Share

Bab 5

Nonik benar-benar sudah keterlaluan, ia jual mobil secara diam-diam, itu artinya BPKB pun sudah dia intai selama ini. Aku tidak mengetahui perubahan istriku selama enam bulan ke belakang, ternyata Nonik berubah drastis.

"Nonik, kita obrolin lagi di rumah ya, kamu pulang ke rumah, aku juga pulang sekarang," suruhku, kemudian telepon pun sengaja aku putus.

Aku menghela napas di hadapan mama. Ia mengikuti langkahku yang meraih kunci sepeda motor milik adikku yang sedang tidur.

"Kenapa sih? Nonik jual mobil? Atau gimana?" tanya mama.

Aku terhenti sejenak, lalu menjelaskan semuanya pada mama. Dari tabungan dan akhirnya sekarang mobil dijual oleh Nonik. Mama terkejut dengan ulah istriku yang tadinya pendiam dan tidak melawan, kini berubah jadi pembangkang.

"Apa karena Nonik sudah punya penghasilan, makanya dia songong seperti ini? Tapi kok kamu nggak bilang punya tabungan segitu banyak sama Mama?" tanya mama membuat waktuku semakin sempit. Kulihat jarum jam terus bergulir memutar waktu. Akan tetapi tidak mungkin juga mengacuhkan mama.

"Mah, tadinya uang itu untuk tabungan Mama lah, nggak mungkin untuk Nonik juga. Makanya doain aku supaya bisa ambil semuanya lagi dari Nonik. Yuda mohon untuk sementara jangan judes ke Nonik, pokoknya baik saja ke dia," pintaku sambil meraih punggung tangannya. Segera aku kecup lalu meninggalkan mama dengan menggunakan sepeda motor milik Rasid.

Setibanya di rumah, aku belum melihat Nonik. Itu tandanya ia belum datang. Sebaiknya kutunggu istri yang kini telah menyita semua yang aku miliki. Namun, aku teringat sesuatu, rumah ini yang aku tempati masih atas namaku. Setidaknya masih ada harta yang aku miliki. Rumah yang kubeli saat masih bujang bukanlah milik Nonik, tidak mungkin ia berani mengambil alih.

Selang beberapa menit kemudian, Nonik datang. Ia menggunakan jasa ojek online dan membawa beras serta minyak goreng.

Dalam hatiku ada rasa kesal dan dongkol padanya. Namun, ingat uang tabungan dan mobil yang telah terjual, aku harus lebih jaga sikap terhadap Nonik.

"Sini aku bantu bawa beras," ucapku sambil membopong beras 10 kg. Ya, kami memang hanya menghabiskan beras 10 kg untuk sebulan.

Nonik tidak ada beban sedikit pun, ia tersenyum sambil membawa minyak goreng untuk sebulan.

Setelah kuletakkan beras, Nonik juga meletakkan minyaknya, ia duduk sambil melipat kedua tangannya.

"Itu untuk sebulan, dan uang lima ratus ribu yang kemarin kamu lempar, itu untuk kamu masak sebelum berangkat kerja besok, lalu sorenya masak lagi, bagaimana?" Nonik mulai memberikan tugas tanpa menjelaskan perihal mobil yang ia jual, tanpa ada rasa berdosa sedikit pun, Nonik hanya memberikan tugas untukku.

"Jelaskan dulu bagaimana kamu bisa jual mobilku?" tanyaku penasaran. Sebab, BPKB sudah kusimpan di tempat aman kenapa bisa ia ketahui?

"Ada laci kecil, di sana isinya BPKB dan surat-surat rumah," tutur Nonik membuatku bertepuk kening.

"Sesongong itukah kamu, Nonik?" tanyaku kesal. Aku berdiri di hadapannya sambil menunjuk jari telunjuk ini ke arah wanita berusia 25 tahun.

"Songong? Aku sudah cukup diam setahun bersama kamu, dicaci aku seperti sampah oleh Mama kamu, ditunjuk-tunjuk seperti yang kamu lakukan barusan, lalu sekarang saat aku melawan, kamu bilang songong? Ingat ya, Mas. Marahnya orang sabar itu akan melebihi batas orang yang emosional!" tekan Nonik dengan mata yang memerah. Wajahnya yang dulu anggun dan penurut, kini berubah jadi garang juga misterius.

Aku terpaksa harus mengalah. Tidak mungkin memaksakan Nonik untuk menuruti kata-kataku. Ia sudah bukan Nonik yang dulu lagi.

"Baiklah, terserah kamu, yang penting hanya sebulan kan kita tukar posisi?" tanyaku sekali lagi.

"Ya, itu pun hanya masak kok yang menggantikan posisi seorang istri, supaya kamu tahu masak sehari dua kali berapa pengeluarannya," jawab Nonik.

"Baiklah, akan kubuat cukup uang lima ratus ribu itu. Sebab semua tergantung orang yang tepat," jawabku enteng seraya menyindirnya.

"Ya, coba realitanya ya sebulan," tantang Nonik.

Aku pun mengangkat kedua alis seraya menyanggupi semuanya.

Mulai besok aku bangun pagi-pagi beli sayuran di sebelah rumah yang jualan sayur mayur. Setelah itu berangkat kerja. Ya, aku akan sanggupi semua itu, seratus ribu pun cukup kalau untuk beli sayuran saja, memang dasarnya Nonik tidak pernah bersyukur dengan apa yang ia dapatkan.

Selang sejam kami berada di rumah. Nonik pun memperlihatkan isi tabungannya yang ia dapatkan dari hasil merampok tabunganku dan menjual mobil yang kupunya. Ingin marah tapi aku tak kuasa.

"Tenang, ini semua aman di tanganku, asalkan setelah sebulan kamu menyanggupi semuanya." Nonik menjamin bahwa semua akan aman di tangannya.

Aku tak menjawab, hanya menyunggingkan senyuman miring saja di hadapan wanita yang kini sadis itu.

Tiba-tiba bel rumah berbunyi, aku segera membuka pintu dengan melangkah setengah berlari. Siapa tahu paket kiriman yang kubeli tiga hari yang lalu datang. Namun, saat membuka pintu, aku dikejutkan dengan kedatangan laki-laki berdasi.

"Maaf, cari siapa ya?" tanyaku saat tak mengenali wajah lelaki itu.

"Saya cari Bu Nonik, apa beliau ada di rumah?" tanyanya.

'Jam segini ngapain dia cari Nonik? Ditambah lagi besok weekend, siapa orang berdasi yang datang ingin bertemu dengan Nonik?'

Di otakku timbul pertanyaan-pertanyaan yang meresahkan.

"Iya, ada. Tapi Anda ini siapa ya?" tanyaku sekali lagi. Sungguh rasa penasaran ini membuatku ingin tahu apa yang sebenarnya dilakukan istriku lagi.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status