak perempuan sementara kamu nggak pernah bisa?""Cukup, Bang! Ingat, kamu yang memintaku steril tapi kenapa kamu seolah menyalahkanku karena nggak bisa kasih kamu anak lagi, ha? Jangan
Pov : Arina Pagi menjelang siang. Aku dan Mas Feri datang ke rumah ibu, berniat mengajak Fano dan Fian jalan-jalan. Mereka pasti sangat suntuk di rumah terus dua minggu belakangan karena mamanya sakit. Fano cukup pengertian, dia jarang main di tempat tetangga sejak mamanya depresi. Mungkin takut mamanya kenapa-kenapa hingga dia nggak berani meninggalkan mama di rumah sendirian. Meski ada ibu, tapi ibu belum juga sembuh total. Kadang masih drop kalau banyak pikiran. "Bu, mau ikut makan di luar?" tanyaku pada ibu yang masih sibuk menyirami tanamannya di teras belakang. "Makan di mana, Rin?" Ibu menoleh ke arahku sembari meletakkan alat penyiramnya di samping pot besar. "Fano pengin makan seafood, Bu. Sekalian ajak Mbak Vina biar nggak suntuk di rumah terus apalagi sejak dapat panggilan sidang kemarin, dia makin murung," ucapku lagi. Ibu pun mengangguk pelan. "Ibu ganti baju dulu, sekalian minta anak-anak sama Vina siap-siap," jawab ibu kemudian. Ibu berjalan mengikutiku masuk ke d
Syukuran tujuh bulanan sudah usai. Banyak sekali tumpukan kado di ruang tamu. Entah siapa saja yang membawanya ke sini. Yang pasti memang seperti sudah tradiasi setiap syukuran kehamilan atau melahirkan, para tamu membawakan kado untuk ibu atau pun janin yang ada dalam kandungan. "Kado pertama yang dibuka dari Om Feri ya, Tante," pinta Fano kegirangan. Dia dan Fian berebut sebuah kado berukuran sedang dengan warna merah muda. Aku pun mengangguk pelan sembari tersenyum. "Hati-hati, Fan. Nanti kalau jatuh ke lantai bisa rusak. Berat, nggak? Barang pecah belah apa bukan itu?" sahut ibu sembari membantu Fano membawakan kadonya."Apa sih ini? Ibu juga penasaran." Mas Feri hanya meringis kecil sembari bilang rahasia dan meminta kami untuk membuka sendiri kadonya. Fano segera mengambilkan gunting kecil di atas meja rias di kamar dan memberikannya padaku. Ibu pun kembali duduk di sofa, membantu Mbak Vina membuka kado-kado yang lain.Aku memang yang meminta mereka untuk membantu membuka kado
Pov : ArinaDua tetangga membantu memukul si ular dan memasukkannya ke dalam karung. Mas Feri pun mengucapkan banyak terima kasih karena sudah mau membantu menyingkirkan hewan berbahaya yang ternyata cukup melata itu, karena bukan ular biasa namun ular berbisa. Sebelum mereka pulang, Mas Feri memberikan amplop berisi uang entah berapa nominalnya untuk kedua tetanggaku itu. Awalnya mereka menolak, namun setelah kami memohon agar mereka mau menerima akhirnya mereka pun menganggukkan kepala. "Mas ... buka cctv nya. Aku dulu masang cctv di sini supaya-- "Supaya apa, Rin?" Mbak Vina ikut penasaran dengan lanjutan kalimatku. Aku hanya tersenyum tipis. Nggak mungkin melanjutkan kalimatnya karena berhubungan dengan Bang Sony. Menyebut nama itu hanya akan membuka kembali sakit hati dan rasa kecewa dalam dada Mbak Vina. Dan aku tak menginginkan itu terjadi. "Nggak apa-apa, Mbak. Ah pokoknya biar Mas Feri coba buka dulu, semoga saja masih bisa dipakai karena cukup lama nggak aku cek ulang,
Mentari baru saja merangkak naik saat Mas Feri mengajakku ke rumah Pak Gilang-- tetangga depan rumah. Dia yang memiliki cctv di depan rumahnya. Kemungkinan besar akan terlihat siapa sebenarnya pengirim kado misterius itu. Kebetulan Pak Gilang masih otak-atik vespanya di depan rumah. Aku dan Mas Feri segera ke ke sana untuk minta tolong cek cctv depan rumah. Lebih cepat terbongkar siapa dalangnya akan jauh lebih baik daripada berlarut-larut. Takutnya pelaku benar-benar memiliki rencana lain untuk membalas karena rencana sebelumnya gagal total. "Permisi, Pak Gilang. Lagi sibuk nih sepertinya," ucap Mas Feri saat kami sampai di halaman rumah. Pak Gilang menoleh ke arah kami lalu tersenyum ramah. Dia pun segera mencuci tangan, ada bekas oli di telapak tangannya. "Pak Feri dan Bu Arin. Tumben ini pagi-pagi ke sini. Ada yang bisa saya bantu?" tanya lelaki itu lagi. Aku mengangguk kecil, diikuti Mas Feri."Maaf sebelumnya kalau sudah mengganggu waktu bapak," ucap Mas Feri sembari menyalam