Share

Bab 7

Aku masih diam sambil mencerna ucapan Nonik. Tidur pun tidak nyenyak sebab sekarang hidupku benar-benar terpuruk dalam uang yang sisa empat ratus delapan puluh ribu rupiah. Sedangkan gajian masih menunggu 29 hari lagi.

Besok masih libur, jadi aku masak pun masih tidak terlalu capek, bagaimana nanti jika sudah bekerja. Astaga, punya istri kok tega pada suaminya begini.

Jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas malam. Namun, mataku belum juga terkantuk, sedangkan Nonik sudah menganga mulutnya. Aku coba ambil ponsel yang berada di dekatnya. Siapa tahu bisa cari tahu ada rahasia atau tidak yang bisa aku kuliti.

Setelah ponsel genggam milik Nonik berada di tangan, aku usap dan coba lihat dari layar jendela depan lebih dulu. Tidak ada pesan masuk, itu artinya aman aku masuk ke chat W******p miliknya. Namun, tiba-tiba saja kulihat ada aplikasi yang sangat asing kulihatnya. Warnanya hijau dan ada gambar pena, apa itu platform menulis tempat Nonik mendapatkan uang?

Iseng-iseng jari ini membukanya, kemudian kulihat ada tulisan pencapaian, lalu coba klik pencapaian tersebut. Betapa terkejutnya penghasilan bulan ini yang baru saja beberapa hari dari awal bulan sudah mencapai nominal tiga juta rupiah. Ini baru tanggal 11, karena aku gajian kemarin tanggal 10. Hebat sekali Nonik, wanita yang memang harus dipertahankan.

Nonik menguap, tiba-tiba saja ia menendang selimut. Aku terkejut dan sontak meletakkan kembali ponselnya di sebelah Nonik persis.

'Sial, belum sempat baca isi chatnya ia sudah bangun,' gerutuku dalam hati.

"Loh, kamu belum tidur, Mas?" tanya Nonik ketika terbangun. Beruntungnya ia tidak melihat aku geledah handphone miliknya.

"Iya, belum bisa tidur, main game barusan," jawabku sekenanya.

Nonik terbangun karena haus, ia mengambil segelas air putih lalu meneguknya. Setelah itu mengajakku untuk segera tidur. Jadi, tidak mungkin geledah handphone dan baca-baca isi chatnya.

***

Pagi hari aku disibukkan dengan sayur mayur yang kubeli di warung tetangga sebelah. Hari kedua aku tak perlu membeli bawang dan bumbu dapur lainnya. Sayuran yang kubeli juga hanya kangkung dan tempe saja untuk makan pagi dan sore.

Sarapan pagi tadi Nonik sudah membuatkan aku nasi goreng. Jadi aku masak sekaligus untuk siang dan malam saja.

"Kira-kira kapan makan dagingnya, Mas?" tanya Nonik seketika membuatku menelan ludah.

"Ya nanti kalau sudah menjelang gajian lagi," sahutku padanya.

Nonik hanya tersenyum, ia tidak memarahiku seperti yang aku lakukan padanya.

Seharian kami di rumah, sampai akhirnya selepas magrib mamaku datang.

Aku dan Nonik meraih punggung tangannya. Namun, mama agak cemberut. Aku tahu jika wajahnya seperti ini, pasti ingin mengeluh masalah keuangan.

"Mama ke sini mau minta duit," cetusnya di hadapan Nonik dengan sengaja.

"Aku ...." Jawabanku terputus sebab tidak memiliki uang lagi.

"Untuk apa, Mah, kalau boleh Nonik tahu?" tanya istriku pada mama.

"Seharusnya tidak perlu tahu, kamu seorang istri jangan seperti itu, Nonik. Nyetir semua keuangan suami," celetuk mama memarahi Nonik.

"Ya, maaf kalau yang kulakukan ini salah, tapi hanya sebulan kok, aku ingin Mas Yuda tahu bagaimana rasanya jadi aku, hanya sebulan kok, Mah. Setelah itu, aku akan pergi," jawab Nonik. Mata mama semakin memerah, ia tidak suka disahut-sahuti ketika menasihati.

"Kamu tuh dibilangin orang tua malah nyahut-nyahutin," timpal mama. "Kenapa tidak kamu laporin ke mertua kamu, Yud, kelakuan anaknya di luar batas," tambah mama lagi.

Aku menyeret mama keluar, ia tidak mengetahui bahwa Nonik akan mendapatkan uang banyak dari penjualan tanah nanti.

"Mah, pulang gih! Aku akan berikan mama uang banyak bulan depan. Untuk sekarang ini, minta sama Rasid," bisikku menyuruh mama untuk minta uang pada adikku saja yang masih bujang. Kemudian, mama pulang tanpa pamit dan melangkah dengan menghentakkan kakinya.

Aku kembali ke dalam, untuk bicara dengan Nonik.

"Kalau kamu tidak bersedia, nggak apa-apa, Mas. Kita pisah saja," ucap Nonik seraya mengancam.

"Aku tetap akan tunjukkan bahwa lima ratus ribu rupiah sebulan cukup. Aku takkan menyerah," timpalku.

Kemudian, Nonik masuk ke kamar dan aku membuntutinya. Sebulan menjadi Nonik bukan berarti selama sebulan juga tidak melakukan hubungan suami-istri, itu hal wajib dan kami tetap melakukannya jika aku memintanya. Ya, Nonik tipe wanita yang tidak pernah meminta duluan dalam urusan ranjang.

***

Pagi-pagi sekali, aku sudah masak untuk siang dan sepulang kerja sekalian. Akibatnya, waktu mepet untuk berangkat bekerja. Malah motor Rasid belum aku kembalikan, jadi aku berangkat kerja memakai motornya, sepulang kerja nanti aku akan mampir ke rumah mama untuk mengembalikan motornya.

"Aku berangkat ya," ucapku tergesa-gesa. Namun, Nonik membawa secarik kertas dan pulpen.

"Tanda tangan dulu, Mas. Kata Pak Tommy, tanda tangani ini untuk menjual tanah yang Papa berikan untukku," ucap Nonik.

Berhubung aku sudah telat, akhirnya langsung saja kutanda tangani tanpa melihat isinya. Setelah itu bergegas ke pabrik.

"Aku pulang telat lima belas menit, mau balikin motor Rasid!" teriakku sambil menyalakan mesin motor.

Setibanya di pabrik. Aku diburu-buru karena absen tidak boleh telat kalau ingin bonus akhir tahun full sepuluh kali lipat dari gaji pokok.

***

Ketika makan siang, aku dan rekan kerja yang lainnya berjejer sambil menyuap nasi catering.

"Tumben tadi mepet banget lo, Yud?" tanya Leman rekan kerja yang hampir bersamaan masuk ke pabrik. Bedanya dia sudah memiliki dua orang anak, sedangkan aku belum.

"Sekarang gue yang masak, Man. Jadi capek banget buru-buru," jawabku sambil mengunyah.

"Emang Nonik minggat?" tanya Leman membuatku menoleh.

"Berantem gue, dia ngamuk minta tukar posisi, gara-gara gue kasih sebulan empat ratus ribu, gue udah tambah jadi lima ratus, tetap aja dia nggak mau. Sombong bini gue mentang-mentang udah punya gaji sendiri," celetukku agak sedikit sewot sendiri.

Leman tertawa, ia sampai tersedak menertawakanku.

"Gila lo, Yud. Bini gue aja kerja ngajar jadi guru, tapi kewajiban gue ngasih nafkah tetap lah dijalanin, gue ngasih Shofi tuh 3 juta sebulan, Yud," timpal Leman seakan ngeledek.

"Ah jangan banding-bandingin, lo kan nggak punya anak," balasku dengan alasan seperti biasanya.

"Seenggaknya setengahnya kek, ah payah lo, Yud. Pelit," sahut Leman sambil berlalu pergi.

Tidak lama kemudian, ada panggilan masuk dari seorang tetangga.

"Halo, Pak Yuda," ucapnya ketika aku angkat.

"Iya, ada apa, Pak Lukman?" tanyaku.

"Ini loh Pak, emang rumahnya dijual ya, Pak?" Aku terkejut mendengar pertanyaan Pak Lukman.

"Nggak, Pak. Emang Nonik jual rumah saya ya Pak?" tanyaku penasaran.

"Di depan rumah Pak Yuda ada plang dijual segera hubungi nomor Pak Yuda," jelas Pak Lukman membuat makanan yang masih di tenggorokan sulit aku telan.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status