Share

Bab 3

"Emm, syaratnya nggak ada yang lain, Nik? Jangan suruh jadi kamu," tanyaku sambil mencoba tahan kepergiannya.

"Ya sudah, kalau nggak mau cerai aja, Mas. Gampang kok, aku udah bertahan setahun setengah, dan sekarang ingin lepas jadi wanita sesungguhnya, bukan budak!" timpal Nonik dengan penuh penekanan.

Mulutku terasa tertampar dengan kata-kata yang Nonik lontarkan, ada geram ingin mengatakan bahwa tidak pantas seorang wanita bicara dengan suaminya seperti itu.

Kelopak matanya berputar menyoroti langit-langit ruangan. Sepertinya akan ada yang diucapkan lagi dari bibirnya yang mulai disunggingkan.

"Semakin kamu lama membuat keputusan, aku akan tambah syaratnya," sambungnya lagi.

Aku menghela napas, akhirnya mengindahkan permintaan yang ia inginkan.

"Baiklah, kalau itu mau kamu, sebulan ini aku setuju dengan syarat yang tadi diberikan," jawabku dengan lantang. Sebab, kewibawaan seorang laki-laki dinilai dari tindakan yang tegas bukan plin-plan.

Kaki Nonik melangkah ke arah meja, ada ponselku di sana, ia pun mengambilnya dan menyerahkan telepon genggam itu ke tanganku.

"Sekarang, telepon Mama, minta kembalikan uang yang kamu transfer," suruh Nonik dengan sedikit tersenyum, di bibirnya terpancar senyum kemenangan, matanya juga berbinar-binar seraya budak yang bebas dari majikannya.

Aku mencari kontak Mama Yuli, lalu jari ini menghubungi wanita yang melahirkanku dengan susah payah. Dengan berat hati aku harus melukai hatinya hari ini.

"Halo, Mah."

"Iya, Yud, kamu mau tambah transferan untuk Mama ya?" tanya mamaku, Yuli Karmila.

"Bukan, Mah. Yuda ada kebutuhan mendesak, boleh minta uang yang tiga juta Yuda transfer tadi nggak?" tanyaku agak sungkan. Namun, Nonik terus mengawasiku.

"Oh, tidak bisa, uang yang sudah masuk rekening Mama nggak bisa diambil lagi, sudah buat jatah beli emas," jawabnya enteng. "Lagian, kamu tuh nggak takut borok sikutan udah ngasih diambil lagi," tambahnya membuat aku mengingat ucapan yang tadi kulontarkan juga di hadapan Nonik.

"Oh gitu, memang tiap aku transfer, uangnya dibelikan emas, Mah? Boleh jual nggak, Mah, aku butuh banget," bujukku padanya.

"Enak saja kalau ngomong, jual-jual harta orang tua, kualat nanti kamu, mendingan tuh emasnya Nonik yang dijual, dia bukan siapa-siapa, kamu jual juga nggak bakal kualat nantinya," suruh mama.

Aku sontak menoleh ke arah Nonik, bagus tadi tidak aku aktifkan speakernya. Jadi, Nonik tidak mendengar ucapan mama.

Nonik terlihat mendongak sambil mengangkat alisnya, aku tahu ia menunggu jawaban iya yang terlontar dari mulutku.

Akhirnya, aku coba pura-pura saja menutup pembicaraan bahwa mama setuju dengan pengembalian uang.

"Makasih ya, Mah. Aku makasih loh Mama sudah bersedia mengembalikannya," ucapku lalu memutuskan sambungan teleponnya sebelum mama bicara lagi.

Setelah menutup teleponnya, Nonik berkacak pinggang di hadapanku.

"Ngomong apa tadi Mama?" tanya Nonik dengan nada seperti menantang.

"Aku disuruh ke rumahnya, uang sudah terlanjur diambil Mama, jadi adanya tunai," jawabku terpaksa berbohong. Sebab, aku nggak mau kehilangan kesempatan untuk menjadi suami seorang penulis yang menghasilkan banyak uang. Hanya syarat sebulan yang Nonik berikan, pasti aku mampu mengurus jatah lima ratus ribu, setelah itu, aku bebas bersikap apa saja.

"Ya sudah, ke rumah Mama sekarang, aku ikut," ucapnya seketika membuatku terperanjat. Kalau aku ikut, bagaimana aku akan mengambil uang yang ada di ATM satunya, sengaja aku pisah uang simpananku di Bank lain, supaya Nonik tidak tahu bahwa aku memiliki tabungan lima puluh juta di ATM.

"Emm, nggak usah, biar aku aja yang ke rumah Mama, nanti kamu dimarahi olehnya, aku nggak mau jadi ribut di sana," sanggahku terpaksa membohonginya lagi.

Nonik pun mengangguk, ia setuju untuk tidak ikut ke rumah mama.

Gajiku sebulan tujuh juta lima ratus ribu rupiah, dipotong asuransi sisa tujuh juta dua ratus ribu rupiah, dari menikah hingga saat ini, Nonik tidak pernah tahu hal itu, sampai aku punya tabungan lima puluh juta rupiah pun ia tidak tahu.

Aku menyunggingkan senyuman miring seraya mengingat bahwa sesungguhnya akulah yang menang. Namun, Nonik berlagak seperti wanita yang menang.

Tanpa basa-basi aku segera meluncur ke ATM dengan menggunakan mobil yang kubeli secara tunai, meskipun mobil bekas, tapi bisa untuk bolak-balik Jakarta-Bekasi, tempatku mengais rezeki. Sedangkan rumah mama tidak jauh dari rumahku yang berada di Buaran.

Aku ke ATM dengan menggunakan kaos oblong warna hitam. Jarak ATM yang kutempuh hanya lima menit dari rumah. Rencananya sisa waktu dua puluh menit aku akan tunggu duduk di sebuah cafe. Namun, ketika hendak mengambil uang, dan mesin sudah mengeluarkan uangnya. Aku dikejutkan dengan tangan yang tiba-tiba mengambil kartu ATM yang keluar dari mesin.

"Hei, jangan sembarangan!" tukasku sambil menepuk tangannya.

"Jadi pin-nya sama persis dengan ATM satunya, ya?" celetuk suara wanita di belakangku yang ternyata Nonik, ia tengah berdiri sambil memegang ATM.

'Sial, ternyata dia ngikutin langkahku,' gumamku dalam hati.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status