Syukuran tujuh bulanan sudah usai. Banyak sekali tumpukan kado di ruang tamu. Entah siapa saja yang membawanya ke sini. Yang pasti memang seperti sudah tradiasi setiap syukuran kehamilan atau melahirkan, para tamu membawakan kado untuk ibu atau pun janin yang ada dalam kandungan. "Kado pertama yang dibuka dari Om Feri ya, Tante," pinta Fano kegirangan. Dia dan Fian berebut sebuah kado berukuran sedang dengan warna merah muda. Aku pun mengangguk pelan sembari tersenyum. "Hati-hati, Fan. Nanti kalau jatuh ke lantai bisa rusak. Berat, nggak? Barang pecah belah apa bukan itu?" sahut ibu sembari membantu Fano membawakan kadonya."Apa sih ini? Ibu juga penasaran." Mas Feri hanya meringis kecil sembari bilang rahasia dan meminta kami untuk membuka sendiri kadonya. Fano segera mengambilkan gunting kecil di atas meja rias di kamar dan memberikannya padaku. Ibu pun kembali duduk di sofa, membantu Mbak Vina membuka kado-kado yang lain.Aku memang yang meminta mereka untuk membantu membuka kado
Pov : ArinaDua tetangga membantu memukul si ular dan memasukkannya ke dalam karung. Mas Feri pun mengucapkan banyak terima kasih karena sudah mau membantu menyingkirkan hewan berbahaya yang ternyata cukup melata itu, karena bukan ular biasa namun ular berbisa. Sebelum mereka pulang, Mas Feri memberikan amplop berisi uang entah berapa nominalnya untuk kedua tetanggaku itu. Awalnya mereka menolak, namun setelah kami memohon agar mereka mau menerima akhirnya mereka pun menganggukkan kepala. "Mas ... buka cctv nya. Aku dulu masang cctv di sini supaya-- "Supaya apa, Rin?" Mbak Vina ikut penasaran dengan lanjutan kalimatku. Aku hanya tersenyum tipis. Nggak mungkin melanjutkan kalimatnya karena berhubungan dengan Bang Sony. Menyebut nama itu hanya akan membuka kembali sakit hati dan rasa kecewa dalam dada Mbak Vina. Dan aku tak menginginkan itu terjadi. "Nggak apa-apa, Mbak. Ah pokoknya biar Mas Feri coba buka dulu, semoga saja masih bisa dipakai karena cukup lama nggak aku cek ulang,
Mentari baru saja merangkak naik saat Mas Feri mengajakku ke rumah Pak Gilang-- tetangga depan rumah. Dia yang memiliki cctv di depan rumahnya. Kemungkinan besar akan terlihat siapa sebenarnya pengirim kado misterius itu. Kebetulan Pak Gilang masih otak-atik vespanya di depan rumah. Aku dan Mas Feri segera ke ke sana untuk minta tolong cek cctv depan rumah. Lebih cepat terbongkar siapa dalangnya akan jauh lebih baik daripada berlarut-larut. Takutnya pelaku benar-benar memiliki rencana lain untuk membalas karena rencana sebelumnya gagal total. "Permisi, Pak Gilang. Lagi sibuk nih sepertinya," ucap Mas Feri saat kami sampai di halaman rumah. Pak Gilang menoleh ke arah kami lalu tersenyum ramah. Dia pun segera mencuci tangan, ada bekas oli di telapak tangannya. "Pak Feri dan Bu Arin. Tumben ini pagi-pagi ke sini. Ada yang bisa saya bantu?" tanya lelaki itu lagi. Aku mengangguk kecil, diikuti Mas Feri."Maaf sebelumnya kalau sudah mengganggu waktu bapak," ucap Mas Feri sembari menyalam
"Permisi, Pak. Kami ingin bertemu dengan Bu Delima. Ibu Delimanya ada?" tanya Mas Feri pada seorang tukang rumput yang bekerja di halaman rumah bercat abu muda itu. "Oh, ibunya ada di dalam, Pak. Silakan duduk, Mas. Tunggu sebentar biar saya panggilkan Ibu Delima dulu," ucap bapak paruh baya itu lalu gegas masuk ke dalam rumah. Tak selang lama perempuan dengan pasmina merah mudanya itu menghampiri Mas Feri yang sudah duduk di bangku teras, tak jauh dari mobil merah milik Delima."Ada apa ya, Mas? Tumben datang ke sini," ucap perempuan itu dengan ramah dan senyum tipisnya."Iya, maaf kalau mengganggu. Aku ingin tanya, kamu kenal bapak itu, kan?" tunjuk Mas Feri pada Pak Muslih yang baru saja sampai bersama Pak Gilang. Wajah Delima berubah seketika. Dia tampak pucat pasi saat melihat Pak Muslih sudah berada tak jauh dari tempatnya berdiri."Kenapa kamu tega mengirimkan kado ular berbisa untuk Arina, ha!" Bentak Mas Feri dengan tatapan tajam. Delima semakin salah tingkah. Wajahnya yang
Pov : Sony Perpisahanku dengan Vina yang kupikir akan berujung bahagia, justru membuatku nelangsa. Apalagi saat Siska mengajakku tinggal bersama ibunya. Ibu mertuaku yang kini amat sangat berbeda dengan mertuaku yang dulu. Ibunya Vina jarang sekali menjelek-jelekkanku di depan umum. Bahkan dia sering membelaku jika aku sedang cekcok dengan anaknya. Bukan membela karena yakin aku yang benar, hanya saja dia menengahi agar percekcokan tak terus terjadi. Ibu meminta anaknya untuk memaklumiku yang saat itu menganggur dan masih merangkak mencari pekerjaan. Padahal memang saat itu aku sudah memiliki uang namun kuberikan pada Siska yang baru kunikahi secara siri dan kebetulan hamil muda. Kupikir, adik iparku sudah mencukupi kebutuhan Vina dan anak-anak, sementara Siska tak ada. Dia tak lagi bekerja sebagai SPG karena malu selalu disebut pelakor oleh teman-temannya. Aku yang memintanya resign dan aku yang berjanji akan mencukupi kebutuhannya. Seminggu sampai sebulan di rumah mertua memang
Malam sudah berganti pagi. Suara kokok ayam terdengar di kejauhan. Rasanya mataku teramat berat karena nggak bisa tidur semalaman. Kulihat di dinding, jarum jam menunjuk angka empat, sebentar lagi adzan subuh berkumandang dengan perkasa. Perut rasanya benar-benar mules tak karuan. Bolak-balik kamar mandi tapi nggak ada tanda-tanda buang air besar. Mas Feri pun tampak kebingungan. Dia berusaha membuatkan minuman hangat, memijit kaki dan punggung bahkan membacakan ayat-ayat Qur'an di samping perut, namun makin lama justru makin mulas. Mas Feri pamit ke mushola. Aku pun mengiyakan sembari kelimpungan di kasur. Air bening mulai merembes ke kaki tepat saat Mas Feri baru pulang dari mushola melaksanakan salat berjamaah. Gegas dia menelepon Mbak Vina dan ibu, mengatakan kalau aku sepertinya akan segera melahirkan. "Feri mau antar Arina ke rumah sakit Khadijah ya, Bu. Ibu di rumah saja dulu sama anak-anak. Kalau Mbak Vina mau ke sana pagi atau siang saja nggak apa. Nanti kalau mau jenguk A
Perempuan itu kembali tersenyum lalu merogoh tas hitamnya. Entah apa yang akan diambilnya kini, hatiku berdebar hingga sedikit menciptakan ketakutan kembali. Mas Feri pun menolehku, tampak keheranan di wajahnya yang tampan. Dia mengangkat-angkat kedua alisnya sementara aku hanya angkat bahu. "Maaf ya, Mas, Rin. Ini untuk kalian, datang, ya?" Pinta Delima sembari menyerahkan selembar undangan pernikahan. Kubaca calon mempelainya, nama Delima dan Rizal tertera jelas di sana."Kamu mau nikah, Mbak?" tanyaku dengan mata membulat karena kaget. Kulihat wajah Delima cukup berbinar lalu mengangguk pelan. "Iya, Rin. Aku mau nikah dengan Mas Rizal itu, kami sudah ta'aruf enam mingguan. Setelah istikharah, aku semakin yakin jika dia memang terbaik buatku," balas Delima lagi."MasyaAllah. Alhamdulillah kabar membahagiakan." Aku pun bernapas lega. Akhirnya Delima mundur juga dan segera menambatkan hatinya pada lelaki pilihannya."Alhamdulillah setelah perjalanan panjang. Ohya, aku ke sini sekali
Laki-laki itu masih tergeletak di tengah jalan. Sepertinya dia pingsan. Orang-orang yang tadi sibuk menikmati jajanan, ada yang berselfie atau ngobrol santai dengan pasangan mendadak berhamburan ke sana. Mereka ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi. Siapa yang tertabrak dan siapa yang menabrak. Tak terkecuali Abang penjual bubur ayam tempatku memesan. Fano yang tadi tak jadi ikut mamanya mengejar Fian tampak ketakutan melihat orang-orang berlarian. "Kita nggak ikut ke sana, Tante?" tanyanya dengan suara bergetar di balik jilbab panjangku. "Di sini saja, Fano. Kasihan Dek Bian kalau berdesak-desakan," balasku kemudian, meski dalam hati rasanya aku ingin melihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Entah mengapa hatiku mulai berdebar tak tenang. Ada rasa gelisah dan takut yang tiba-tiba menyergap begitu saja. Aku sendiri tak tahu, kenapa kegelisahan itu datang tiba-tiba.Suara tangis mulai terdengar lebih kencang. Sepertinya suara itu tak terlalu asing. Ah mungkinkah? Bukannya s