Pov : Sony Perpisahanku dengan Vina yang kupikir akan berujung bahagia, justru membuatku nelangsa. Apalagi saat Siska mengajakku tinggal bersama ibunya. Ibu mertuaku yang kini amat sangat berbeda dengan mertuaku yang dulu. Ibunya Vina jarang sekali menjelek-jelekkanku di depan umum. Bahkan dia sering membelaku jika aku sedang cekcok dengan anaknya. Bukan membela karena yakin aku yang benar, hanya saja dia menengahi agar percekcokan tak terus terjadi. Ibu meminta anaknya untuk memaklumiku yang saat itu menganggur dan masih merangkak mencari pekerjaan. Padahal memang saat itu aku sudah memiliki uang namun kuberikan pada Siska yang baru kunikahi secara siri dan kebetulan hamil muda. Kupikir, adik iparku sudah mencukupi kebutuhan Vina dan anak-anak, sementara Siska tak ada. Dia tak lagi bekerja sebagai SPG karena malu selalu disebut pelakor oleh teman-temannya. Aku yang memintanya resign dan aku yang berjanji akan mencukupi kebutuhannya. Seminggu sampai sebulan di rumah mertua memang
Malam sudah berganti pagi. Suara kokok ayam terdengar di kejauhan. Rasanya mataku teramat berat karena nggak bisa tidur semalaman. Kulihat di dinding, jarum jam menunjuk angka empat, sebentar lagi adzan subuh berkumandang dengan perkasa. Perut rasanya benar-benar mules tak karuan. Bolak-balik kamar mandi tapi nggak ada tanda-tanda buang air besar. Mas Feri pun tampak kebingungan. Dia berusaha membuatkan minuman hangat, memijit kaki dan punggung bahkan membacakan ayat-ayat Qur'an di samping perut, namun makin lama justru makin mulas. Mas Feri pamit ke mushola. Aku pun mengiyakan sembari kelimpungan di kasur. Air bening mulai merembes ke kaki tepat saat Mas Feri baru pulang dari mushola melaksanakan salat berjamaah. Gegas dia menelepon Mbak Vina dan ibu, mengatakan kalau aku sepertinya akan segera melahirkan. "Feri mau antar Arina ke rumah sakit Khadijah ya, Bu. Ibu di rumah saja dulu sama anak-anak. Kalau Mbak Vina mau ke sana pagi atau siang saja nggak apa. Nanti kalau mau jenguk A
Perempuan itu kembali tersenyum lalu merogoh tas hitamnya. Entah apa yang akan diambilnya kini, hatiku berdebar hingga sedikit menciptakan ketakutan kembali. Mas Feri pun menolehku, tampak keheranan di wajahnya yang tampan. Dia mengangkat-angkat kedua alisnya sementara aku hanya angkat bahu. "Maaf ya, Mas, Rin. Ini untuk kalian, datang, ya?" Pinta Delima sembari menyerahkan selembar undangan pernikahan. Kubaca calon mempelainya, nama Delima dan Rizal tertera jelas di sana."Kamu mau nikah, Mbak?" tanyaku dengan mata membulat karena kaget. Kulihat wajah Delima cukup berbinar lalu mengangguk pelan. "Iya, Rin. Aku mau nikah dengan Mas Rizal itu, kami sudah ta'aruf enam mingguan. Setelah istikharah, aku semakin yakin jika dia memang terbaik buatku," balas Delima lagi."MasyaAllah. Alhamdulillah kabar membahagiakan." Aku pun bernapas lega. Akhirnya Delima mundur juga dan segera menambatkan hatinya pada lelaki pilihannya."Alhamdulillah setelah perjalanan panjang. Ohya, aku ke sini sekali
Laki-laki itu masih tergeletak di tengah jalan. Sepertinya dia pingsan. Orang-orang yang tadi sibuk menikmati jajanan, ada yang berselfie atau ngobrol santai dengan pasangan mendadak berhamburan ke sana. Mereka ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi. Siapa yang tertabrak dan siapa yang menabrak. Tak terkecuali Abang penjual bubur ayam tempatku memesan. Fano yang tadi tak jadi ikut mamanya mengejar Fian tampak ketakutan melihat orang-orang berlarian. "Kita nggak ikut ke sana, Tante?" tanyanya dengan suara bergetar di balik jilbab panjangku. "Di sini saja, Fano. Kasihan Dek Bian kalau berdesak-desakan," balasku kemudian, meski dalam hati rasanya aku ingin melihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Entah mengapa hatiku mulai berdebar tak tenang. Ada rasa gelisah dan takut yang tiba-tiba menyergap begitu saja. Aku sendiri tak tahu, kenapa kegelisahan itu datang tiba-tiba.Suara tangis mulai terdengar lebih kencang. Sepertinya suara itu tak terlalu asing. Ah mungkinkah? Bukannya s
Pov : Alvin Berita kecelakaan Mas Feri benar-benar membuatku shock. Pagi-pagi sekali aku dan papa sudah siap ke rumah sakit, aku berkewajiban mengurus semua administrasinya. Selain dia karyawan terbaik di kantor, dia juga sudah kuanggap seperti keluarga karena sebagai suami Arina-- sahabat kecilku dan anak angkat papa. Bayangan buruk kembali muncul di benak. Cerita-cerita Mas Feri beberapa bulan terakhir membuatku mulai gelisah dan sedikit takut. Jangan-jangan itu sebuah firasat dia akan benar-benar pergi? Astaghfirullah, jangan. Aku selalu berdoa agar dia sembuh, bisa menua bersama Arina dan buah hatinya. Aku tahu mereka saling mencintai tulus satu sama lain, tak tega rasanya jika secepat ini dipisahkan. Kemarin-kemarin aku khawatir dengan sakitnya, kini justru dia kritis bukan karena itu melainkan karena kecelakaan. Memang semua tak pernah bisa ditebak. Apa pun itu sudah menjadi takdir yang tak bisa dirubah seenak kehendak. "Pak Alvin, saya ingin cerita satu hal penting. Keluar
Pov : ArinaAir mataku semakin deras mengalir. Betapa tidak? Dokter bilang, Mas Feri sudah melewati masa kritisnya akibat kecelakaan itu tapi dia justru sedang sakit parah. Kanker stadium empat, dengan prediksi dokter hanya sekitar empat bulan saja usianya. Shock itu pasti. Khawatir, takut, sedih dan entah apalagi yang kini berkecamuk di otakku. Mas Alvin pun tampak menunduk saja, sesekali menatapku iba. Aku yakin dia tahu soal sakit Mas Feri ini jauh-jauh hari, tapi kenapa mereka tega menyembunyikan ini semua padaku.Kenapa mereka setega itu? Bagaimana jika memang prediksi dokter itu benar, usia Mas Feri tak lama lagi? Betapa hancurnya aku yang hanya memiliki waktu sekian minggu untuk mengabdi padanya? Anda aku tahu lebih lama, pasti aku juga memiliki kesempatan yang lebih untuk berbakti padanya. Tapi sekarang? Aku hanya bisa menangis. Diam. Menangis. Diam dan berdoa saja tanpa bisa berbuat apa-apa. Kenapa pula Mas Feri tak mau kemoterapi atau operasi saat dia tahu kanker otaknya m
Pov : Arina Jarum jam sudah menunjuk angka tujuh pagi. Aku baru saja mandi dan membereskan meja rias yang cukup berantakan. Ponsel di atas ranjang bergetar. Sebuah pesan masuk di sana. Gegas aku mengusap layar dan membuka pesan di sana. |Rin, Mbak sama Ibu belum bisa ke rumah. Ada tetangga hajatan. Mungkin lusa baru kita datang, ya? Kamu dan Feri sudah makan, kan? Kalau belum, biar Mbak pesankan. Bagaimana?| Aku tersenyum tipis membaca pesan dari Mbak Vina. Sejak Mas Feri dinyatakan mengidap kanker otak stadium empat bahkan diprediksi dokter usianya tinggal beberapa minggu lagi, ibu dan Mbak Vina semakin perhatian. Tak hanya pada Mas Feri, tapi padaku juga. Mereka juga bergantian menginap di rumah untuk membantuku jika sewaktu-waktu membutuhkan pertolongan. Sikap mereka benar-benar membaik, sesuai dengan doa dan harapan yang kupanjatkan selama beberapa tahun belakangan. |Nggak apa-apa, Mbak. Kami sudah makan kok. Aku selesai memasak bakda subuh tadi. Mbak Vina tak perlu khawatir
Pov : Arina Pagi ini, Mas Feri begitu bersemangat. Dia tampak berbeda dibandingkan sebelumnya. Ada kilatan semangat dalam sorot matanya. Semangatnya untuk sembuh semakin kuat. Mas Feri semakin rajin olah raga. Dia juga tak lagi makan makanan penyebab kanker, terutama makanan instan yang seringkali dinikmati banyak orang. Suami terhebatku itu menerapkan hidup sehat dalam dirinya. Belum lama, tepatnya setelah dokter menyatakan ada kanker dalam tubuhnya. Bahkan memprediksi usianya tinggal menghitung bulan saja. "Mas, mau ke mana sih? Rapi dan wangi banget?" tanyaku pada Mas Feri yang masih bersiul santai sembari memakai kemeja salurnya. Mas Feri membalikkan badannya lalu melambaikan tangan ke arahku. "Sini, Dek. Sudah pas belum?" tanyanya singkat. Aku mengangguk lagi sembari membenarkan kancing kemejanya yang terlepas."Kamu mau ke mana sih, Mas? Ketemu perempuan cantik di luar sanakah? Rapi dan wangi banget," ucapku menggodanya lalu mencubit pinggangnya. Cemburu. Mas Feri terkeke