Pov : ArinaHari ini adalah hari syukuran Mas Alvin. Sejak siang aku sudah mempersiapkan timlo, nasi dan risoles untuk acara itu, persis seperti yang diperintahkan Om Hermawan tempo hari. Acaranya berlangsung malam hari sebelum isya. Aku pun mengantar pesanan Om Hermawan dengan Mas Feri setelah salat ashar."Mas, kamu masih marah soal kemarin?" tanyaku singkat saat Mas Feri mulai memacu mobilnya ke jalanan beraspal yang mulai ramai dengan lalu lalang kendaraan. Apalagi ini weekend, biasa digunakan para remaja untuk jalan-jalan."Soal apa?" tanya Mas Feri singkat, tanpa menoleh. Dia begitu fokus dengan laju mobilnya. Jika ada celah yang memungkinkan untuk menyalip, sebisa mungkin dia menyalip cukup cepat."Soal Mas Alvin lah, soal apalagi," balasku. Mas Feri menoleh sekilas lalu kembali menatap jalanan di depannya."Aku lebih percaya kamu sama penjelasan Mbak Mirna kok dibandingkan laporan Mbak Vina," ucap Mas Feri kemudian, membuatku cukup lega sekarang. "Syukurlah kalau percaya sam
Pov : Feri "Feri ... pulang cepat, Fer. Vina ngamuk ini. Ibu takut dia makin meledak-ledak. Tetangga sudah banyak yang datang pula," ucap ibu gugup dari seberang. "Memangnya ada apa sih, Bu? Acara Pak Hermawan belum selesai, Arina juga masih ada kewajiban buat nungguin tempat timlo dan nasinya," ucapku lagi. "Aduh itu urusan belakangan. Kakakmu lebih gawat ini, dia teriak-teriak begini. Sudah pokoknya cepat pulang. Si Sony bikin ulah, dia sudah punya bini baru dan Vina nggak sudi dimadu," ucap ibu lagi. "Pulang cepat, Fer. Jangan banyak tanya lagi, itu Si Sony malah lebih condong ke bini barunya" Ibu mematikan teleponnya tanpa salam sepertinya dia sangat gugup. Meski aku kesal dengan sikap Mbak Vina pada Arina beberapa bulan belakangan, tapi mau gimanapun dia tetap kakakku. Dan aku wajib untuk membantunya saat ini. Mengesampingkan ego yang belakangan ini selalu merajai benakku.Aku pun pamit pada Arina, meminta dia untuk tetap tinggal sampai acara selesai, nggak enak juga kalau k
Pov : Feri"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari pintu. Kujawab salam itu lirih. Arina masuk dengan senyum manisnya, menatapku beberapa saat lalu beralih ke arah ibu yang tiduran diranjang. Ibu hanya menatapnya sekilas lalu membuang muka. Aku yakin ibu masih kesal karena kejadian kemarin malam saat melihat Arina dengan Pak Alvin di mini market. "Ibu lihat kemarin malam kamu diantar laki-laki, Rin. Ngobrol sambil bercanda di depan mini market sebelum masuk perumahan kita. Bukannya prihatin atau khawatir mertuanya masuk rumah sakit, malah asyik ketawa-ketiwi sambil jajan," ucap ibu ketus saat Arina baru sampai kamar dengan membawa beberapa buah favorit ibu. Dia melirikku sekilas lalu menghela napas."Itu Pak Alvin, Bu. Atasannya Mas Feri yang kebetulan teman kecilku," balas Arina lirih sambil tersenyum tipis menatap wajah ibu yang menoleh keheranan."Maksudmu apa?" tanya ibu singkat masih dengan ekspresi tak bersahabat."Iya, Bu. Ternyata Mas Feri bekerja di kantor Om Hermawan. Bel
Pov : VinaAku tak paham kenapa Bang Sony tega menduakan aku. Aku yang sudah membersamainya selama delapan tahun belakangan, bahkan memberikannya dua orang putera yang tanpan. Aku pun benar-benar tak habis pikir, kenapa dia sampai berinisiatif untuk menikah lagi hanya karena begitu menginginkan seorang anak perempuan. Atau itu hanya sebuah alasan padahal aslinya dia memang sudah bosan?Aku heran, mengapa Bang Sony tak pernah ada rasa bersyukurnya. Padahal selama tinggal di rumah ini, aku selalu menerima berapapun uang yang dia berikan, karena memang sudah tak pusing membayar komtrakan tiap bulan. Aku juga jarang sekali protes soal gaji dari ngojeknya yang pas-pas an. Kupikir memang segitu lah penghasilan darinya, tak kusangka jika semua memang sudah dibagi dua. Iya, dibagi dengan istri keduanya."Siapa dia, Bang?" tanyaku kemarin saat Bang Sony pulang kerja bersama seorang perempuan dengan perut buncitnya. Bang Sony hanya menunduk, sembari mempersilakan perempuan itu duduk di sofa. S
Pov : Arina Perlahan kudorong kursi roda ibu menuju ambang pintu. Aku yakin ibu mendengar semua percakapan Delima dan Mbak Vina. Terlihat dari tatapan matanya yang begitu kaget saat melihat Delima-- calon menantu kesayangannya tengah terisak di sofa. Mas Feri melirikku sembari tersenyum tipis. Rencanaku dengannya sukses besar. Mbak Vina dan perempuan di sampingnya tak tahu jika aku memang datang lebih cepat, tak sesuai ucapan Mas Feri tadi pagi saat Mbak Vina menelepon tentang kepulangan ibu. "Jadi kamu nggak tulus mencintai Feri, Del?" tanya ibu lirih saat perlahan kudorong kursi roda menuju ruang tengah, tepat kedua perempuan itu berada dan saling curhat. Sepertinya kekagetan Delima dan Mbak Vina juga belum reda, bahkan setelah aku duduk di sofa tak jauh dari mereka yang mungkin hanya sekitar dua langkah saja. "Maksud ibu apa, sih?" tanya Mbak Vina lirih. Ibu menoleh cepat ke arahnya lalu menggelengkan kepala pelan."Kamu masih tanya kenapa, Vin? Delima berarti nggak tulus menc
"Aku pulang, ya, Bu. Sekalian mau beli test pack seperti yang ibu minta. Kalau ibu butuh apa-apa sama Mbak Vina dulu aja atau bisa telepon Mbak Mirna. Aku udah minta tolong Mbak Mirna buat sesekali tengok ibu ke sini," pamitku pada ibu yang masih tiduran di ranjang. Ibu hanya mengangguk pelan. Aku dan Mas Feri sama-sama mencium punggung tangan ibu sembari berpamitan. Setelah itu melangkah ke teras rumah berdua. Mbak Vina masih sibuk menelepon entah siapa, sepertinya Bang Sony karena dia terlihat begitu murka. Ngomel-ngomel tak karuan."Ke apotek dulu ya, Mas. Kita beli test pack. Ya Allah entah gimana nanti kalau beneran hamil. Bayanginnya saja aku sudah mau nangis begini," ucapku pada Mas Feri sembari memasang seat belt. Mas Feri pun ikut berkaca-kaca menatapku beberapa saat lamanya."Memangnya kamu sudah telat haidnya, Rin?" tanya Mas Feri lirih. Dia kembali menoleh ke arahku lalu mulai menyalakan mesin mobilnya."Sudah sih, Mas. Sepuluh harian, tapi kadang juga telat kok tapi tetap
Pov : FeriKabar kehamilan Arin benar-benar membuat ibu berubah. Dia mulai perhatian pada Arin soal asupan makanan hariannya. Ibu pun sering mengingatkan Arin soal kesehatan dan istirahatnya. "Masih mual-mual, Rin?" tanyaku pada Arin yang baru ke luar dari kamar mandi. Dia terlihat begitu lemas. "Kalau nggak mau makan nasi, aku bikinkan susu aja gimana? Atau roti tawar selai kacang? Dipanggang aja mau?" Aku mulai cemas melihat Arin tak makan apa-apa dari pagi. Dia bolak-balik kamar mandi berulang kali. Bahkan air putih pun sering dia keluarkan lagi. "Mas, mau lah bikin roti panggang selai nanas aja, ya? Nggak usah banyak-banyak takut nggak abis, mubadzir. Lagipula kamu juga nggak suka selai nanas," pinta Arina kemudian. Aku pun mengangguk pelan. Kubaringkan Arina di atas ranjang lalu menyelimutinya setengah badan. Setelahnya aku keluar kamar, menuju dapur untuk membuatkan Arina roti panggang dengan selai nanas sesuai permintaannya. Aku sengaja hanya bikin dua roti panggang, kala
Pov : Arina"Rin, gimana kandunganmu? Sudah enakan atau masih sering mual?" Suara ibu terdengar begitu cemas dari seberang. Sejak tahu aku hamil, ibu mulai perhatian padaku. Berubah cukup drastis. Mungkin karena aku juga tulus merawat ibu saat dia stroke beberapa minggu lalu. Meski kini masih belum bisa menggerakkan sebagian anggota badannya, tapi kini ibu sudah mulai bisa duduk di kursi roda sendiri tanpa bantuan siapa pun. "Alhamdulillah sehat, Bu. Masih jalan sepuluh minggu, jadi masih ada mual-mual, Bu. Tapi ini aku paksa makan meski sedikit, yang penting susu sama vitamin masuk kok," balasku kemudian. "Alhamdulillah kalau begitu, Rin. Ibu khawatir kamu kenapa-kenapa aja soalnya beberapa hari ini nggak datang ke rumah." "Iya, maaf ya, Bu. Aku nggak enak badan beberapa hari ini. Jadi nggak bisa nemenin ibu di rumah. Tapi Mbak Vina mau nemenin ibu, kan?" tanyaku lagi. Ibu hanya menghembuskan napas panjang. "Vina ribut tiap hari sama Sony, sampai lupa kalau ibu dan anaknya juga