Share

Laki-laki yang bersama Almira

"Jadi syaratnya adalah ...." Aku sengaja menjeda kalimatku, sebenarnya tidak enak juga mau mengatakannya. Tapi, mau bagaimana lagi. "Setelah sampai di sana aku dan kamu harus berpura-pura tidak saling kenal," lanjutku.

Alis Almira terangkat sebelah seolah apa yang kuucapkan terdengar aneh. Ya walau pun sebenarnya aku juga merasa aneh sih.

"Ke-kenapa?" tanya Almira nampak ragu.

"I-iya gak apa-apa, ini demi kebaikan kamu juga," jelasku asal. Meski nyatanya ini tentunya demi kebaikanku.

"Gitu ya? Jadi kayak ngantri minyak goreng ya, harus pura-pura gak saling kenal." ucap Almira terlihat sedih. Kalau dipikir-pikir iya juga sih. Tapi, harusnya dia berterima kasih karena aku sudah berbaik hati mau mengajaknya, bukan malah terlihat tidak suka begitu.

"Ya sudah kalau kamu tidak mau, aku pergi sendiri," ucapku acuh tak acuh. Akan lebih baik kalau dia tidak jadi ikut.

Apa aku terlalu kejam? Kurasa tidak, aku hanya berusaha menjaga imageku sebagai lelaki tampan dari beristrikan seorang yang ... Ah sudahlah tidak perlu terus kusebutkan, kalian pasti sudah tahu.

"Eh iya-iya, aku mau. Aku ganti pakaian dulu," ucapnya, langsung bangkit dari ranjang.

Aku hanya mengendikkan bahu. Lalu, memasangkan jam tangan kesayanganku, jam tangan hadiah dari Almira saat kami baru menikah dulu. Sementara, Almira nampak memilah-milah baju.

"Mas, kira-kira aku bagusnya pake baju yang mana ya?" tanyanya sambil memilih-milih baju dalam lemari.

"Terserah, yang menurut kamu bagus saja. Jangan lama! Aku tunggu di depan," jawabku tanpa mau memberi masukan. Ah, aku beri masukan juga tidak akan mengubahnya jadi langsing dan cantik.

Aku pun melangkah keluar, memilih menunggunya di ruang tamu.

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Almira keluar dengan memakai celana kulot warna hitam yang dipadukan kemeja coklat lengan panjang. Sementara kerudungnya berwarna senada dengan bajunya.

Mataku beberapa kali mengerjap tidak percaya dengan pemandangan yang ada di depanku saat ini. Apa aku tidak salah lihat?

Aku mengamatinya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Astaga apa-apaan ini? Almiraku yang dulu benar-benar telah hilang, bahkan aku melihatnya seperti mau pergi ke pasar untuk membeli sayur seperti hari-hari biasa yang ia lakukan. Belum sempat aku menyuarakan protes Almira sudah berkata duluan, seperti cenayang yang tengah membaca pikiranku.

"Maaf, Mas cuma ini satu-satunya baju yang pantas dan muat, yang lainnya udah kekecilan," ucap Almira dengan wajah nampak ragu sembari memilin ujung kerudungnya. Kentara sekali wajah tidak enaknya. Mungkin juga takut kalau aku marah.

Mau membatalkan rencana untuk mengajaknya itu tidak mungkin, bagaimana pun aku masih punya perasaan. Saat ini perasaanku benar-benar dibuat kesal dan menyesal. Kesal karena melihatnya seperti itu, dan menyesal telah menawarkan untuk mengajaknya. Tahu begini, biar saja dia bersedih di rumah sendiri.

Aku hanya bisa mengusap wajah dengan kasar. Ah, sudahlah mau marah juga percuma bisa-bisa aku datang terlambat. Lagian di pesta nanti aku dan dia pura-pura tidak saling kenal. Jadi, aku tidak perlu merasa malu.

***

Kami sudah memasuki area parkiran tempat acara, aku pun segera memarkirkan kendaraan yang kami tumpangi, berjejer dengan mobil bermerk lainnya. Lalu, mematikan mesin.

"Kamu duluan turun, ingat kita harus pura-pura tidak saling kenal!" ucapku mengingatkan Almira sebelum dia turun.

Almira hanya mengangguk. Lalu, perlahan mulai turun. Sementara aku, sembari menunggu ia menjauh, tak lupa memperbaiki penampilan dengan memanfaatkan kaca spion bagian depan. Merasa sudah sempurna aku pun mulai turun, menuju tempat acara. Mataku menyapu sekeliling, aku tidak melihat dimana Almira, bukan karena aku mengkhawatirkannya hanya saja aku takut kalau-kalau tiba-tiba kami berdekatan.

Saat tengah sibuk memindai sekeliling aku dikejutkan dengan suara Mama yang tiba-tiba menyapaku.

"Hans, kamu ngapain kayak bengong begitu?" tanya Mama sembari menepuk pundakku.

"Eh, Mama. E-enggak kok, aku hanya kagum aja dengan dekorasinya, terlihat mewah sekali," dustaku. Padahal aku tengah mencari keberadaan Almira, entah kemana dia?

Mama tersenyum. "Ya iyalah. Kan, Mama udah bilang kalau tunangannya Al itu anak orang kaya. Bapaknya aja pengusaha tambang," jelas Mama terlihat semangat. "Jadi wajarlah kalau acaranya mewah.

Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan Mama. "Oh iya kok Mama sendiri, memangnya Bapak sama Nantri gak ikut?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Ikut, tadi Bapakmu ketemu temannya. Jadi ngobrol dulu di sana," Mama menunjuk ke sebelah Utara. "Mama bosen nungguin, kalau Nantri tadi katanya mau ke toilet. Ngomong-ngomong kamu sendiri, sendirian ke sininya?" tanya Mama balik.

"Eum ... A-anu, i-itu ...." Belum sempat aku meneruskan kalimatku, tiba-tiba seorang ibu-ibu yang kutaksir seumuran Mama datang menghampiri. Seolah menyelamatkanku dari pertanyaan Mama.

"Eh, jeng Ratna, 'kan?" tanya Ibu-ibu itu ke Mama. "Ya ampun makin cantik aja sampe bikin pangling." pujinya kemudian.

Mama terlihat diam mengamati perempuan yang baru saja menyapanya, terlihat memikirkan sesuatu, entah apa mungkin juga gak kenal dengan yang menyapanya. "Jeng Hani ya?" Perempuan itu pun mengangguk. "Ya ampun aku pikir tadi siapa. Jeng Hani juga makin cantik aja, terlihat lebih muda," Mama pun ikutan memuji. Mereka pun berpelukan layaknya bertemu seorang teman.

Aku hanya diam mendengarkan percakapan Mama dan perempuan itu.

"Ya ampun sudah lama sekali kita gak ketemu, udah berapa tahun ya?" tanya Mama.

"Iya, ya mungkin ada sekitar 10 tahun," jawab perempuan yang ternyata bernama Hani tersebut. Entah sejak kapan mereka berteman, yang jelas aku tidak mengenalnya.

"Jeng Hani ke sininya sendirian aja?" tanya Mama.

"Enggak, saya sama anak saya Dinda," jawab Bu Hani. Kemudian tatapannya memindai sekeliling seperti tengah mencari sesuatu.

"Nah itu dia, anak saya," Bu Hani menunjuk ke arah kolam. Ya, acara ini memang diadakan di halaman belakang yang menurut memang cukup luas. aku dan mama pun sontak menoleh ke arah yang ditunjukan Bu Hani. Terlihat seorang perempuan muda dengan dress selutut berwarna peach, rambut sepunggungnya dibiarkan tergerai.

Perempuan itu pun menoleh ke arah kami, wajahnya langsung terlihat. Cantik, itulah yang tergambar dalam benakkku.

"Din, sini!" ajak Bu Hani ke Dinda.

Dinda pun perlahan berjalan ke arah kami.

"Kenalin, ini Bu Ratna teman Mama," ujar Bu Hani ke Dinda.

Dinda pun langsung menyalami Mama dan mencium punggung tangan Mama.

"Cantik sekali anakmu, jeng," puji Mama.

"Iya siapa dulu dong, Ibunya," balas Bu Hani dengan candaan yang langsung membuat Mama tertawa.

"Eum ... Ngomong-ngomong ini siapa?" tanya Bu Hani ke Mama sembari menunjuk ke arahku. Mama pun sontak menoleh ke arahku.

"Ya ampun sampai lupa, kenalkan ini anak saya Hans," ucap Mama memperkenalkan.

Aku pun langsung menyalami Bu Hani sembari memperkenalkan diri.

Setelah saling sapa dan berkenalan aku jadi tahu kalau ternyata Dinda bekerja sebagai guru yoga. Pantas saja body goals.

Saat tengah asyik ngobrol sama Mama, Bu Hani dan juga Dinda tiba-tiba tatapanku teralihakan pada sosok yang sangat kukenal.

Almira, ya ampun dengan siapa dia?

Siapa laki-laki yang sedang bersamanya? Mengapa mereka terlihat begitu akrab?

"Hans, kamu kamu dengar, 'kan?" tanya Mama membuyarkan.

"Ah, i-iya," jawabku gelagapan, entah apa yang mereka bicarakan yang jelas pemandangan di sana membuat fokusku buyar. Ini tidak bisa dibiarkan!

Bersambung ...

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status